Ronald langsung saja meluncur menuju kursi yang berada tepat di samping Vinny dan duduk di sana, sementara itu Marcus dan Ugi hanya bisa terperangah melihat ke-gercep-an kawan baru mereka itu.
“Hai,” sapa Ronald pada Vinny. Yang disapa hanya sibuk melihat ponselnya, acuh tak acuh.
Ronald belum kehabisan bahasan, karena kini ia sudah setengah hidup penasaran menanyakan ini sejak dulu. “Jadi, lo anak akuntansi juga, ya, Vin?”
Vinny berhenti mempelototi ponselnya, lalu melirik tajam pada Ronald. “Lo ga nyadar kalo sekarang kelas gabungan?” tanyanya sengit. Alisnya berkerut kesal.
Ronald bingung sejenak, tapi hanya sejenak. Untungnya, di balik rambut keriting itu, Ronald memiliki otak cerdas yang selalu dibanggakannya. Dalam sebuah percikan mikrosekon ia menyadari maksud Vinny. Ronald pun lalu bertanya lagi, “Ooh, jadi lo anak mene? Kenapa lo nggak bilang dari awal?”(*mene= manajemen)
Vinny kini melihat ke arah Ronald sepenuhnya. “Apa urusan lo?”
Strike!
Bola gagal dipukul dan dikembalikan Ronald. Ia benar- benar terdiam beberapa detik, hingga bermenit- menit kemudian. Dari arah belakang terdengar kikik keras Marcus dan Vito.
Tapi! Ronald belum kehabisan akal. Ronald kembali bertanya, “Lo tahu nggak, apa beda lorek, loro, sama loko?”
Vinny hanya diam membisu. Kediamannya seakan membuat Ronald merasa Vinny tak mampu menjawabnya dan dia diberi persetujuan untuk menjelaskannya. Dengan membusungkan d**a, Ronald pun berkata, “Jadi ya, loro itu...”
Maka jadilah Vinny mendengar celotehan Ronald mengenai lorong- lorong kampus dan posisinya selama satu menit dua belas detik. Membuat mulut Ronald terasa kering, tapi hatinya puas. Begitu selesai, Vinny langsung memberi smash, “Emang gue nanya, ya?”
Kikik Marcus terdengar tertahan dan ia samarkan dengan bunyi hembusan dari hidung yang keras. Beberapa anak menoleh pada Marcus, mengira ia buang angin.
Sementara itu muka Ronald mulai memerah. “Ya, ‘kan gue cuma ngasih tahu aja. Eh, iya! Lo tahu lorong- lorong lainnya, nggak? Lorong kegelapan mungkin?”
Ah, receh sekali.
Mendengar itu Vinny hanya mendengus. Bukan menahan tawa seperti Marcus, tapi mendengus sebal, lengkap dengan tambahan lengkungan di bibir yang jelas- jelas membentuk cibiran.
Dan demikianlah, pertandingan bisbol dan bulutangkis hari ini berhasil dimenangkan oleh : Arvinny Angelica!
Perlahan tapi pasti, Ronald mengambil tasnya dan mundur perlahan. Ia lalu duduk di samping Ugi dan Marcus yang juga bermuka merah, karena tak sanggup menahan tawa.
“Baru juga hari pertama kuliah,” kata Ugi sambil menyembunyikan tawanya. “Lo udah ngedeketin cewek aja.”
Ronald melengos memandang kedua temannya dengan kesal. “Gue nggak lagi ngedeketin cewek, tahu! Gue emang kenal dan temenan sama dia. Kita satu sekolah dulu.”
Marcus memencet hidungnya agar tidak disangka buang angin lagi. “Dia nggak nganggep lo temen, tuh, Ron.”
Ronald kembali memandangi keduanya kesal, tapi juga bingung hendak menjawab apa. Hari pertama kuliahnya terasa buruk sekali.
“Ya, dia emang begitu,” kata Ronald sambil membuka tasnya. Ia mencari buku tulis kosong dan berniat hendak menyelamatkan muka dengan membaca buku itu.
“Masa?” tanya Marcus sangsi. “Lo ngada- ngada, nih! Mentang- mentang dia bening, ya?”
Untunglah, Ronald bisa terselamatkan dari cemoohan itu berkat Pak Gofur, dosen Pengantar Bisnis mereka yang masuk ke kelas. Semuanya segera duduk di kursi masing- masing dengan rapi. Tawa Ugi dan Marcus berhenti sekejap, seakan- akan dimatikan dengan remote tivi.
“Hari ini kita akan mempelajari tentang apa itu sistem bisnis dan evolusi bisnis,” kata Pak Gofur setelah memberi salam, tanpa basa- basi. Beliau juga menjelaskan buku yang akan mereka pakai selama satu semester ini. Semua anak- anak, termasuk Ronald (yang dengan geram) mencatat prasyarat kuliah dari Pak Gofur dan menuliskan judul pembahasan mereka hari ini.
