Rain Antares ~~

1050 Kata
Sinar hangat dari si piringan berwarna jingga, mulai menerangi permukaan bumi. Kicauan burung silih bersahutan, dan tetesan air hujan sisa semalam, menyapa orang-orang yang sudah bangkit dari gelungan hangat selimut tebal, yang hendak memulai aktivitas lebih awal. Dan rupanya, hal itu pun berlaku untuk sosok pria tampan, dengan setelan jas berwarna dark grey, yang saat ini tengah duduk di atas kursi meja makan, menikmati secangkir kopi panas, sembari membaca laporan-laporan pekerjaan yang baru saja masuk ke dalam email pribadinya. Ya … Dia, Rain Antares. Seorang duda anak satu, berusia tiga puluh dua tahun, Direktur Personalia di sebuah perusahaan ekstraktif besar, yang bergerak dalam bidang pengadaan bahan dari alam untuk pembuatan kertas, juga penambangan emas, milik sang Ayah, PT. Loom. Inc. Rain … lelaki yang terkenal dengan ke-perfectionist-an dalam segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan, berperilaku dingin, tegas, dan selalu bersikap impresif. Hanya berselang beberapa menit, bunyi ketukan sepatu, dan langkah kaki kecil yang berlari begitu cepat, menyapa indera pendengaran. Rain yang sudah sangat mengenal, siapa gerangan sang empunya suara itu, segera menaruh ipad di atas meja, lalu menoleh, mengalihkan perhatiannya pada si gadis kecil, yang selalu menyapanya dengan riang di pagi hari. “Papa, Papa, Papa, Papa, Papa!” Anak perempuan itu seketika berhambur ke dalam pelukan sang Ayah, yang sedang merentangkan kedua tangan ke sisi kiri, dan kanan, untuk menyambut kedatangannya. Dengan kedua tangan kecilnya, ia peluk tubuh pria dewasa itu, diikuti seulas senyum bahagia tertampil di wajah. “Selamat pagi, Embun Shaqueen,” sapa Rain, seraya membalas pelukan putrinya lebih erat. Gadis kecil berseragam merah muda, dengan rambut diikat dua itu, melepaskan pelukannya, lalu mengecup setiap sisi wajah sang Ayah, yang tengah membungkukkan tubuhnya, demi mensejajarkan wajah dengan Embun, dimulai dari pipi kiri-kanan, hidung, kening, dan juga dagu. “Pagi, Papa,” balas Embun, menyapa. Sembari menggendong tubuh putrinya, lalu mendudukkan gadis kecil itu di atas kursi, Rain memperhatikan wajah ceria Embun, yang sejak tadi senyuman manisnya tak pudar barang sedetik pun. “Kayanya … putri cantik Ayah seneng banget hari ini. Dari tadi senyum terus,” goda Rain, sambil mencolek hidung mungil anak perempuan di hadapannya. Pria itu mengambil dua lembar roti gandum dari dalam sebuah kotak penyimpanan, lalu mengoleskan selai coklat kesukaan Embun. Setelah selesai, Rain pun menaruh roti tersebut di atas piring milik putrinya, kemudian menaruh satu kotak s**u khusus milik Embun, tepat di samping gelas berisi air mineral. Gadis kecil yang baru saja menyantap sarapannya itu, menganggukkan kepala. “Hm. Embun seneng,” jawabnya, dengan pelafalan yang masih belum jelas. “Seneng kenapa?” tanya Rain, penasaran. “Karena hari ini, sarapannya ditemenin Papa, bukan sama Mba Sisil,” sahut Embun dengan polosnya. Mendengar jawaban dari gadis kecil itu, membuat senyum Rain perlahan memudar. Ya … harus Rain akui, semenjak kepergian sang istri, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di perusahaan. Berangkat sebelum cahaya fajar menyapa, dan pulang ke rumah setelah senja kembali ke peraduan. Pria itu menggilai pekerjaan yang ia tekuni, sebagai pengalihan pikirannya. Dan hal itu pun, berlaku di akhir pekan. Rain bahkan lupa, ada satu malaikat kecil, yang selalu menunggunya pulang, hanya untuk sekedar berceloteh, menceritakan keseruan yang ia temukan, setelah seharian berada di pusat pembinaan anak usia dini. Perlahan, pria tampan itu mengulurkan tangannya ke samping, lalu membelai puncak kepala Embun dengan lembut. Ada satu rasa bersalah, yang menyayat hati kecil Rain, ketika mendengar ungkapan hati putrinya. Pria itu sadar, apa yang ia lakukan selama enam bulan ini, membuat hubungannya dengan Embun, mempunyai jarak. Padahal, yang gadis kecil itu butuhkan saat ini, adalah perhatian dari sosok seorang Ayah, setelah sang Ibu pergi untuk selama-lamanya. “Kalau hari ini … Papa anter Embun ke sekolah, gimana?” cetus Rain, tiba-tiba. Embun yang baru saja menelan makanan dalam mulut, seketika mengangguk, diikuti senyuman merekah tertampil pada wajah mungilnya. “Asiiik!” “Sekarang, tugas Embun … habisin roti, dan s**u kotaknya, lalu masuk ke mobil Papa,” ujar Rain. Namun, senyuman putri kecilnya itu tiba-tiba memudar, menatap pada sang Ayah dengan tatapan sendu. “Mba Sisil, gimana?” tanyanya. Rain pun lantas menatap pada pengasuh Embun yang sedang berada di dalam dapur bersama Risma. “Mba Sisil nanti nyusul, di anter sama Pak Mursal,” jawab Rain, lalu kembali menatap pada Embun. Dan rupanya, jawaban yang diberikan oleh Rain berhasil membuat senyum manis anak cantik itu kembali mengembang. Embun pun segera menghabiskan sarapannya, sembari bersenandung kecil, dengan riang. “Papa.” Rain yang tengah menyesap sisa kopi dalam cangkirnya, seketika menoleh ke sisi kiri, menatap kembali pada Embun, yang juga kini sedang menatap padanya. “Hm?” gumam Rain, dengan kedua alis terangkat. “Embun sayang sama Papa. Jangan tinggalin Embun, kaya Mama, iya, Pa?” ucap anak kecil itu. “Papa juga sayang sama Embun.” Pria itu menjeda ucapannya, lalu kembali membelai puncak kepala Embun dengan lembut. “Papa janji, gak akan pernah tinggalin Embun. Dan Papa juga janji, akan meluangkan waktu lebih banyak lagi buat Embun,” lanjutnya. “Janji?” Gadis kecil itu mengulurkan jari kelingkingnya pada sang Ayah. Tanpa ragu, Rain pun segera mengaitkan jari renik tangan kanannya, dan secara bersamaan, keduanya menempelkan ibu jari, untuk memberi stempel pada janji kelingking mereka. “Hm. Papa Janji,” jawab Rain, sangat yakin. *** Di sebuah gedung perkantoran, berlantai lima, ratusan pelamar dari berbagai sudut kota Bandung, tengah duduk di atas kursi, yang sengaja panitia siapkan di sepanjang lorong, menuju aula utama, tempat di mana para pelamar tersebut akan melakukan wawancara. Begitu juga dengan seorang gadis bertubuh kecil, dengan rambut sebahu, yang saat ini sedang mengatur napas, untuk menenangkan rasa gugup. Bola matanya terus bergerak, memperhatikan beberapa pelamar lain, yang nampak murung, setelah keluar dari aula. Hingga membuat kepercayaan dirinya menurun. Dan karena melihat hal itu, kegelisahan, dan ketakutan yang sejak tadi ia rasakan, semakin menyeruak, membuat kedua telapak tangannya tiba-tiba berair, juga bergetar. “Panggilan untuk pelamar divisi personalia … Fajar Ramadhan, Senada Ria, dan Shaki Zainaya, dipersilakan masuk!” Setelah mendengar namanya terpanggil, Shaki segera bangkit dari posisinya, lalu berjalan dengan menguatkan hatinya sendiri, memasuki aula tersebut, bersama kedua peserta lain. Namun, tepat saat ia menginjakkan kaki dalam ruang tersebut, pandangan matanya seketika tertuju pada satu sosok pria tampan, bersetelan jas navy, sedang duduk di antara sederetan pewawancara, termasuk sang Direktur Personalia, menatap ke arahnya. “Bang Delio?” gumam Shaki, sangat pelan, bahkan hampir tak terdengar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN