Sulit Mengikhlaskan ~~

1033 Kata
Tanpa terasa, sudah hampir enam bulan, jantung yang selalu memberi kehidupan, dan kehangatan dalam rumah besar ini, pergi untuk selama-lamanya. Entah kenapa, semenjak kepergian sang istri, kenyamanan dalam rumah pun menghilang. Hanya ada kesunyian … hanya ada rasa kesepian, yang menyambut kedatangan pria tampan berbadan tegap itu, setiap ia kembali dari rutinitas hariannya. Sudah tidak ada lagi senyuman hangat yang menyambut kedatangannya. Sudah tidak ada lagi pangkuan ternyaman, yang biasa ia jadikan bantalan untuk melepas rasa lelah, kepenatan, dan berbagi cerita. Sudah tidak ada lagi suara merdu, nan lembut, yang membangunkan, dan menyapanya, ketika pagi hari kembali datang. Semua itu, sudah tidak bisa ia dapatkan lagi …. Ya … rumah besar ini, sekarang terasa sangat dingin. Seakan mati, dan tak berpenghuni. Apalagi, jika putri kecilnya sudah tertidur lebih awal, bersama Kakak pengasuh, yang tinggal bersama mereka setiap harinya. Seperti malam ini, tepat pukul sepuluh malam, pria yang baru saja masuk ke dalam rumah itu, melemparkan jas navy yang ia pegang ke sembarang tempat, berjalan menuju ruang tengah, lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa, sembari menghembuskan napas panjang, melepas rasa lelah, setelah seharian berjibaku dengan berbagai deadline di kantornya. Hanya berselang beberapa menit, seorang wanita paruh baya, dengan cepolan rambut sedikit berantakan, nampak berlari kecil dari sebuah kamar di samping dapur, lalu membungkukkan tubuhnya. “Selamat malam, Tuan Rain. Saya siapkan makan malam sekarang?” tanyanya dengan sangat sopan. Pria bernama Rain itu hanya melirik sesaat, lalu segera bangkit dari posisinya, dan duduk menghadap wanita paruh baya tersebut, dengan memaksakan seulas senyum hangat. “Gak usah, Bi. Tadi, Saya sudah makan di jalan,” sahut Rain berbohong. “Mau saya buatkan coklat panas, beserta cemilan malamnya, Tuan?” tanya wanita paruh baya, yang diketahui bernama Risma. “Gak usah, Bi. Terima kasih.” Rain kembali tersenyum, sembari menatap pada asisten rumah tangganya itu. “Bibi, kok, gak pulang? Embun gak mau di tinggalin Bibi lagi, iya?” tebaknya. Risma menganggukkan kepala, seraya tersenyum hangat. “Iya, Tuan.” “Maafin Embun, iya, Bi. Saya jadi gak enak, ngerepotin Bi Risma terus, setiap Embun gak mau ditinggal,” ucap Rain, dengan tulus. Pria itu benar-benar merasa tidak enak pada asisten rumah tangganya itu. Pasalnya, setiap kali Embun merasa kesepian, atau terkadang sedang teringat Almarhum sang ibu, putri kecilnya itu akan mulai rewel, dan tidak ingin ditinggal oleh Sisil-pengasuhnya-dan juga Risma, hingga wanita paruh baya, yang sudah bekerja selama tiga tahun di rumah Rain, memilih untuk tetap tinggal, dan menemani Embun, hingga suasana hati gadis kecil yang sangat cantik itu, membaik. Risma bahkan rela meninggalkan suami, dan kedua putri yang sudah beranjak remaja, di rumahnya, karena kasihan pada Embun, yang selalu merasa kesepian, semenjak sang ibu pergi meninggalkan gadis kecil itu untuk selama-lamanya. “Gak apa-apa, Tuan. Saya senang, jika melihat Non Embun bisa tertawa bahagia, seperti tadi,” sahut Risma. Pria tampan, dengan raut wajah sangat lelah itu, hanya menjawab dengan seulas senyum, diiringi helaan napas dalam. “Saya mau rebahan di sini dulu. Bibi istirahat aja, udah malem,” titah Rain. Mengerti maksud dari perkataan sang majikan, yang ingin menyendiri seperti malam-malam sebelumnya, Risma pun akhirnya pamit, dan berjalan masuk ke dalam kamar. Sedangkan Rain, kembali merebahkan tubuhnya di atas sofa, dengan sebelah tangan ia taruh di atas kening, kemudian memejamkan mata. Tak dapat Rain pungkiri, walau sudah enam bulan berlalu, sang istri pergi untuk selama-lamanya, ia masih sering merasa, jika wanita yang sangat dicintainya itu, masih berada bersamanya … bersama putri kecil mereka. Sangat sulit bagi Rain, untuk benar-benar terbiasa tanpa kehadiran Nadira di sisinya. “Nad … kenapa setiap harinya terasa begitu berat, setelah kamu pergi ninggalin aku dan Embun? Kenapa juga kamu harus menyembunyikan penyakit jantung yang kamu derita, dari aku, Nad? Kalau aja kamu bilang sejak awal, seenggaknya … aku akan berusaha sebisa mungkin, untuk ngobatin penyakit kamu. Kita bisa cari rumah sakit, dengan dokter ahli jantung terbaik di negara ini.” Pria tampan itu mengatupkan rahangnya, menahan rasa sesal yang kembali menyeruak begitu saja, setiap kali mengingat, penyakit yang diderita almarhum sang istri, hingga merenggut nyawa wanita yang sangat dicintainya itu. Ia hembuskan napas beratnya dengan kasar, berulang kali. “Aku kangen banget sama kamu. Aku kangen denger suara kamu, aku kangen tawa lepas kamu. Aku juga kangen denger celotehan kamu setiap malam, saat menceritakan tingkah laku putri kita. Nad, jika aku mengatakan, aku udah ikhlas dengan kepergian kamu yang mendadak ini … semua itu bohong, semua itu aku lakuin hanya untuk menutupi rasa sedih aku di depan Papa, Mama aku, dan Embun. Aku bener-bener belum sepenuhnya siap, untuk kehilangan kamu. Aku belum bisa lupain semua kenangan kita.” Suara embusan napas berat, menghantar jatuhnya tetesan air bening dari kedua sudut mata Rain yang tengah terpejam itu. Dadanya pun perlahan mulai bergetar, diikuti suara isak tangis kecil, ketika bayangan wajah sang istri, yang ia lihat untuk terakhir kalinya, kembali terbayang dalam gelapnya pejaman mata. ‘Nad … bagaimana caranya, agar aku, dan Embun, bisa kuat menjalani kehidupan ini tanpa kehadiran kamu? Apa yang harus aku lakuin sekarang, setelah separuh nyawa dalam diri aku, pergi untuk selama-lamanya?’ Lirihnya, membatin. Sedangkan di tempat lain … seorang gadis cantik, mengenakan headphone di kepalanya, tengah sibuk membuat sebuah curriculum vitae, beserta data pelengkap untuk melamar pekerjaan di salah satu perusahaan besar, yang tengah membuka lowongan pekerjaan, melalu web resmi pencarian kerja. Setelah selesai menulis daftar riwayat hidup, yang berisi data dan informasi yang diperlukan untuk melamar pekerjaan, gadis itu pun memasukkan berkas-berkas tersebut, beserta tiga lembar foto berukuran 3x4 ke dalam sebuah map berwarna coklat, kemudian menuliskan sesuatu di depan kertas tersebut. “Untuk … PT. Loom dot Inc. Dari … Shaki Zainaya, pelamar tim Perencanaan PT. Loom dot Inc,” gumamnya sangat pelan, sembari menuliskan kata-kata tersebut di depan amplop coklat, yang ia taruh di atas meja. Setelah selesai menggoreskan tinta untuk sentuhan terakhir, gadis itu pun berdiri dari atas tempat duduknya, lalu merenggangkan otot pinggang dan leher, yang terasa sangat kaku, setelah seharian mencari lowongan pekerjaan, pada sebuah aplikasi berbasis web, melalui laptop miliknya. “Aaah …,” gadis itu mendesah, sembari menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur, lalu memejamkan matanya. “… bismillah, semoga besok lancar,” gumamnya, diikuti seulas senyum bahagia tertampil di wajah cantiknya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN