Dia Adalah Nadia

2054 Kata
“Airin, saya hanya sekedar mengingatkan jika hari ini adalah hari terakhir perjanjian kita. Dan setelahnya kamu bebas melakukan apa yang ingin kamu lakukan. Bagaimana keputusanmu? Kuharap semoga waktu lima tahun cukup untukmu mendapatkan cinta Rendi.” Suara Tante Silvia dari ujung panggilan. Airin memejamkan kedua matanya sambil berusaha meraup udara sebanyak mungkin. Mencoba berpikir jernih sebelum memberi jawaban pada wanita yang sudah melahirkan suaminya ke dunia. “Saya belum bisa memberi keputusan sekarang, Tante. Tapi secepatnya akan saya kabari,” balas Airin singkat. Terdengar helaan nafas panjang dari lawan bicaranya. “Ai, kamu tahu jika saya sangat menyayangimu dan sudah menganggapmu sebagai putri sendiri. Apalagi kamu sekarang adalah istri Rendi yang secara otomatis menjadi menantu Tante. Tolong pikirkan dulu semua sebelum mengambil keputusan nanti.” “Saya tahu apa yang harus saya lakukan, Tante. Secepatnya Tante akan mendapat jawaban dari saya!” jawab Airin sebelum ia menutup panggilan itu. Diletakkan benda pipih itu di atas meja. Tidak banyak yang bisa ia katakan pada ibu mertuanya itu. Ada getir dalam hatinya, ketika terlintas bayangan suaminya berbalas pesan dengan seorang wanita bernama Nadia beberapa menit yang lalu, dan kini ia ingat jika Nadia adalah nama mantan kekasih Rendi. Wanita yang mampu membuat hati pria itu terluka begitu dalam sebelum akhirnya Rendi bersedia menikah dengan Airin. “Apa mungkin dia adalah Nadia yang sama dengan mantan kekasih mas Rendi? Ah.. nama Nadia bukan hanya dia, bisa saja klien atau nama salah satu anak buah mas Rendi di kantor,” ucap Airin sendiri, mencoba menghilangkan risau yang ia akui mulai mengganggu dirinya. “Tapi bagaimana jika memang benar dia...,” gusar Airin. * * * [Ai, nanti kamu bisa kan pergi sendiri ke Resto? Saya sudah pesan tempatnya, tapi maaf saya tidak bisa menjemputmu. Ada hal penting yang harus saya lakukan, jadi kita bertemu di sana saja. Tidak apa-apa kan?] Sebuah pesan masuk membuat Airin yang tengah bersiap di depan meja riasnya terpaksa berhenti sejenak. Diambilnya ponsel pintarnya itu, lalu membaca pesan yang baru saja Rendi kirim kepadanya. [iya... tidak apa, Mas. Saya bisa pergi diantar sopir dan kita bertemu di sana. Mas selesaikan dulu saja semua urusan kantor.] Jemari lentik Airin tampak lihai menari di atas layar ponselnya. Wanita itu segera mengirim balasan pesan untuk suaminya. Tak lama pesan dari Rendi kembali masuk, mengirim nama sebuah restoran mewah serta nomor reservasi yang sudah pria itu pesan untuk mereka berdua menghabiskan waktu malam ini berdua. Yang Airin ketahui jika tempat itu adalah restoran mewah berada tepat di tengah kota dan tak sembarang orang bisa memesan tempat apalagi makan di sana. Senyuman terkembang di bibir ranum Airin. Wanita itu merasa bahagia karena ternyata Rendi memang berniat menebus rasa bersalah pagi tadi dengan mengajaknya makan di tempat istimewa. Yang artinya saminya itu menghargai dan peduli dengan dirinya. Walau terlambat tapi kejutan dari Rendi ini mampu membuat hati Airin berbunga-bunga. Tak mengapa kalau harus pergi sendiri dengan sopir, ia hanya berusaha memahami jika memang suaminya seorang pimpinan yang selalu disibukkan dengan pekerjaannya. Diletakkan kembali ponsel miliknya dan segera menyelesaikan riasan wajahnya. Airin ingin terlihat sempurna malam ini, karena makan malam kali ini begitu istimewa baginya dan Rendi. Makan malam sebagai perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang ke lima. Dan mungkin saja jadi makan malam terakhir mereka sebagai suami istri. * * * Sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan pintu masuk restoran. Sang sopir terburu keluar untuk membukakan pintu belakang kendaraannya. Sepasang kaki jenjang mulus tanpa cela turun dari dalam mobil. Penampilan Airin dengan gaun panjang warna hitam sukses mencuri perhatian orang yang ada di sekelilingnya. “Pak Adi, Anda pulang saja... tidak usah menunggu saya. Nanti saya pulang bareng sama Tuan!” perintah Airin pada sopir yang mengantarnya. “Baik, Bu.” Jawab pak Adi singkat sambil menganggukkan kepala. Setelah memastikan majikannya masuk ke dalam restoran, pak Adi segera melajukan kendaraannya untuk meninggalkan tempat itu. Berbeda dengan Airin yang melangkah masuk ke dalam restoran dengan anggun. Penuh pesona dan sangat berkelas, hingga mampu mencuri perhatian para pengunjung restoran dengan kecantikannya. Membuat beberapa orang tampak saling berbisik membicarakan dirinya. Seorang pelayan mengantarkan Airin pada sebuah ruangan setelah wanita menyebutkan siapa namanya. Sebuah meja dengan hiasan bunga cukup indah dalam ruangan khusus dengan pemandangan yang istimewa. Wanita cantik itu memutar pandangannya, menatap sekeliling ruangan yang membuat senyum terkembang di wajahnya yang ayu. Tempat yang sempurna untuk merayakan pesta ulang tahun pernikahan. Memang Rendi pandai memilih tempat romantis untuk pasangannya. Baru saja ia hendak duduk, namun gerakkannya terhenti ketika Airin melihat Rendi datang. Wanita itu menyambut sang suami dengan penampilan terbaiknya. Ia tidak ingin mengecewakan Rendi yang sudah merencanakan makan malam romantis untuk perayaan pernikahan mereka yang tepat menginjak usia 5 tahun hari ini. Wajah anggun tercantik dan senyum termanis ia tampakkan. “Maaf sudah membuatmu menunggu lama, Ai!” sapa Rendi, di dalam hatinya diam-diam memuji kecantikan alami yang dimiliki istrinya itu. “Kamu terlihat sangat cantik malam ini.” Tidak dipungkiri jika memang malam ini Airin tampil begitu cantik hingga membuatnya lupa untuk berkedip beberapa waktu. Mendengar sanjungan Rendi sukses membuat pipi Airin bersemu merah. Wanita itu mengulum senyum bahagia mendengar pujian yang suaminya berikan. “Apa semua urusanmu sudah selesai, Mas?” tanya Airin, berusaha mengalihkan pembicaraan karena tatapan Rendi membuatnya salah tingkah. “Oh itu...,” belum selesai Rendi menjawab pertanyaan dari Airin, ucapannya terhenti ketika terdengar seorang wanita memanggil namanya. Dari belakang pria itu muncul Maya- adik perempuan satu-satunya Rendi menggandeng seorang wanita cantik yang berjalan bersamanya. “Mas Rendi, kenapa ninggalin sih! Kan kasihan kak Nadia harus jalan cepat-cepat!” protes adik perempuan suaminya itu sambil berjalan tergesa. Membuat tak hanya Rendi, namun juga Airin menoleh serta mengalihkan pandangannya pada dua orang wanita yang kini sudah berdiri di depan pintu ruangan. “Maya?” Airin menatap heran dengan kedatangan adik iparnya di tempat itu. “Kenapa ada mereka di sini, Mas?” tanyanya kemudian menuntut penjelasan sambil melirik Rendi yang terlihat canggung. “Itu,” baru saja Rendi hendak menjawab pertanyaan Airin, namun lagi-lagi Maya sudah lebih dulu memotong pembicaraan mereka. “Memangnya kenapa kalau saya dan kak Nadia di sini? Kak Nadia kan baru saja sampai dari Jepang, wajar dong kalau kakakku menjemput dan mengajak kami makan malam di sini. Secara dulu kak Nadia pernah dekat dengan mas Rendi, jadi anggap saja makan malam ini sebagai ucapan selamat datang untuk dia.” kata Maya dengan gamblang sambil merangkul lengan wanita bernama Nadia itu. Airin sebenarnya malas meladeni ucapan adik iparnya itu. Karena memang sejak dulu bahkan sebelum dirinya dan Rendi menikah, Maya tidak pernah setuju dengan hubungan mereka. Airin tidak ingin menanggapi ocehan Maya, ia lebih memilih bertanya pada Rendi tentang maksud suaminya mengajak kedua wanita itu untuk datang ke tempat itu. Dialihkan pandangannya pada suaminya. “Mas, tolong jelaskan kepadaku yang sebenarnya! Bukankah makan malam kita ini untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita seperti kata Mas pagi tadi? Seharusnya hanya kita berdua yang ada di sini?” desak Airin meminta penjelasan, di tatapnya pria itu dengan tajam. “Ai... tadi kebetulan pesawat Nadia baru saja mendarat dan ia meminta tolong kepadaku untuk menjemputnya di bandara. Nadia tidak punya siapa-siapa lagi di kota ini. Kedua orang tuanya sudah pindah ke luar negeri. Jadi saya pikir, tidak masalah jika saya sedikit membantunya.” Terang Rendi tanpa beban. “Saya minta maaf karena mengajak Maya dan Nadia ke sini, karena tidak mungkin juga kalau saya harus mengantar mereka dulu ke hotel baru datang ke sini. Begini... anggap saja mereka ikut untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita, bagaimana? Bukankah semakin banyak orang yang merayakan akan semakin baik?” Ucapan Rendi benar-benar membuat Airin merasa kecewa. Karena Airin mengira jika malam ini akan jadi malam istimewa bagi mereka berdua. Setelah lima tahun kebersamaan dirinya dan Rendi, Airin masih berharap jika sikap dan hati suaminya akhirnya bisa terbuka untuk menerima perasaannya yang tulus. Tapi dengan kehadiran kedua orang wanita itu tentu saja akan jadi pengganggu kebersamaan yang seharusnya hanya ia dan Rendi saja yang menikmatinya. “Jadi inikah urusanmu yang harus kamu selesaikan tadi, Mas?” tanya Airin lirih, terselip rasa kecewa di dalam. ‘Jadi benar Nadia yang berbalas pesan dengan suamiku pagi tadi adalah mantan kekasihnya yang dulu pergi meninggalkannya demi pria lain. Aah... kenapa bisa kebetulan seperti ini, setelah lima tahun meninggalkannya kini dia kembali tepat ketika ulang tahun pernikahan kami yang ke lima. Pantas saja pagi tadi mas Rendi begitu bahagia membalas pesan-pesan darinya,’ gumam Airin dalam hati penuh rasa kecewa. “Kamu pasti Airin kan? Saya sudah banyak mendengar tentangmu dari maya, senang akhirnya saya bisa bertemu secara langsung denganmu sekarang.” Sapa Nadia yang sejak tadi terdiam kini mulai angkat bicara. Diulurkan tangan kanannya, mengajak Airin berjabat tangan. Airin hanya melirik sekilas uluran tangan Nadia, namun wanita itu enggan untuk membalasnya. Ia memilih diam, tak menanggapi. Membuat Nadia segera menurunkan tangannya kembali. “Maaf jika kedatanganku dianggap kurang tepat, saya benar-benar tidak tahu jika malam ini adalah perayaan ulang tahun pernikahan kalian. Tadi saya hanya ingin minta bantuan Rendi, karena saya sudah tidak punya siapa-siapa di kota ini. Dan hanya Rendi dan keluarganya saja yang saya kenal.” “Kalau memang kehadiran saya dan Maya dirasa tidak diharapkan, mungkin sebaiknya kami pergi dari sini.” tuturnya lembut dengan nada bersalah. Airin tidak menanggapi wanita itu, ia hanya tersenyum tipis. Entah mengapa Airin merasa jika Nadia sengaja mencari kesempatan untuk mendapatkan simpati dari Rendi. Dan tentu saja hal itu membuatnya merasa tidak senang. “Bukan saya yang mengundang kalian untuk datang ke sini, jadi kenapa harus bertanya apa pendapatku?” pungkas Airin sambil mendudukkan tubuhnya di kursi, sengaja menunjukkan ketidaksukaannya. Wajah Maya berubah merah padam, mendengar ucapan kakak iparnya yang sedikit kasar. Tapi tidak dengan Nadia, ia terlihat tenang sambil tetap mengumbar senyum manisnya. Sepertinya ia tidak terpancing dengan perkataan Airin. “Sudah... tidak perlu menyuruh mereka pergi. Toh mereka sudah sampai di sini dan saya rasa meja ini cukup luas untuk kita berempat. Jadi tidak perlu memperpanjang urusan ini. Ayo kita duduk dan pesan makanan, atau kita batalkan saja acara makan malam ini!” tegas Rendi, tidak ingin berlarut pada situasi tidak mengenakan yang tiba-tiba terjadi itu. Pria itu mengambil tempat duduk di samping Airin. Tidak ada yang membantah, Maya dan Nadia pun segera duduk di sisi lain meja itu. Tentu saja berhadapan dengan Airin dan Rendi. Tak butuh waktu lama setelah mereka memesan makanan, beberapa pelayan sudah membawa dan menata beberapa hidangan istimewa di atas meja. Ketika seorang pelayan yang berdiri di antara Airin dan Nadia hendak meletakkan semangkuk sup panas pesanan Airin, dengan sengaja Nadia mendorong tangan pelayan itu hingga mangkuk sup itu pun tumpah. “Aaah!” teriak Airin dan Nadia hampir bersamaan, karena kuah sup yang tumpah itu tak hanya mengenai Airin tapi juga sedikit terciprat ke arah Nadia. Teriakan kedua wanita itu sontak membuat seisi ruangan itu terkejut. Si pelayan yang tidak sengaja menumpahkan langsung panik dan segera mengambil lap untuk membersihkan tumpahan kuah yang mengenai tangan kedua wanita itu. Refleks Rendi segera berdiri dari duduknya dan berjongkok di depan Airin. Ia langsung meraih tangan istrinya yang terlihat melepuh terkena kuah panas. Dengan sigap pria itu meneliti kulit punggung tangan Airin yang kini terlihat memerah. “Kamu tak apa, Ai?” tanyanya kuatir. Ditiupnya lembut luka merah itu sambil sesekali menatap wajah Airin dengan penuh kekhawatiran. Ada desiran dalam hati Airin yang membuat jantungnya kini berdebar kencang. Tak pernah ia mendapati Rendi seperhatian ini kepadanya. Bahkan sejak awal mereka menikah hingga detik ini, baru kali ini Airin merasakan jika suaminya sangat mengkhawatirkan dirinya. ‘Mas...,’ batinnya lirih penuh haru bercampur rasa bahagia. Merasa jika Rendi mungkin selama ini sudah mencintainya, seperti yang selama ini ia harapkan. Tidak dapat berkata-kata, Airin hanya menggeleng pelan meski sebenarnya ia sedang menahan sakit bercampur panas di kulit tangannya. Sedang Maya berteriak marah pada sang pelayan karena dianggap sengaja melukai Nadia. “Apa kamu tidak bisa kerja yang benar? Kalau sampai tangan Kak Nadia kenapa-napa, saya akan menuntutmu!” ancamnya. Lalu dengan cepat di raih tangan Nadia untuk melihat kondisinya. “Kak Nadia, apa sakit? Apa tangan kakak terluka? Mungkin sebaiknya kita ke dokter sekarang!” Maya terlihat panik. Tapi bukan itu yang Nadia harapkan, bukan perhatian dari Maya. Nadia tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya sambil kedua manik matanya terus menatap tajam pada sepasang suami istri di hadapannya. Sebelah telapak tangannya terkepal erat, hatinya memanas melihat perlakuan Rendi pada Airin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN