Tak Ada Alasan Untuk Bertahan

1286 Kata
“Bagaimana, Dok? Apa ada yang serius?” tanya Rendi pada dokter yang tengah memeriksa luka di tangan Nadia. Dokter itu menoleh sambil menggeleng pelan. “Anda tidak perlu kuatir berlebihan seperti itu. Ini hanya sebuah luka kecil, tidak perlu mendapat penanganan khusus,” jawab dokter yang membuat Rendi merasa malu. Ia sudah merasa begitu khawatir dengan luka yang ternyata tidak seberapa. “Apa Dokter yakin jika tidak ada yang serius? Apa tidak sebaiknya kak Nadia di rawat untuk memastikan memang tidak ada luka yang serius?” Tak seperti Maya yang masih saja merasa jika dokter itu terlalu meremehkan luka di tangan Nadia. “Apa yang harus di rawat dari luka Nona ini? Merah kulit ini biasa terjadi jika kulit bersentuhan dengan benda panas. Lihat... bahkan tidak ada luka melepuh di sana. Kalaupun tadi dibiarkan saja juga pasti akan pulih dengan sendirinya.” terang Dokter sambil menahan tawa karena merasa sikap Maya terlalu berlebihan. Berbeda dengan Nadia yang tangannya digadang terluka. Wanita cantik itu duduk tertunduk di atas bed rumah sakit. Seorang perawat mengoleskan salep ke kulitnya yang sedikit memerah. Ia hanya terdiam, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan mungkin tidak memperhatikan pembicaraan yang tengah terjadi di sana. Pikirannya sibuk dipenuhi ingatan ketika Rendi terlihat begitu mengkhawatirkan keadaan Airin. Satu hal yang sukses membuatnya merasa iri, lebih tepatnya cemburu. ‘Aku tidak pernah melihat Rendi begitu kuatir terhadap wanita lain selain kepadaku. Kenapa pada wanita itu, Rendi terlihat sangat perhatian? Bahkan aku merasa jika wanita itu sudah mengalihkan dunia Rendi.’ gumam Nadia dalam hati. ‘Bagaimana bisa ada wanita lain yang berhasil mencuri hatimu dariku, sedang aku adalah satu-satunya wanita yang sangat kamu cintai selama ini? Aku tidak bisa membiarkan perasaanmu pada wanita itu terus tumbuh! Tidak bisa! Aku tidak rela jika kamu mencintai wanita lain selain aku! Akan kurebut kembali hatimu yang hanya akan menjadi milikku!’ tegas Nadia yang membuat tekadnya membuat Rendi kembali bersamanya semakin bulat. * * * Airin terlihat lebih segar setelah ia mandi pagi. Hatinya pun terasa lebih lega setelah menumpahkan segala rasa sakit dan kesedihannya tadi malam. Di sisir rambutnya yang panjang di depan cermin. Setelah mematutkan wajah cantiknya dengan riasan tipis namun membuat wajahnya terlihat lebih cerah, wanita itu lantas menarik koper berisi pakaian keluar dari kamar. Semalam Airin memang sudah mengemasi semua barang miliknya ke dalam koper. Tak hanya itu, ia juga mengambil semua barang yang pernah ia hadiahkan untuk Rendi dari susunan rak kaca dan memasukkannya ke dalam satu tas besar. Perlahan namun pasti kakinya melangkah turun, menapaki satu persatu anak tangga sambil menyeret koper dan menjinjing tas besar dengan tangannya yang terbalut perban. Pak Adi yang berdiri di lantai bawah segera berlari mendekat dan meminta tas serta koper itu dari Airin. “Biar saya yang bawakan, Bu!” pintanya kemudian. Airin mengangguk lalu menyerahkan barang yang di pegangnya pada sopir pribadinya itu. Bi Darmi yang berdiri tertunduk di anak tangga yang terakhir terlihat sesenggukan. Rupanya wanita paruh baya itu menangis ketika mengetahui jika majikan perempuannya itu memutuskan untuk pergi. Semalam ia mendapati Airin menangis seorang diri di ruang kerja majikannya dengan tangan terluka terbalut sapu tangan. Bi Darmi yang berusaha menenangkan Nyonyanya ikut menangis ketika mendengar Airin menceritakan keluh kesahnya. Bahkan ia juga yang membersihkan dan mengobati luka di punggung tangan Airin, serta menutupnya dengan balutan perban. Maka tak aneh jika saat ini asisten rumah tangga yang sudah bertahun mengabdi pada keluarga itu merasa sedih ketika mengetahui jika majikan perempuanya ingin pergi. “Bi, kalau Tuan pulang nanti, tolong siapkan segala keperluannya seperti yang biasa saya lakukan. Dan tolong pastikan Tuan menerima dokumen yang saya letakkan di meja kerjanya!” pesan Airin ketika berpamitan pada pembantunya itu. Airin memutar tubuhnya, menatap sekeliling ruangan yang selama ini begitu akrab dengan kesehariannya untuk yang terakhir kali. Ingatannya terhenti saat ia berdiri di balkon ruang atas beberapa saat yang lalu. Ketika ia menghubungi Tante Silvia yang tak lain adalah mertuanya. “Tante, hari ini tepat kontrak kita sudah berakhir. Saya sudah memenuhi semua kewajiban saya selama lima tahun ini. Saya sudah berusaha mencintai Mas Rendi sepenuh hati serta menjalankan semua kewajiban sebagai seorang istri. Namun ternyata sampai sekarang pun hatinya tak pernah terbuka untuk menerima perasaan yang saya berikan.” Airin terlihat berbicara dengan seseorang dengan ponselnya. “Tante minta maaf jika sikap Rendi mengecewakanmu. Sungguh Tante tak pernah berharap jika semua akan berakhir seperti ini. Tante berharap jika kamu dan Rendi akan bisa bersama selamanya,” balas lawan bicaranya, membuat Airin tersenyum tipis mendengarnya. Karena sebenarnya dirinya pun pernah berharap yang sama, meski ternyata kenyataannya berbeda. “Kita tidak pernah bisa memutuskan akhirnya seperti apa. Saya berterima kasih atas apa yang selama ini Tante berikan kepada saya. Atas semua bantuan dan biaya yang Tante berikan hingga saya bisa menyelesaikan kuliah. Anggap saja saya sudah menggantinya hingga lunas. Hari ini saya akan pergi, mengejar impian saya yang pernah tertunda.” Airin meremas gagang ponselnya lebih erat. “Semoga setelah ini tidak ada lagi hutang yang harus saya bayar. Perjanjian kita berakhir, begitu juga dengan pernikahan ini. Saya sudah mengajukan gugatan cerai dan pengacara saya yang akan mengurus semuanya.” Tegasnya kemudian. “Ai, jika ada yang bisa saya bantu, katakan saja. Atau kamu ingin saya menyiapkan semua akomodasi dan tempat tinggal untukmu di kota yang baru?” tawar Tante Silvia lagi. “Tidak perlu, Tante. Saya sudah mengurus semuanya. Sudah waktunya saya pergi, semoga selalu bahagia, Tante.” Ditutupnya panggilan teleponnya. Airin menghela nafas panjang, ditatap dokumen yang ada di tangan kanannya. Dokumen perceraian yang sudah ia siapkan jauh hari sebelumnya. Yang sebenarnya tidak pernah ingin ia tandatangani hari ini. Langkahnya terhenti di depan meja kerja suaminya. Ia letakkan dokumen itu tepat di atasnya. “Terima kasih atas luka yang kamu berikan padaku, Mas. Yang meski aku berlari mengejar cintamu pun, entah kenapa tak sekalipun kamu mau menoleh ke arahku. Kemarin baru ku sadari, jika sampai detik ini memang tidak pernah ada tempat untukku di hatimu. Dan tidak ada lagi alasan bagiku untuk tetap bertahan di pernikahan ini.” Di tatapnya foto Rendi berukuran jumbo yang terpampang di belakang kursi kerja pria itu. “Kuharap kamu segera menandatangani dokumen ini, dokumen perceraian kita. Agar kamu bisa segera menikahi wanita yang kamu cintai itu.” * * * “Ai... Ai... tolong buatkan saya secangkir teh!” teriak Rendi yang baru saja sampai dan sedang merebahkan diri di sofa ruang tengah. Wajahnya terlihat kusut. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya. Rasanya lelah sekali setelah semalaman ia terpaksa menginap di apartemen Nadia karena wanita itu terus saja merengek minta ditemani. Sedang Maya terus saja memaksanya untuk menuruti permintaan mantan kekasih kakaknya itu. Alhasil Rendi tidak tidur semalaman dan harus terus terjaga karena Nadia tidak juga mau terlelap tidur. “Ai... apa kamu tidak dengar yang aku katakan?” lagi Rendi berteriak sedikit kesal karena belum juga melihat istrinya datang ketika ia panggil. Padahal biasanya wanita cantik itu akan selalu datang tiap kali melihat Rendi pulang. Airin akan menyambutnya dengan hangat dengan secangkir teh yang sudah ia hidangkan padahal Rendi belum memintanya. Namun pagi ini sedikit berbeda. Sejak tadi Rendi belum melihatnya datang padahal ia sudah berteriak memanggilnya berulang kali. Malah Bi Darmi yang tergopoh datang dengan membawa secangkir teh di tangannya. Ia segera meletakkan teh yang di bawanya ke atas meja. Membuat Rendi mengerutkan keningnya penuh tanya. “Kenapa kamu yang bawa tehnya, Bi? Mana Airin?” tanyanya kemudian. Wanita paruh baya itu terlihat kebingungan untuk menjawab pertanyaan Tuannya. “Itu... itu... Nyonya...,” “Nyonya apa, Bi?” Rendi merasa tidak sabar untuk mendengar jawaban Bi Darmi. Tapi asisten rumah tangganya terlihat bingung untuk menjelaskan. Membuat pria itu berdiri dari duduknya, rahangnya mengeras. “Mana Airin!?” bentaknya kemudian karena ia merasa semakin kesal belum juga mendapatkan jawaban.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN