(Tentang Heru)
(POV Gaida)
Namanya Heru Archimides.
Cowok paling pinter di kelas. Berkulit sawo matang, dan memiliki wajah yang sangat Indonesia. Dia ramah, cerdas, dan memiliki logat jawa yang cukup kental.
Heru adalah jelmaan manusia yang didambakan semua orang. Selain otaknya yang super-duper cerdas, Heru juga amat-sangat ramah. Heru pandai bergaul. Dia bisa nyambung ngobrol dengan siapa saja. Dengan tukang cilok, tukang sabun, tukang balon, bahkan dengan tukang PHP.
Berbagai prestasi sudah Heru torehkan sejak kecil, mulai dari juara olimpiade sampai juara merakit robot. Tapi, setiap kali dipuji, Heru selalu menghindar. Heru selalu mengalihkan pujian mereka dengan mengeluarkan kata-kata favoritnya, yaitu:
"Ah, dibanding Ir. Soekarno sing wes membangun Indonesia sih, aku gak ada apa-apanya."
-atau-
"Ah, dibanding Nelson Mandela sing wes menyamaratakan hak kaum kulit hitam di Afrika sih, aku gak ada apa-apanya."
-atau-
"Ah, dibanding ortu sing wes besarin aku sampai sekarang sih, aku gak ada apa-apanya."
Karena kerendahan hatinya itulah, Heru disukai orang-orang. Teman sekolah, alumni, guru, satpam, ibu kantin, dan berbagai pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu—semuanya meyukai Heru.
Meski begitu, bukan berarti Heru makhluk sempurna yang diciptakan Tuhan ketika sedang tersenyum seperti Kota Bandung. Seorang Heru pun memiliki banyak kekurangan.
Heru memiliki fobia terhadap cermin.
Aku Gaida—pacarnya Heru. Akan bercerita sedikit soal dia.
Jadi gini, Heru itu mengidap Catoptrophobia alias fobia sama cermin.
Beda sama aku yang narsis banget kalo liat cermin, Heru malah gak berani ngeliat sama sekali. Nggak cuma takut ngeliat, ngedenger kata 'cermin' aja Heru langsung tiarap. Emangnya bom?
Mungkin terdengar berlebihan, tapi emang gitu nyatanya.
Lah terus, kalo rapihin rambut gimana? Kan harus ngaca?
Untungnya, Heru punya adek yang sangat perhatian. Tiap habis mandi, Heru suka minta adeknya buat nyisirin rambut dia. Heru merem depan cermin, sementara adeknya menata rapih rambutnya.
Karena Heru gak pernah liat cermin, dia gak tau gaya rambutnya dibikin kayak gimana sama si adek. Heru percaya aja, meskipun adeknya sering jailin Heru dengan ngebikin rambutnya jadi berdiri ala-ala anak punk.
Ya, anak-anak ketawa lah pas liat Heru pake gaya rambut gitu. Tapi, namanya anak kesayangan, Heru tetep diperlakukan secara baik sama anak-anak. Apalagi di kelas ada cowok super jangkung yang suka banget sama si Heru. Suka dalam artian sebagai teman, ya.
Nama cowok itu Kevan, 180cm. Dulu aku benci banget sama cowok ini, tapi akhir-akhir ini dia mulai berubah. Jadi aku tidak benci dia lagi.
"Gaida, Heru mana, kok belum dateng?" Aku yang duduk sendiri di bangku kelas, disapa sama si Kevan.
"Temen sekawanmu sakit. Kemaren dia kecebur sungai gara-gara papasan sama tukang kaca. Kayaknya sih dia demam."
"Heru demam?"
Aku mengangguk.
"Kenapa lu gak bilang, sih?!"
"Emang kalau aku bilang, kamu mau apa?"
"Ya gua jenguk lah.”
Tak lama, Heru pun datang.
"Selamat pagi teman-teman." Heru dengan gaya rambut seperti Justin Bieber menyapaku dan Kevan.
"Mas bro!" Kevan terkaget saat menoleh. "Lu udah sembuh?"
"Sembuh dari apa?"
"Kata Gaida, kemarin lu kecebur sungai, terus disengat ubur-ubur dan digigit kuda laut. Jadinya, lu sakit. Sekarang udah sembuh?"
Heru menatap aku. "Gaida, gak boleh bohong. Dosa." Heru gantian natap Kevan. Ia mendongak ke atas. "Gua gak sakit, kok. Gua sehat walafiat."
Kevan tersenyum mendengar konfirmasi dari Heru. Lalu berganti menatap aku. "Gaida, lu ternyata tukang bohong, ya. Gua doain jomblo selamanya."
"Lah, gua kan udah jadian sama Heru," balas aku.
“Oh iya, lupa.”
***
Jam istirahat, aku Heru Kevan sama Niluh makan bareng di kantin. Enggak, ini bukan double date atau kencan ganda. Yang pacaran cuma aku sama Heru.
"Heru, sejak kapan sih kamu fobia cermin?"
"Aaaaa!!!" Heru tiarap. Ia meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. Bakso keju yang hendak ia lahap jatuh lagi pada mangkoknya. Niluh segera meminta maaf karena lupa telah menyebutkan kata keramat itu.
"Fobia Heru separah itu, ya?" Niluh nanya aku.
"Begitulah."
"Ceritain, dong," pinta Niluh.
Aku menatap Heru. Dia udah kembali sadar dan melanjutkan makan baksonya. Tapi, wajahnya agak pucat. Niluh yang udah bikin Heru begitu terlihat merasa bersalah.
Karena bakso isi stroberi aku udah habis, aku pun mulai bercerita.
"Heru pernah cerita, dulu waktu masih SD, dia orangnya narsis banget. Ngerasa anak paling ganteng di kelas. Padahal, sama sekali enggak. Kepedean lah istilahnya." Niluh fokus mendengarkan aku. "Ehm... jadi, Heru tuh dulu keseringan ngaca, sampe-sampe selalu bawa kaca ke kelas. Mau ngobrol ngaca dulu, mau ngerjain tugas ngaca dulu, pokoknya mau ngelakuin apapun pasti ngaca dulu. Heru kelewat narsis."
Aku ngeganti kata 'cermin' dengan 'kaca' biar Heru nggak panik. Soalnya, dia ikut dengerin ceritanya.
"Sampai suatu waktu, pas malem hari, Heru mengalami sebuah keanehan. Waktu dia ngaca, bayangannya nggak ada. Yang ada malah wajah kuntilanak."
"Eh, seriusan?" Kevan dan Niluh kaget. Mereka berdua langsung menatap Heru
"Iya, kejadiannya gak sekali doang. Selama tiga hari gua ngaca, wajah gua nggak pernah muncul. Yang muncul wajah kuntilanak terus. Di hari keempat sampe sekarang, gua udah gak berani lagi natap itu." Heru curhat.
"Aneh, padahal waktu lo ngaca, gua bisa liat wajah lo dengan jelas, kok. Tapi, lo malah ngeliat kuntilanak. Kok bisa, ya?" Kevan menatap Heru.
"Ya, gua gak tau. Pokoknya serem deh kuntilanaknya. Gua gak berani lihat itu lagi."
"Pernah rehab, gak?" tanya Niluh.
"Pernah. Dulu sempet ke psikiater buat nyembuhin fobia ini. Gua dikasih obat sama terapi hipnosis, tapi gak ngaruh."
"Oh... gitu." Kevan menatap khawatir.
"Berarti, kamu gak bakal ngaca lagi selama-lamanya, dong?" Niluh nanya. Nadanya agak tinggi, menyiratkan bahwa dia nggak suka dengan kondisi yang dialami Heru.
"Ya, gitu kayaknya."
"Kamu takut sama kuntilanak?" tanya Niluh.
"Iya, dulu."
"Kalau sekarang?"
"Gak tau. Udah gak pernah nonton film horror lagi. Tapi, kayaknya masih takut, sih. Soalnya, kuntilanak yang gua lihat dulu sueeerem banget."
Niluh menggebrak meja. "Itulah akar permasalahannya! Kamu fobia kaca gara-gara takut kuntilanak. Kalo kamu gak takut kuntilanak, kamu gak bakal lagi takut ngaca. Jadi, kita harus ngilangin ketakutanmu dulu dari kuntilanak!"
"Wooh!" Aku sama Kevan tepuk tangan.
"Her, buat nyembuhin fobia lo. Pulang sekolah nanti nonton film horror, yuk. Di rumah gua.” Kevan menawari.
"Nggak ah, takut."
"Kalo di rumah aku mau nggak?" Aku menawari.
"Sama aja."
"Kalo di rumah aku?"
"Aduh sam—AAAAA!" Heru menjerit dan tiarap.
Pas Heru noleh, si Niluh lagi memasang cermin di depan wajahnya. Cermin itu seukuran buku tulis. Wajah Heru terefleksi di cermin itu, walau cuma sepintas.
Di mata aku sih wajah si Heru yang keliatan, gak tau di mata si Heru.
Niluh menepuk pundak Heru. "Apa yang kamu lihat Her?"
"Ah, lu jail. Gua gak suka. Diam lu!"
Layaknya anak kecil, Heru marah-marah pada Niluh.
"Apa yang kamu lihat Bay?" Niluh bertanya lagi.
"Kuntilanak!"
Aku, Kevan, dan Niluh tercengang.
"Seriusan?"
"Iyaa, serem banget!!!" Heru masih tiarap.
Niluh tidak menyerah, ia terus menggebrak-gebrak tubuh Heru. "Her, hadapin ketakutan kamu! Biasakan diri kamu ngeliat wajah kuntilanak! Lama kelamaan kamu bakal terbiasa!"
"Nggak! Gua takut!"
"Her, kamu itu cowok, 'kan?! Jangan penakut gitu!"
Aku sama Kevan geleng-geleng.
Aku pacar Heru, Kevan sahabat dekat Heru, tapi kenapa Niluh yang paling berusaha ngilangin fobia Heru?
"Her, bangun! Lo punya *****, 'kan?!"
"Astaghfirullahaldzim..." Kevan istighfar.
"Jangan ngomong jorok, Niluh!"
"Ah bodo amat. Aku udah kesel banget sama si Heru. Cowok kok takut hantu." Niluh keliatan kesel banget.
Dengan sedikit dipaksakan, Heru pun bangun. "Oke deh, gua gak bisa ngeliat wajah gua lagi kalo fobia kaca terus. Gua harus sembuh." Heru pun menoleh ke arah Niluh. "Coba, kasih lihat gua foto kuntil anak paling serem!"
Niluh senyum.
Ia browsing lalu menunjukkan foto kuntil anak paling serem pada Heru.
"Nih!"
"Anjiir, serem. Gak kuat, sumpah!" Heru memalingkan wajah.
"Tenang, Her! Kita ada di sisi kamu. Jangan takut!" Aku nyemangatin Heru.
"Iya Her, tenang aja. Di sini ada gua!"
"Kamu gak sendirian, Her." Niluh juga menyemangati.
Heru pun luluh.
Ia membuka matanya, lalu menatap gambar kuntilanak lagi yang berada di layar handphone Niluh.
"Gimana, gak serem, 'kan?"
"Serem sih, tapi yaudahlah. Wajahnya emang ancur, kasihan juga." Heru keliatan lebih tenang dibanding sebelumnya. Dia malah ngasihanin kuntilanaknya.
"Sekarang saatnya penyembuhan." Niluh mengeluarkan cermin itu lagi dari dalam tasnya. Heru langsung berkeringat dingin begitu melihatnya. "Heru, tatap ini lama-lama. Apapun yang kamu liat, tatap terus lama-lama. Jangan kalah sama rasa takumu!"
Heru menelan ludah.
"Tenang, kami bersamamu." Aku dan Kevan memberi semangat.
Diambilah cermin itu dan Heru menatapnya secara langsung.
"Apa yang kamu lihat Bay?"
"Kuntilanak," balasnya. "Tapi gapapa, gua gak takut. Gua laki-laki."
Heru terus menerus ngeliat cermin itu. Kami bertiga harap-harap cemas melihatnya.
Tiba-tiba, Heru menangis.
"Kuntilanaknya udah menghilang. Gua udah bisa lihat wajah gua lagi." Heru menyeka air matanya. "Gua emang ganteng banget. Gua terharu."
Kami bertiga bernapas lega.
"Mungkin kuntilanak itu suka banget sama kamu. Makanya sampe ngehantuin kamu terus-terusan," ucap Niluh.
"Eh? Berarti saingan aku kuntilanak, ya?" Aku bingung.
Heru tersenyum. “Enggak, kamu nomor satu di hatiku, kok.”
Wajahku sepertinya memerah saat ini.
"Makasih, berkat kalian bertiga, gua udah bisa lihat itu—ehm... cermin lagi. Gua bersyukur punya temen kayak kalian."
Kami bertiga tersenyum.
"Pulang sekolah nonton film horror, yuk. Sekarang, gua jadi suka sama Mba Kunti." Heru bersemangat.
***
Catoptrophobia adalah takut atau fobia terhadap cermin. Bisa karena takut terhadap pantulan diri sendiri atau takut melihat kehadiran sosok yang lain. Penyebabnya bisa karena trauma atau penyebab lain yang tidak spesifik.