(Tentang Gaida dan Heru)
(POV Gaida)
-Jum’at Sore
Aku benci musim hujan.
Tapi, setelah ibu memberiku payung yang cantik, aku mulai menyukainya. Aku bahkan berharap agar hujan sering turun, supaya aku bisa memamerkan payung cantikku pada semua orang.
Begitupun sore ini.
Aku sedang duduk di kursi Indomart, menunggu hujan lebat menjadi lebih reda. Aku sayang pada payungku, kalau nekat menerjang hujan yang lebat, payung cantikku nanti cepat rusak. Aku harus bersabar, tunggu hujannya reda.
Aku tidak duduk sendirian.
Di depanku, ada seorang lelaki asing yang juga duduk memandangi hujan. Karena kursi di supermarket ini terbatas, aku dan lelaki ini terpaksa harus berbagi meja yang sama. Ada satu kesamaan antara aku dan lelaki di depanku. Kita memakai seragam yang sama.
Dia mulai menyapaku.
“Kamu kelas berapa?”
“Kelas 8,” jawabku
“Kelas 8 apa?”
“8C.”
“Oh, kita tetanggaan,” balas lelaki itu dengan tersenyum.
“Kamu 8D atau 8E?” Aku bertanya, bukan karena penasaran, melainkan karena kewajiban.
“Aku 8J,” balasnya.
“Loh, itu mah bukan tetangga atuh,” jawabku, sedikit manyun.
“Hehehe.” Lelaki itu tertawa kecil.
Dia melanjutkan pertanyaan.
“Nama kamu siapa?”
“Aku Gaida. Kamu siapa?”
“Aku Heru,” balasnya.
“Oh, Heru. Belum pernah dengar,” kataku, berkata jujur.
“Barusan kan denger.”
“Ya, maksudnya selain yang tadi,” balasku, cemberut.
“Oh…”
Hujan mulai reda.
“Aku pulang dulu ya,” izinku.
“Eh? kan masih hujan…”
“Gapapa, aku bawa payung.”
Aku mengeluarkan payung dari dalam tasku, kemudian membukanya.
“Aku duluan, ya!” kataku, meminta izin sekali lagi.
“Iya, hati-hati.”
Saat baru berjalan sebentar, Heru memanggilku dari belakang.
“Gaida!”
“Iya?” Aku menoleh
“Payung kamu cantik,” puji Heru.
“Makasih.”
-Sabtu Sore
Hari ini hujan lagi.
Kemarin hujan, hari ini hujan, besok hujan lagi, yah namanya juga musim hujan, sudah pasti setiap hari akan hujan. Untungnya yang turun cuma air, bukan batu apalagi meteor.
Aku duduk di supermarket lagi, bersama lelaki yang kemarin lagi.
“Waah, ketemu Gaida lagi,” sapa Heru.
“Halo Heru,” balasku.
“Gaida, kenapa ada di sini lagi?”
“Kebetulan aja.”
“Oh…”
“Heru juga kenapa ada di sini?” Aku balik bertanya.
“Nongkrong. Wifi-an. Hemat kuota.”
“Oh…”
Setelah itu, kami sibuk dengan gadget masing-masing.
“Heru, password wifi nya apa?”
“Gak tau.”
“Loh, bukannya kamu WiFi-an, ya?”
“Emang.”
“Terus? Masa gak tau passwordnya?” tanyaku.
“Bukan gak tau, lebih tepatnya aku gak mau ngasih tau.”
“Kenapa?”
“Nanti kecepatan internetku berkurang.”
“Uhh, pelitnya,” kataku, cemberut.
Akhirnya, aku internetan pake kuota sendiri.
Aku melihat ke arah Heru.
Sambil minum kopi hangat, Heru sibuk sendiri dengan gadgetnya. Aku gak tau Heru lagi ngapain, tidak ada suara apapun yang keluar dari handphonenya.
“Heru lagi ngapain?” tanyaku.
“Main game online.”
“Apa nama gamenya?”
“Chess Master.”
“Game catur?”
“Iyaa.” Heru menjawab, tapi masih fokus melihat layar handphone.
Tak terasa, hujan sudah mulai reda, aku bersiap-siap pulang.
“Heru, aku pulang duluan, ya,” izinku.
“Ya, hati-hati,” jawab Heru, masih sibuk caturan.
Saat baru berjalan sebentar, Heru memanggilku dari belakang.
“Gaida!”
“Iya?”
“Payungmu cantik, kayak kucingku,” puji Heru.
“Makasih.”
-Minggu Siang
Hujan lagi. Hujan lagi.
