Satu hari Ospek yang membosankan berhasil membuat Ronald, Marcus, dan Ugi menjadi semakin akrab. Mereka banyak melewatkan waktu- waktu pengarahan dan perkenalan kampus dengan bergosip ria (jika mereka diperbolehkan memegang ponsel selama Ospek itu, tentulah mereka akan bermain game bersama). Marcus dan Ugi menunjuk- nunjuk ke arah para mahasiswa panitia Ospek yang mereka kenal, karena satu sekolah dulu. Begitu juga dengan Ronald, yang membuat mereka bertiga terlihat seperti babon berbulu lebat menunjuk- nunjuk ke arah pengunjung yang telah melempari mereka kacang. Babon yang berniat menambah koneksi.
Penat menggosipkan senior, ketiganya beralih pada dosen-dosen, rektor, dan akhirnya pada kampus baru mereka yang tercinta. Ketiganya belum banyak menjelajahi kampus itu, dan sayangnya di dinding kampus tidak tertempel peta kampus, layaknya yang Dora butuhkan. Ketiganya akhirnya mengganggu teman- teman di sebelah mereka untuk bertanya tentang lokasi- lokasi strategis : kantin, toilet cowok, tempat nongkrong, dan spot-spot dengan wifi terkuat. Teman- teman mereka jelas merasa terganggu, namun ini tidak membuat ketiganya merasa bersalah. Ronald, hanya merasa bersalah jika Vinny yang mengkritiknya. Ia mencoba menoleh pada gadis pucat itu untuk mendapatkan pandangan persetujuan. Sayang, Vinny memandangnya dengan begitu keji sehingga ia memutuskan untuk mundur dari percakapan bersama Marcus dan Ugi untuk sementara waktu.
“Eh,” gumam Ronald tiba- tiba, setelah lima menit berdiam diri, “Lo pada tahu nggak, loko sama loro itu apa?”
“Ooh, itu,” kata Marcus sambil menggosok- gosok hidungnya yang super mancung. “Gue pernah denger sih. Kalau nggak salah loko itu lorong koperasi, loro itu singkatan lorong room of operation.”
“Aaah,” seru Ronald. Kini penjelasan mahasiswa abadi skripsi nan gondrong itu mulai makes sense baginya.
“Emang kenapa?” tanya Ugi lagi. “O iya, lo tahu tempatnya dimana?”
“Kemarin gue sempet nanyain ke senior di sini. Dia bilang, loko di dekat gedung IT, deketan sama kantin. Kalau Loro, di dalam gedung IT-nya."
“Ooh,” sahut Ugi dan Marcus serempak. “Mestinya sih, gampang nemuinnya. Kita ‘kan udah tahu posisi kantin,” timpal Marcus.
Benarlah, saat istirahat makan siang, ketiganya langsung cus menuju kantin dan menemukan dimana loko berada. Tempat itu penuh oleh mahasiswa- mahasiswa yang rapat organisasi. Penuh aroma ketekunan. Mereka segera minggir dari tempat itu dan menuju kantin. Pencarian untuk loro tak terlalu membuat mereka berminat setelah bisa membayangkan apa yang akan mereka temui nanti. Ketiganya langsung meluncur ke arah kantin dan memesan makanan masing- masing.
“Astaga, gue ngerasa primitif banget nggak megang ponsel setengah hari,” celetuk Ugi sambil mengeluarkan ponselnya yang super keren dari dalam tas. Dia mulai mengotak- atik poselnya selagi mereka bertiga menunggu pesanan datang.
“Ponsel lo bagus, ya?” kata Ronald sambil meneguk air putih gratis yang sudah disediakan. “Itu khusus buat nge-game, ‘kan?”
“Yoi,” kata Ugi. Matanya belum lepas dari ponsel. “Baterainya lebih awet, nggak cepat panas dan nggak gampang nge-lag pula. Coba aja lo beli.”
Ronald tertawa penuh ironi. “Bisa berabe gue disikat emak sama babe.”
Marcus ikut- ikutan meneguk air putih di gelas. “Emang bonyok lu galak, ya?”
“Enggak juga, sih,” kata Ronald. “Tapi gue udah diwanti- wanti soal nggak boleh hedon dan minta yang macem- macem. Soalnya, adek gue juga baru naik kelas tiga. Dia butuh banyak biaya. Gue nggak bisa bayangin kalo tetep kekeuh minta,” jelas Ronald, lagi- lagi diiringi tawa ironinya.
“Eh, jadwal kita udah ada, nih!” seru Ugi.
“Mana, mana? Besok ada apa aja?” tanya Ronald dan Marcus bertubi- tubi. Ketiganya langsung berebut sudut pandang pada ponsel Ugi (Ronald dan Marcus terlalu malas mengeluarkan ponsel mereka hanya untuk mengecek jadwal kuliah).
Ugi men-scroll layar ponselnya dan membacakan keras- keras. “Besok jam 9.30 kita ada Pengantar Bisnis, sama anak Manajemen sampai jam dua belas di ruang A13. Dosennya Pak Gofur. Terus...” dia men-scroll layar ponselnya lagi. “Kosong, terus kelas lagi jam tiga. Pengantar Akuntansi, kelas tunggal, sama Bu Wahda. Ruang A17.”
“Hmmm,” gumam Marcus. “Yang jelas huruf awal ruang itu sesuai gedungnya. Karena ruangan kita A, berarti kita di gedung A. Angka pertama lantai, jadi dua- duanya di lantai satu. Syukur, deh.”
“Mana, tuh, gedungnya?” tanya Ugi dengan jidat berkerinyut.
“Gampang, kok. Sesuai urutan gedung yang kita nemu pas masuk Fakultas Ekonomi.”
“Lo apdet banget, ya, Marc?” puji Ronald.
Marcus terkekeh. “Bukan gue. Tadi cuman nguping anak- anak cewek sebelah sana. Mereka sibuk ngebahas tata letak ruangan kuliah dan mereka bilang nggak sabar masuk kuliah besok. Mereka juga bahkan udah minjem buku paket yang dipakai semester ini dari senior.”
Ugi dan Ronald memberikan pandangan jijik. Untunglah, wangi mie rebus plus telor yang semerbak menyongsong meja mereka dari kejauhan.
Mata ketiganya berbinar penuh harap pada mbak- mbak kantin yang membawa tiga mangkuk mie itu.
***
Ronald sama sekali tidak merasa –sebagaimana istilah anak gaul sekarang –excited dengan hari pertama kuliahnya. Hari pertama ia mulai dengan kemalasan karena kelas yang dimulai setengah sepuluh, dan babe yang memiliki otoritas penuh memberinya tugas menjaga warung sampai jam setengah sembilan.
Ronald sudah membaca buku ‘Panduan Mahasiswa Baru’ dan ‘Tata Tertib Kampus’ dengan seksama. Ada beberapa degree yang ditawarkan kampusnya, baik berupa dual degree atau accelerated degree. Dual degree bisa diperoleh dengan ikut serta pertukaran mahasiswa ke kampus mitra selama setahun hingga satu setengah tahun, dan mata kuliah yang kita ambil saat di kampus mitra terhitung masuk dalam SKS yang telah kita ambil. Jika seorang Ronald tamat nanti, ia akan memperoleh dua titel Sarjana Ekonomi : pertama dari kampusnya sekarang, dan yang kedua dari kampus mitra.
Accelerated degree diperoleh jika mereka berencana mengambil jalur langsung melanjutkan Magister. Mata kuliah yang akan diambil semasa Magister sudah bisa diambil pada semester ketujuh nanti, ketika mahasiswa sedang mengambil skripsi. Dengan demikian, jika seorang Ronald mengambil accelerated degree, ia hanya perlu mengambil satu tahun kuliah untuk menyelesaikan tesis magister. Total, ada lima tahun yang akan ia gunakan dengan bonus titel Sarjana dan Master sekaligus. Menarik, bukan? Dan pendaftaran untuk kedua program ini sudah bisa dimulai dari sekarang, agar nantinya mereka bisa berkonsultasi lebih lanjut dengan dosen wali.
Dan Ronald tidak mengambil salah satunya. Tidak antusias, tidak berminat, dan tidak peduli.
Dia menyembunyikan semua buku panduan itu ke kotak tempat tidur Macho. Emak dan babenya cukup education literate, yang dalam bahasa lokal : sangat memperhatikan pendidikan anak- anaknya dan lebih ambisius dari anaknya.
Ronald tidak ingin emak babe menyuruhnya mengambil salah satu—atau bahkan kedua program itu. Walaupun ia ditawari Lamborghini sekalipun.
Pagi itu Ronald sudah berkemeja rapi sesuai yang tertera di buku petunjuk. Rambut keritingnya juga sudah dipotong sesuai apa yang diharapkan pada anak- anak maba (inilah yang membuat maba terlihat berbeda dengan mahasiswa tua). Setelah pamit dan mendapat tambahan dana dari Babe, ia berjalan sekitar lima belas menit ke kampus. Ia sudah janjian dengan Ugi dan Marcus untuk bertemu di depan gerbang.
Dari kejauhan, sudah tampak Ugi dan Marcus sudah berdiri menunggunya. Ronald melambai, dan bersorak menyapa, yang dibalas oleh keduanya. Begitu sampai, mereka saling bertanya kabar, dan langsung melangkah memasuki gerbang.
Deg.
Ronald menyadari ada Vinny, tak jauh di depannya. Ia mengenakan kemeja flanel abu- abu kombinasi hijau, yang makin mengesankan kulitnya yang pucat. Telinga Ronald tak lagi mendengarkan percakapan Ugi dan Marcus karena pikirannya sudah tertuju pada Vinny. Ditambah lagi rasa penasaran.
Kira- kira Vinny ada kelas apa pagi ini?
Ronald tersadar dan memberi beberapa respons pada percakapan kawan- kawannya itu. Namun matanya masih awas memperhatikan ke mana kaki Vinny melangkah. Mata Ronald terus membulat, karena gadis itu melangkah ke dalam gedung yang sama dengan mereka bertiga.
Oh, pasti cuman gedungnya yang sama.
Mereka ikut masuk ke gedung A, tepat ketika Vinny tak terlihat lagi di sepanjang lorong lantai satu.
“Ruang mana?” tanya Marcus pada Ronald dan Ugi.
“A13,” sahut Ugi.
Mereka melihat ke arah papan nomor di atas pintu masing- masing kelas. Ruang A13 tepat di sebelah kiri mereka, dua dari pintu depan. Ketiga melangkah ke dalam kelas yang rapi dan bersih penuh aroma pengharum lantai, dan sudah mulai dipadati anak- anak lain. Tapi mata Ronald hanya tertuju pada satu titik.
Vinny berada di kelas yang sama dengannya.