six !

1214 Kata
Ronald sungguh uring- uringan sore itu. Betapa tidak? Selain habis dipermalukan karena perbuatannya sendiri, ditambah Vinny yang sama sekali tidak berniat membocorkan jurusan yang ia masuki, plus kebahagiaan yang baru saja diberikan Ronald pada Faza. Ya, mahasiswa yang strict itu awalnya sangat berharap bisa memarah- marahi juniornya yang baru masuk itu dengan menjadi anggota panitia Ospek. Tapi, kebijakan pun berubah secepat angin berlalu. Ospek tidak diperbolehkan dalam bentuk kekerasan, baik fisik ataupun verbal. Pelatihan kebugaran fisik pun tak lagi diperbolehkan, sebab Ospek mestilah semata- mata hanya sebagai bentuk perkenalan mahasiswa baru pada kampusnya. Tapi dengan kebadungan Ronald yang tidak menyimak saat kumpul kelompok, Faza dengan tawa liciknya jadi punya alasan untuk memberi Ronald sedikit pelatihan jasmani. Faza ‘memaksa’ Ronald untuk melakukan push- up dan sit- up masing- masing lima puluh kali. Alangkah bahagianya Faza, karena musim semi baru mendatanginya. Setelah melakukan pelatihan jasmani itu dengan hasil perut tambun yang mendadak tegang dan otot tangan yang sakit akibat tidak pernah dilatih, Ronald mengumpat- umpat Faza dalam hati. Faza memberi senyum malaikatnya agar Ronald tidak lagi mengulangi perbuatannya, tapi wajah polos tak bersalah itu tidak berhasil mengusir penilaian buruk Ronald untuk Faza. Bagi Ronald, Faza adalah contoh orang yang akan menghuni kerak neraka akibat kesenangannya menyiksa orang lain dengan dasar idealisme. Bahkan perutnya masih terasa tegang saat kumpul kelompok itu sudah dibubarkan oleh Nindya. Agak tidak berfaedah bagi Ronald, sebenarnya. Nindya hanya mengabsen anak- anak bimbingannya dan menjelaskan pakaian yang akan mereka kenakan saat Ospek besok, lengkap dengan atribut. Padahal ‘kan Nindya bisa saja mengiriminya pesan singkat, seperti kemarin- kemarin? “Nggak usah dimasukin ke hati, Faza orangnya emang gitu,” kata Ugi, diikuti Marcus yang mengangguk- angguk semangat di sampingnya. Ugi dan Marcus adalah dua teman baru Ronald di kelompok itu yang baru ia ajak berkenalan. Bagusnya, keduanya sama- sama berada di jurusan Akuntansi, sama dengan Ronald. Ugi juga berasal dari IPA semasa sekolahnya dulu, sedangkan Marcus dari IPS, dan mereka berdua juga satu sekolah. Ugi kembali melanjutkan saat mereka berjalan menuju gerbang kampus, “Gue dulu satu sekolah sama dia. Idealis parah sih, tuh anak. Untungnya kita nggak sejurusan sama dia.” “Emang si Faza jurusan apa?” tanya Marcus. “Manajemen,” sahut Ugi singkat. “Lo, nggak apa- apa, kan, Ron?” “Iya, gue nggak apa- apa, kok,” kata Ronald. Mereka bertiga sudah sampai di pintu gerbang. “Rumah lo arah mana, Ron?” tanya Ugi. “Gue deket, kok. Cuma seblok dari sini. Lo berdua?” “Kita berdua cuma sekali naik angkot dari sini,” kata Marcus. “Gue sama Ugi deketan. Kalau lo naik angkot putih, terus aja sampai menjelang perhentian terakhir. Terminal.” “Oh, gitu.” “Kapan- kapan main bareng, yuk?” “PS?” “Lo punya?” “Ada.” “PS berapa?” tanya Ugi nimbrung. “Empat.” “Gileee!” seru Ugi terkagum- kagum. Marcus ikut mengangguk antusias. “Boleh. Gue sama Ugi biasanya cuma main game di ponsel, sih. Kita nggak dibolehin bonyok punya console game.” “Wah, sering- sering aja main ke rumah gue.” “Sip! Nomor lu berapa?” tanya Marcus. Akhirnya ketiga pemuda beranjak dewasa itu saling bertukar nomor demi prospek bermain bersama. Setelah selesai, ketiganya saling melambai berpisah, dan Ronald pun berjalan pulang kembali ke rumahnya. Sekitar lima belas menit berjalan, Ronald sampai di rumahnya dalam keadaan sehat walafiat. Ia langsung bertemu muka dengan babenya yang tengah menjaga warung. “Udah ngumpulnya, Jang?” sapa babenya yang masih senang mengipas- ngipas. “Udah, Be,” katanya ragu- ragu. Dia berniat memberitahu babenya soal perlengkapan yang hendak dibeli untuk besok. Pita warna oranye dan kertas oranye untuk nametag. Ronald sudah kapok memberitahu babenya informasi pada detik –detik terakhir, contohnya seperti uang semesterannya. Ronald memang benar- benar menepati janjinya pada diri sendiri soal memberitahu babe dan emaknya tentang pembayaran uang kuliah dan besarannya pada tanggal 30 Juli, tepat sehari sebelum tenggat waktu. Emak dan babe sebenarnya sudah mempersiapkan uang untuk keperluan kuliah Ronald, tapi beliau berdua tidak tahan jika mendapat info mendadak. Alhasil, tak hanya panik, namun emak dan babenya juga mengamuk seketika , melebihi sapu lidi yang biasa diistirahatkan dan dibangkitkan kembali tiba- tiba. Ia tak takut dengan sapu lidi emaknya, karena Ronald biasanya bisa mengelak dari tusukan ala anggar dari emak. Tapi dia selalu menyerah dari usaha babe. Babe Ronald, meskipun sudah mulai buncit dan hanya pensiunan pegawai negeri yang suka duduk- duduk di sofa, masih terhitung pria gesit untuk seusianya. Begitu Ronald memberitahukan info keuangan kuliah pada tanggal 30 Juli yang penuh kenangan itu, Ronald langsung berlari tepat setelah kalimatnya selesai. Namun babe dengan cekatan menangkap tubuh Ronald dan menariknya dengan ringan. Ia memiting leher anaknya itu, lalu mempersiapkan buku- buku jarinya yang gemuk dan besar- besar. Bukan, bukan untuk mengasari anaknya seperti yang kalian bayangkan. Gitu- gitu, emak dan babe melarang keras kekerasan dalam rumah tangga. Yang akan dilakukan babe hanyalah :  1) memastikan posisi ubun- ubun anaknya, 2) mempersiapkan buku- buku jarinya dengan sempurna, 3) meletakkan buku- buku jarinya tepat di ubun- ubun anaknya, 4) memutar- mutar buku- buku jari itu pada posisi yang telah ditentukan, alias mengkilik- kilik kepala anaknya. Efeknya luar biasa bagi Ronald : ia akan tertawa kegelian terbahak- bahak karena kegelian sekaligus menangis berurai air mata karena buku- buku jari babenya yang menekan dengan keras (plus batu akik warna- warni memberi tambahan tekanan). Dan emak pun menyetujui cara ini. Lebih efektif. Kilik- kilik itu berhenti ketika dengan terbata- bata, dan bersusah payah Ronald mengatakan, “Ampun, Be, ampun! Bisa pakai internet banking, kok, Be. Nggak repot ngantri di bank!” Tapi Babe hanya bergeming. Api makin disulut oleh Angel yang memang hobi meniup- niup. “Terusin aja, Be! Siapa suruh ngasih tahu infonya mepet?” dukung Angel. Ia tengah menyisir bulu Macho yang baru selesai mandi. Wajahnya tersenyum jahat, dendam akibat Ronald yang terus saja mangkir dari janji untuk menraktir dirinya. Mendengar itu, Ronald melirik adiknya dengan putus asa. Dia tidak terbiasa memohon- mohon, tapi Angel yang terus mencibir dan membulat- monyongkan bibirnya membentuk kata- kata bisu ‘derita lo, bang! traktiran mana?’ harus membuat Ronald menyerah. Selagi terbahak- bahak, ia menundukkan kepala pada Angel. Sedetik kemudian Ronald menangis dan menundukkan kepalanya lagi ke arah Angel, dan Angel sudah meng-approve permintaannya.  Angel bangkit dari duduk dan mengambil ponsel babe di ruang makan. Dia membuka aplikasi perbankan di ponsel itu sambil mendekati babenya yang tengah asyik bersenda- gurau dengan Ronald. “Nih, Be. Cuman pencet ini, doang. Ga perlu susah- susah. Babe sama emak jadi nggak repot kemana- mana cuman buat bayar uang kuliah Bang Ronald,” jelas Angel dengan penuh kelemah- lembutan. Seketika senda- gurau babe berhenti. Ia lalu bertanya lagi, “Lah, abis itu diapain lagi, Dis?” (Angel dipanggil ‘Gadis’ oleh babe). Dengan senang hati, Angel memberikan tutorial pembayaran uang pada babe, dan babe mengikuti tutorial itu dengan antusias. Tensi yang meninggi di ruang tengah itu dengan cepat turun, ditandai tatapan tajam Angel yang menagih janji. Ia tahu, saat itu jika ia sekali lagi mangkir dari janjinya untuk menraktir Angel, mungkin Angel akan memberinya pandangan yang akan mengubahnya seketika menjadi batu. Ronald menggeleng- geleng. Tidak, ia tidak ingin merasakan pelatihan fisik sekali lagi hari ini, dan juga tidak ingin memberi semangat baru pada Angel. “Kok nggeleng- nggeleng sendiri, Jang? Pusing?” tanya babe penasaran, melihat anaknya sibuk berekspresi sendiri. “Oh, bukan, Be,” kata Ronald yang tersadar. “Gini. Ronald mau minta duit buat beli pita sama karton oranye, Be. Buat besok.” Alis babenya naik, namun Ronald segera mencegah hal- hal yang tidak diinginkan. “Baru dikasih tahu kakak senior tadi, Be. Pas ngumpul,” kata Ronald sambil mengangkat lengannya di dekat kepala, naluri bertahannya. Mendengar penjelasan itu, alis babe turun. Memang, lebih baik segera menginformasikan semua urusan kampusnya pada emak dan babe, pikir Ronald. Lihatlah, betapa cepatnya babe merogoh koceknya demi mendanai pita dan karton oranye putra tercinta.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN