Kecewa

1177 Kata
“Kak Nadia, apa sakit? Apa tangan kakak terluka? Mungkin sebaiknya kita ke dokter sekarang!” tanya Maya panik. Tak mendapat jawaban dari Nadia, membuat Maya heran. Ditatap wajah mantan kekasih kakaknya itu, yang perhatiannya tertuju ke depan tanpa kedip. Membuat Maya ikut mengalihkan pandangannya dan kini ia mengerti jika Nadia sedang merasa kesal. “Mas, kenapa diam saja? Lihat ini tangan Kak Nadia juga terluka kena cipratan kuah panas! Ayo kita bawa kak Nadia ke dokter! Saya takut jika dibiarkan, kulit kak Nadia bisa melepuh nanti.” Teriak Maya dengan sedikit memaksa pada Rendi. “Airin juga terluka, Maya! Dan mungkin tangannya lah yang terkena lebih banyak tumpahan kuah panas.” tolak Rendi. “Nyonya, maafkan saya! Saya benar-benar tidak sengaja,” pinta sang pelayan dengan suara bergetar. Jelas sekali terlihat jika ia merasa sangat ketakutan. Tangannya berusaha membantu mengeringkan kulit tangan Airin yang basah dengan lapnya. Membuat wanita itu meringis menahan perih. “Airin biar dibantu sama pelayan itu, anggap saja itu sebagai bentuk pertanggung jawabannya. Kalau bukan karena kecerobohannya tidak mungkin kan tangan istrimu itu akan terluka!” kesal Maya. “Sekarang yang terpenting membawa kak Nadia ke dokter secepatnya. Saya nggak mau kulit kak Nadia terluka. Mas Rendi kan tahu jika kak Nadia tidak tahan sakit!” ancam Maya lagi. “Perih... perih sekali...,” isak Nadia tiba-tiba sambil menggenggam erat telapak tangan kirinya. Membuat Maya semakin panik. Bahkan Rendi pun langsung melepaskan genggaman tangannya pada Airin, seketika berdiri dan berjalan tergesa menghampiri Nadia. “Kamu tidak apa-apa, Nad?” tanyanya khawatir. Mendapati suaminya terlihat lebih kuatir dengan keadaan wanita lain di hadapannya, tentu saja membuat Airin merasa sangat kecewa. “Ayo Mas, kita ke dokter sekarang!” rengek Maya penuh paksaan pada Rendi. Pria itu menoleh pada Airin yang ada di seberangnya. Istrinya yang masih duduk di kursinya, menggenggam pergelangan tangannya dengan erat karena kulit punggung tangannya memerah sambil menatapnya penuh luka. “Ai, saya akan mengantar Nadia ke dokter. Kamu bisa ikut kami sekalian jika kamu rasa tanganmu juga harus segera diobati,” tawaran Rendi terdengar begitu perih menyayat hati Airin. Mata wanita itu berkaca-kaca, hanya menunggu waktu untuk bulir bening itu menyusup keluar. Wanita mana yang tidak akan merasa terluka jika suaminya lebih mengkhawatirkan keadaan wanita lain. Padahal nyata jika keadaan istrinya sendiri yang sebenarnya lebih parah dibanding wanita lain tersebut. Airin menundukkan wajahnya sesaat, berusaha sebisa mungkin menahan air matanya untuk tidak jatuh di hadapan orang-orang yang akan menertawakan rasa sakitnya. Wanita itu menggeleng perlahan, lalu mengangkat wajahnya. “Saya tidak apa, jangan kuatir. Antarkan saja dia jika itu baik menurutmu!” jawabnya singkat dan datar. Perih ditangannya tidak lagi ia rasakan, karena sakitnya masih tak seberapa dibanding torehan luka yang baru saja Rendi goreskan di hatinya. “Kalau begitu kita bertemu di rumah nanti, saya akan segera pulang selepas mengantar Nadia,” balas Rendi sebelum pria itu membantu Nadia berdiri dari duduknya dan memapahnya berjalan keluar dari tempat itu. "Padahal tangan Nyonya yang terluka lebih parah, tapi kenapa mereka malah membawa wanita itu ke dokter?” celetuk seorang pelayan yang sejak tadi berdiri di belakang Airin, merasa iba dengan wanita di hadapannya. “Entahlah, aku juga tidak mengerti. Mungkin wanita itu adalah orang yang penting bagi Tuan itu,” timpal yang lainnya. Mendengar obrolan di belakangnya, Airin tersenyum kecut. ‘Jadi aku memang bukan orang yang penting buatmu, Mas? Tadinya aku sempat berpikir jika hatimu sudah terbuka untuk menerima kehadiranku, ternyata aku salah. Bahkan ketika luka yang aku rasa lebih parah pun, justru dia yang kamu perhatikan. Haha... miris sekali nasibku ini,’ gumam Airin dalam hati, menertawakan dirinya sendiri. * * * Rumah terasa sepi saat Airin tiba. Mungkin Bi Darmi dan Pak Adi sudah tidur di kamarnya masing-masing, karena memang ia datang sudah lewat tengah malam. Wanita itu sengaja tidak meminta pak Adi untuk menjemputnya dan lebih memilih naik taksi online ketika meninggalkan restoran tadi. Airin berjalan perlahan menapaki anak tangga menuju lantai atas. Wajahnya terlihat lesu, tak ada lagi kebahagiaan yang terpancar seperti saat pergi tadi. Rasa lelah, marah, kecewa, dan sedih bercampur aduk menjadi satu. Masih terbayang kejadian di restoran tadi yang membuat rasa kesalnya bertambah. Ia tidak pernah menyangka jika perayaan ulang tahun pernikahannya akan berakhir seperti itu. Langkahnya terhenti tepat di depan sebuah ruangan. Cahaya lampunya menyusup keluar dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Telapak tangannya yang terbalut sapu tangan mendorong pelan daun pintu itu hingga terbuka. Airin melangkah masuk ke dalam ruangan yang sekalipun ia belum pernah masuk ke dalamnya. Ruangan itu adalah ruang kerja Rendi. Ruangan pribadi yang memang pria itu tak mengizinkan siapa pun termasuk Airin untuk masuk ke dalamnya. Tapi entah mengapa malam ini wanita itu tertarik untuk mengetahui isi ruangan kerja suaminya. Beberapa pigura besar berisi foto diri terpampang di dinding ruangan. Foto Rendi dan keluarga besar, namun tak ada satu pun dari foto itu ada potret dirinya. Airin meringis mengetahui hal itu. Diedarkan pandangannya menyisir seluruh sudut ruangan. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada rak kaca bertingkat yang tersusun di salah satu sisi dinding ruangan itu. Kakinya berjalan mendekat dan pandangannya tak lepas meneliti seluruh barang yang terpajang di sana. Barang yang sangat ia kenal dan familiar baginya. Tangannya terulur mengambil sebuah kotak berpita biru yang ada di hadapannya. Matanya memanas mendapati kado yang ia berikan untuk suaminya pagi tadi tersimpan di rak itu masih dalam keadaan utuh. Jelas sekali jika Rendi belum membuka dan melihat apa isinya. Lalu perlahan di tatap satu persatu benda lain yang juga tersusun rapi di sana. Semua adalah benda yang pernah ia berikan sebagai hadiah untuk suaminya. Dan semua benda itu masih dalam keadaan utuh terbungkus rapi tanpa ada bekas dibuka. Ini berarti selama ini Rendi tidak pernah membuka apa pun kado yang Airin berikan untuknya. Padahal selama mendampingi Rendi, wanita cantik itu tidak pernah melupakan satu momen penting pun dalam hidup suaminya. Airin selalu ingat dan tak pernah terlewat memberikan kado sebagai ucapan selamat tak hanya ketika Rendi berulang tahun tapi juga setiap ulang tahun pernikahan mereka. Meski Airin tidak pernah menerima imbal balik yang sama dari suaminya. Sekali saja Rendi memang belum pernah memberikan hadiah bagi istrinya itu. Tak sadar air mata Airin menyusup keluar. Rasanya wanita itu sudah tak sanggup lagi menahannya sejak kejadian di restoran tadi. Kakinya terasa lemas, tubuh Airin luruh ke lantai. Wanita itu terisak sambil meremas kotak hadiah yang masih di pegangnya. “Apakah memang tidak ada harganya aku di hidupmu selama ini, Mas? Setelah semua yang aku berikan untukmu, segala perhatian dan rasa sayang yang hanya tertuju untukmu. Dan lima tahun waktu yang aku berikan untuk mendampingimu ini ternyata sia-sia. Semua tidak ada artinya. Semua tidak ada harganya,” tangisnya pecah terdengar memenuhi ruangan. Air matanya deras terurai. Airin menumpahkan segala kekecewaan dan rasa sakit yang ia pendam selama ini. Setiap peristiwa selama lima tahun ia menjadi istri Rendi berkelebat dalam ingatannya. Membuat lukanya terasa semakin perih ketika ia menyadari jika usahanya selama ini untuk mendapatkan cinta suaminya adalah sia-sia. Airin hanya mencintai sendiri. Rendi tak pernah membuka hati untuknya. Dan kenyataan itu semakin membuat Airin hancur. Malam ini terasa begitu berat untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN