Ini adalah hari pertamaku menjalani tugasku sebagai asisten dokter anak. Segala persiapan telah aku selesaikan berkat bantuan wanita paling baik yang telah ku kenal sejak empat tahun lalu, Gita Sundari. Tanpanya, mungkin aku tidak akan berada di tempat ini. Dan mungkin aku harus mengajukan ulang surat rekomendasi peaktek dokterku.
Pagi ini, seperti biasa aku dan juga seluruh anggota keluarga ini bangun bahkan sebelum matahari muncul. Apalagi penyebabnya jika bukan karena suara lengkingan mami yang membahana di seluruh penjuru rumah.
Suara langkah kaki mami terdengar menghentak lantai mulai dari bawah hingga ke lantai atas. Kemudian, suara ketukan di tiap pintu kamar kami, lebih tepatnya di kamar ku dan Kinara mulai terdengar, diiringi oleh suara kicauan mami yang tak putus karena kedua buah hatinya tak juga keluar dari kamar.
Hampir setiap hari hal ini terjadi, dan sepertinya aku harus bersyukur karena dengan begitu aku bisa bersiap lebih awal hari ini, meskipun tetap saja aku terlambat pada akhirnya. Dan adik tersayangku lah yang menjadi penyebabnya.
Gadis yang baru tumbuh dewasa itu selalu saja membuang waktu dengan mendem di kamar entah untuk melakukan apa. Padahal dia hanya harus mengambil tas dan beberapa barangnya saja, tetapi aku harus menunggu lama di mobil. Hal itu karena teman baiknya, Dara, tidak datang untuk menjemputnya hari ini.
Saat Kinara melompat masuk ke dalam mobil, aku langsung membawa mobilku keluar melewati pintu gerbang dan melaju cepat melintasi jalanan yang selalu saja macet saat pagi hari seperti ini. Aku tidak perduli meski Kinara berkomat-kamit tak jelas karena benci melihatku menyetir ugal-ugalan.
"Bang, bisa pelan dikit gak, sih?" omel Kinara sambil melotot ke arahku.
"Gak bisa! Lagian 'kan kamu yang buat kita telat. Kenapa gak berangkat bareng Dara aja, sih? Biasanya juga kamu pergi sama Dara," balasku pada Kinara tak mau kalah.
"Udah deh, Bang... pokoknya pelan-pelan! Jangan sampai nabrak," sahutnya kesal. Suara dengusan napasnya terdengar hingga ke telinga ku. Ia melipat tangannya di depan d**a.
Lagian, siapa yang suruh dia buang begitu banyak waktu saat di rumah tadi? Apa dia tidak tahu kalau hari ini aku harus sudah mulai praktek di rumah sakit? Harusnya yang marah itu aku, bukannya anak manja itu. Ini adalah hari pertamaku, dan Kinara malah membuatku jengkel seperti ini.
Setidaknya, dihari pertama aku harus menunjukkan kepribadianku yang baik di depan para senior yang akan menjadi pembimbingku selama bertugas di rumah sakit dengan tiba tepat waktu. Tetapi hal itu sepertinya gagal aku laksanakan.
Beberapa kali aku bahkan menekan klakson dengan kuat, demi mengusir beberapa kendaraan lain yang berhenti sembarangan kala kami tiba di depan sekolah Kinara. Adikku bahkan sampai menjotos lenganku karena aku tidak sabaran.
"Ih, Abang ini bisa sabaran dikit gak, sih?" celoteh Kinara setelah bogem mentah darinya mendarat di lengan kiri ku.
"Udah gak usah ngomel, cepatan turun sana. Abang lagi buru-buru nih," ucapku pada Kinara.
"Iya, iya..." sahutnya kesal.
Begitu Kinara turun dari mobil, ia langsung membanting pintu mobil hingga tertutup. Aku tidak terlalu memperdulikannya dan dengan cepat melesat pergi meninggalkannya yang mencebik kesal sambil menatap mobilku yang mulai menjauh dari sana. Aku sudah terlambat tiba di rumah sakit.
***
"Hai,Git! Kalian udah lama sampai?" sapaku pada Gita.
Gadis manis itu tampak berkumpul bersama teman-temanku yang lain di depan ruang praktek dokter dimana mereka ditugaskan. Selama beberapa minggu ini, kami akan dirolling untuk menjadi asisten beberapa dokter di rumah sakit ini.
"Kenapa baru datang, sih? Selalu aja begini," sungut Gita kesal, "harusnya kamu datang lebih awal. Biasakan tepat waktu kalau mau jadi dokter yang baik. Lihat tuh, pasien udah pada datang, eh... dokternya malah belum sampai. Kamu kebiasaan!"
Gita memonyongkan bibirnya dan dengan cepat ku tangkap dengan tanganku hingga membuatnya melotot jengah. Aku terkekeh melihat ekspresinya. Wajahnya langsung bersemu merah menahan malu karena ulahku.
"Maaf, deh. Tadi aku harus mengantar Kinara ke sekolahnya dulu," sahutku memberi pembelaan pada diriku.
"By the way, Dokter Karina udah datang belum?" tanyaku sambil mengalungkan tanganku di lehernya. Hal itu sudah biasa kami lakukan, oleh sebab itu aku tidak lagi segan terhadapnya.
"Udah, baru aja masuk. Udah buruan absensi dulu sana!"
"Okay. Anyway, makasih udah bantuin aku semalam. Entar pulang dari sini, aku traktir kamu, deh."
Aku mengangkat dua jariku ke udara membentuk huruf V sambil tersenyum manis padanya, nyaris membuat mata sipitku tak terlihat. Setelah itu, aku berlalu pergi meninggalkan Gita yang kemudian masuk ke dalam ruangan pemeriksaan. Semburat merah jambu terlihat jelas di pipinya yang mulus.
Ku langkahkan kaki ku masuk ke dalam ruang pemeriksaan poli anak dan berdiri di samping meja kerja dokter Karina. Dokter spesialis anak yang terlihat cantik dengan rambut hitam panjang serta kulit sawo matang yang terbungkus kemeja putih dan rok hitam setinggi lutut serta di balut jas putih yang jadi kebanggaannya.
"Selamat pagi, Dokter Karina," sapa ku sopan dengan senyum paling ramah. Aku bahkan tidak tahu seperti apa merah wajahku saat ini.
"Selamat pagi juga," sahutnya ramah.
Dokter Karina menoleh sebentar padaku lalu kembali menunduk menatap beberapa lembar kertas di atas mejanya. Aku langsung bisa menebak jika itu adalah laporan rekam medis dari beberapa pasien yang akan kami tangani hari ini.
Meskipun pasiennya hanya anak-anak, tetapi Dokter Karina tampak serius mendalami setiap kata yang tertulis di dalam laporan tersebut. Dan itu membuat aku kagum padanya. Aku masih tidak menyangka bahwa dokter cantik itu akan menjadi seniorku selama beberapa minggu ke depan.
Apalagi, ini kali pertama bagi ku bertatap muka secara langsung dengan dokter spesialis anak di rumah sakit ini. Karena sebelumnya, aku hanya mengetahui namanya dari daftar nama dokter yang bertugas di rumah sakit ini.
Yang lebih membuat aku terkejut adalah bahwa dokter Karina ternyata masih muda dan juga cantik. Satu hal lagi, wanita itu juga masih single alias belum menikah.
Jangan tanya dari mana aku bisa mendapatkan informasi itu. Sudah pasti dari sesama rekan dan juga para perawat yang bertugas di rumah sakit ini.
"Bagaimana Dokter? Apa saya sudah bisa panggil pasien pertama untuk masuk?" tanya ku padanya, berusaha memecah keheningan di antara kami.
"Iya," jawabnya singkat.
Ia kembali menunduk sambil menulis sesuatu di atas laporan itu. Tak lama setelahnya, ia menyerahkan tumpukan berkas itu kepada ku sambil tersenyum tipis.
Dengan cepat aku meraihnya dan mulai memanggil nama pasien untuk masuk ke dalam ruangan. Aku memperhatikan bagaimana dokter Karina menangani anak-anak itu dengan baik. Bagaimana caranya ia membujuk anak-anak itu agar mau membuka mulut mereka saat ia mulai memeriksa kondisi mereka sesuai keluhan yang disampaikan oleh orangtua anak-anak itu.
Aku ikut tersenyum lebar tiap kali wanita itu berusaha membujuk pasiennya yang tampak ketakutan saat hendak diperiksa olehnya. Membayangkan bagaimana jika aku yang berada di posisinya, apakah aku bisa seperti dia dan bersikap begitu manis seperti yang ku saksikan saat ini?
"Eheem...!"
Suara deheman keras mengejutkan ku. Aku langsung tersadar dari lamunanku kala suara lembut itu memanggil namaku.
"Dokter Kaito," panggilnya.
Aku langsung mengerjap berusaha mengambil alih kesadaranku, lantas tersenyum padanya.
"Ya, Dokter. Ada apa?" tanya ku spontan. Aku langsung meringis menahan malu saat menyadari semua orang di ruangan ini menatap ke arah ku.
"Tolong buatkan resepnya, ya."
"Resep? Oh iya, maaf Dokter, tadi saya kurang fokus, jadi..." aku langsung garuk-garuk kepala sambil menunduk malu.
"Gak apa-apa, saya maklum karena kamu baru pertama kali berhubungan langsung dengan pasien," katanya ramah. Dokter Karina lantas mengulang kembali ucapannya dan aku langsung mencatat tanpa ada kesalahan.
Begitu pasien keluar dari ruangan, aku lantas meminta maaf padanya. Rasanya aku ingin menyembunyikan wajahku ini darinya. Ah, andai aku bisa, pikirku.
Beberapa jam berikutnya ku lewatkan tanpa kesalahan. Aku tidak ingin malu di depan rekan seangkatanku karena ketahuan melamun saat bekerja. Apalagi jika orang yang jadi sumber lamunanku adalah senior ku. Bisa-bisa aku jadi bahan gosip sejuta umat di kampus ku.
"Saya balik duluan, ya. Kamu juga sudah boleh pulang, soalnya pasien kita sudah tidak ada lagi," ucap dokter Karina lembut ketika sedang berkemas untuk pulang.
"Oh iya, Dok. Apa Dokter masih harus ke rumah sakit lain?" kata ku spontan ketika ku lihat wanita itu bangkit dari duduknya.
"Enggak. Hari ini saya hanya visite ke kamar pasien aja. Besok jangan telat lagi ya," sahutnya sambil tersenyum kemudian menarik handel pintu dan keluar dari ruang pemeriksaan poli anak.
Aku mengangguk cepat kemudian menyahuti ucapannya, "oke, Dokter..." seraya mengangkat jempol untuknya.
Ku tatapi kepergian wanita itu hingga tubuhnya menghilang du balik pintu. Setelah itu, aku kembali masuk membereskan sisa pekerjaanku hari ini.