“Nah,” kata Pak Gofur melanjutkan, “Era bisnis dimulai sejak adanya revolusi industri di tahun 1800-an. Pada masa itu terjadi revolusi pada segi manufaktur, termasuk departementalisasi dan spesialisasi pekerja. Perlu Anda ingat, departementalisasi adalah suatu bentuk...”
Suara Pak Gofur mulai samar- samar di wilayah Marcus, Ugi dan Ronald, digantikan bisik geram Ronald pada dirinya sendiri. “Gue, udah melakukan revolusi sehari ini cuma buat nanyain dia...”
Mendengar gumaman itu, Marcus dan Ugi saling berpandangan, sama- sama mengangkat bahu, dan kembali mendengarkan penjelasan Pak Gofur.
“...menjadi asal mula kata ‘Laissez-faire’. Jadi pemerintah tidak diperbolehkan ikut campur dalam urusan bisnis, dan perekonomian secara umum. Bisa Anda bayangkan, bisnis dibiarkan berjalan sesuai hukum ‘alami’-nya, yang...”
“Kurang alami apa coba, kata- kata gue tadi?” gumam Ronald lagi, sambil menekan bolpoinnya keras- keras saat menulis. Kedua temannya sekali lagi terperangah. Mereka menepuk pipi Ronald sedikit, untuk memastikan kalau- kalau Ronald sedang kerasukan atau kehilangan kesadaran sementara. Sayang, tidak mempan.
Pak Gofur mulai menghapus papan tulis itu, yang direspons cepat oleh Ugi dan Marcus. Mereka mengambil ponsel masing- masing dan segera menjepret tulisan Pak Gofur sebelum hilang dari peredaran.
Jeprit!
Ugi lupa mematikan flash ponselnya. Untung, masih banyak mahasiswa baru lainnya yang sama cupunya dengan Ugi, melakukan hal sama, dan baru menyadari ponsel mereka memancarkan aura terang. Dan untungnya pula, kilat sesaat itu hanya mengenai bagian belakang kepala Pak gofur yang botak karena saat itu ia tengah memunggungi para mahasiswanya. Dengan tergesa- gesa Ugi mematikan flash demi nama baiknya di kelas selanjutnya.
“...era sekarang, ada tiga jenis perekonomian : yaitu perekonomian terpimpin, perekonomian pasar, dan gabungan antara keduanya. Perekonomian terpimpin diputuskan seluruhnya oleh pemerintah, sedangkan sebaliknya, perekonomian pasar ditentukan oleh pasar itu sendiri. Pada umumnya, negara- negara sekarang menganut gabungan antara keduanya. Perekonomian tak seluruhnya ditentukan oleh pemerintah, dan pelaku usaha tetap diberi kebebasan untuk...”
“Gue bebas dong mau nanya apa? Kenapa dia malah nanya balik ‘Apa urusan gue’? Emang ada larangannya?” gumam Ronald lagi. Kini tak hanya Ugi dan Marcus, beberapa anak yang berdekatan dengan mereka mulai ikut memandangi Ronald dengan pandangan ‘sepertinya- dia- orang- gila’.
Ugi mencubit siku Ronald keras- keras, tapi kulit Ronald sepertinya terlalu tebal untuk menjadi sensitif. Syarafnya terlalu jauh di dalam daging.
Pak Gofur yang merasa kelasnya cukup damai, terus berceloteh, “...Enron sebagai contoh paling terkenal untuk kasus etika bisnis. Ada yang disebut sebagai Ricochet, yaitu penggelapan Megawatt. Banyak data transaksi yang dimanipulasi, dan usaha menjual listrik dengan harga lebih tinggi dengan jalan penipuan...”
Marcus melihat pada judul bab hari ini. “Kita belum mulai belajar etika bisnis, kan, Gi?”
Ugi menggeleng. Ia mengeluarkan silabus tahun lalu yang ia pinjam dari senior. “Belum. Mestinya sih bab tiga. Mungkin si Bapak ngebahas selintas doang.”
“Ooh.”
“...padahal kan gue beretika? Kurang sopan apa gue?”
Kini suara Ronald terdengar agak lebih keras dari sebelumnya, sehingga anak- anak di depan mereka ikut menoleh, mencari tahu siapa yang menginterupsi kuliah Pak Gofur. Vinny? Oh, gadis ini tidak termasuk.
Dan ajaibnya, Pak Gofur masih merasa kelasnya berada dalam kedamaian.
Beberapa pasang mata yang menoleh ke belakang membuat Marcus menarik bulu lengan Ronald keras- keras. Ronald tersadar, seakan tadi ia baru saja dihipnotis. Ia menoleh pada Marcus, lalu berbisik,”Oi, kita kan lagi kuliah, Marcus?”
Marcus balas menatap tak percaya, lalu wajahnya menggeliat- geliut mencari ekspresi terbaik, meski pada akhirnya wajah itu terlihat datar. Marcus balas berbisik, “Lo ga lagi PMS, kan, Ron?”