Aku terjebak di toko buku bersama teman dekatku, Desi. Untuk seorang pecinta buku seperti Desi, berlama-lama di toko buku adalah sebuah anugerah. Karena bagi Desi, cuci mata itu bukan melihat lelaki tampan, melainkan melihat tumpukan buku baru.
Aku bosan.
Aku bukan pecinta buku, aku hanya mengantar Desi karena dia mengajakku ke sini. Aku juga sudah membeli buku yang aku incar, yaitu buku rumus matematika. Sekarang aku gak ada kerjaan, hanya duduk di dalam toko, menunggu Desi mendapatkan buku yang dia inginkan.
Gara-gara hujan.
Desi sudah berjanji, kita berkunjung ke toko buku cuma sejam. Tapi, gara-gara hujan, waktu pun molor hingga dua jam. Desi pasti tertawa dalam lubuk hatinya, karena dia bisa berlama-lama di toko ini.
Tak lama, hujan pun reda.
“Desi, ayo pulang,” ajakku
“Iya, ayo.”
Kami berdua, pulang menaiki angkot.
Aku dan Desi sedang berada di angkot, baru pulang dari toko buku. Meski di luar hujan deras lagi, aku tidak khawatir saat turun nanti, karena aku membawa payung cantikku. Payung cantik berwarna Aqua yang Ibu kirim langsung dari Korea.
Desi berkata sesuatu padaku.
“Gaida, aku gak bawa payung, nanti anterin aku ke rumah dulu, ya. Kalau mau, sekalian aja nginep.”
“Iya, nanti aku anter. Tapi, aku gak mau nginep, ada urusan di rumah.”
“Yaah, gak asik. Yaudah, aku yang nginep di rumahmu deh.”
“Eh? Yaudah, gapapa, tapi kamu izin dulu ke orang tua.”
“Ok.”
Tak lama, kami pun turun dari angkot.
“Kiriiii!” teriak Desi
Saat turun dari angkot, ternyata Heru sudah berdiri di sisi jalan.
“Eh, Heru?” Aku menyapanya.
“Eh, Gaida,” balas Heru yang sedang memakai payung berwarna transparan.
“Mau ke mana?”
“Mau ke toko buku.”
“Oh…”
“Yasudah, aku duluan ya Gaida, kasian supir angkotnya udah nunggu.”
“Iyaa,” kataku
Heru naik angkot, dan Desi sudah selesai bertransaksi dengan sopir angkot.
“Gaida!” Heru berteriak dari pintu angkot.
“Iya?”
“Payungmu cantik, kayak temen di sebelahmu.”
“Makasih!” Desi yang menjawab.
Aku dan Desi jalan bareng berbagi payung.
“Gaida, kamu kenal sama Heru?” tanya Desi
“Enggak sih, cuma sering ketemu aja akhir-akhir ini. Emang kamu kenal?” Aku balik tanya
“Kenal lah, Heru kan cowok paling pinter nomor dua di sekolah kita,” jawab Desi.
“Yang nomor satunya siapa?”
“Kan Kevan, temen sekelas kita. Emang kamu gak tau, ya?” Desi bertanya-tanya.
“Nggak tau.”
Desi kemudian tertawa.
“Tapi, kamu hebat banget, ya. Padahal, Heru itu jarang ngobrol sama cewek, loh,” ucap Desi.
“Ah, masa sih?”
“Iya, dia suka jaga jarak gitu kalau sama cewek.”
“Oh, begitu…” balasku.
-Senin Pagi
Aku telat masuk sekolah.
Gara-gara hujan yang lebat semalam, aku jadi telat. Jalanan menuju sekolah banjir hingga motor yang dinaiki kakakku sempat mogok di tengah jalan. Aku sampai di sekolah jam delapan, sedangkan jam pertama dimulai jam tujuh.
Di hukum di perpustakaan.
Siswa yang telat akan disuruh tinggal di perpustakaan sampai jam istirahat. Aku pun dikenakan sanksi poin atas keterlambatanku ini, yakni sebanyak sepuluh poin. Sekolah ini memang menganut sistim poin dalam memberi sanksi pada setiap siswa. Siswa yang sudah mendapat seratus poin akan di DO dari sekolah.
Ada Heru.
Tak kukira, ternyata bukan cuma aku yang terlambat. Di bangku perpustakaan, ada Heru yang sedang membaca buku.
Aku bertanya-tanya.
Selama empat hari ini, aku selalu bertemu dengan Heru. Padahal selama dua tahun bersekolah di SMA ini, aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Mengetahui namanya saja, tidak. Kenapa sekarang jadi sering bertemu?
Aku pun bertanya.
“Heru, kamu murid baru, ya?”
“Bukan,” jawabnya, tidak mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca.
“Masa ah? Aku kok jarang lihat kamu.”
“Kamunya aja yang jarang lihat. Aku sering lihat kamu, kok.”
“Waah, seriusan? Kamu lihat aku di mana?”
“Di perpustakaan.”
“Kapan?”
“Saat ini.”
“Ih… maksudnya selain sekarang!”
“Gak penting ah. Ngapain aku jawab.”
“Yaudah.”
Heru tiba-tiba melirik payung warna biru muda yang aku taruh di perpustakaan.
“Gaida…”
“Ya?”
“Payungnya beli di Korea, ya?”
Aku kaget.
“Loh, kok tau?!”
-Selasa Sore
Aku ke toko buku lagi sama Desi, niatnya mau pulang setelah beli novel yang Desi incar, tapi karena hujan lebat, akhirnya aku sama Desi mampir dulu di game center terdekat. Kami berdua mau menghabiskan uang kembalian dari toko buku.
Ada Heru.
Tak kukira, seorang anak rajin seperti Heru ada di tempat bermain seperti ini. Dia lagi bermain basket sendirian, tidak ada yang menemaninya. Aku menatapnya dari sebelah, takut salah orang. Namun ternyata tidak.
“Heru, ngapain di sini?”
“Numpang tidur.”
“Hah?”
“Ya, maen lah.”
Eh iya yah, ngapain aku nanya?
“Kamu sendirian, Her?” Desi memajukan kepalanya, menengok Heru yang duduk di sebelahku.
“Iya.”
“Nggak sama Vara?”
“Nggak, dia lagi sibuk.”
“Oh gitu.”
Desi lalu kembali ke posisi semula.
“Vara itu siapa?” tanyaku ke Heru.
“Pacarku.”
“Oh…”
Aku jadi mengerti sekarang. Alasan mengapa Heru jarang bicara sama perempuan pasti karena tidak dibolehin sama Vara.
Ah, jadi begitu ya, hahaha.
-Rabu Siang
Untuk pertama kalinya, aku melihat Heru di kantin. Dia lagi makan Mie Ayam bareng cewek.
Kayaknya dia yang namanya Vara.
“Waah, gak ada bangku yang kosong, nih.” Desi melihat-lihat sekitar.
“Itu ada yang kosong.” Aku menunjuk bangku yang ditempati oleh Heru.
“Oh iya, ayo duduk di sana.”
Kami pun bergabung dengan Heru dan teman perempuannya.
“Kita duduk di sini, ya,” izin Desi.
“Oh iya, Des, silakan,” jawab temen perempuan Heru.
Heru diem aja, dia hanya menengok sekilas, lalu kembali melanjutkan makan mie ayam.
“Tumben ya, gak hujan. Biasanya jam segini suka hujan.” Desi membuka percakapan.
“Iya, hahaha,” jawab gadis itu. Ia lalu menolehku. “Gaida, tumben makan di kantin. Biasanya kan di bawa ke kelas.”
“Desi yang ngajakin, aku kepaksa ikut,” jawabku.
“Oh gitu, hahaha.”
Kenapa dia tahu namaku?
Aku tidak asing dengan wajahnya, tapi aku lupa siapa namanya. Aku tebak saja deh.
“Kamu, Vara kan, ya? Sorry, aku gak hapal nama-nama temen seangkatan.”
“Iya, aku Vara, hahaha.”
Ini anak kenapa ketawa terus.
“Oh iya, kata Desi, Heru itu jarang ngobrol sama cewek. Kamu hebat banget ya, bisa dapetin Heru.”
“Eh, Gaida. Kamu kok blak-blakan banget, sih. Gak malu ngomong gitu di depan orangnya?” Desi berkomentar.
“Biarin.”
“Ahaha, iya, Heru emang gak suka gaul sama cewek. Kayaknya cuma aku aja temen ceweknya dia. Dulu juga dia gak mau aku deketin, dia ngehindar terus. Tapi setelah aku paksa-paksa, akhirnya dia mau jadi temen aku, hahaha.”
“Temen atau pacar?”
“Dua-duanya, hahaha.”
Seriusan, ini anak kenapa ketawa terus.
“Heru, ngomong dong. Jangan diem aja, hahaha.” Vara menyikut pinggang Heru.
“Kamu cantik.”
Plakk!
Vara menampar Heru.
“Ih, apaan sih, aku biasa aja kali, hahaha.”
Padahal dalem hati dia pasti seneng.
Heru menolehku. “Kamu kenapa ngikutin aku terus?”
“Maksudnya?”
“Kamu nyadar gak sih, selama seminggu ini kita ketemu terus. Di indomart dua kali, di perpustakaan, di sisi jalan, di bioskop, di kantin, kita ketemu tiap hari. Kamu kok ngikutin aku?”
“Oh iya ya, aku juga baru nyadar. Kenapa kita ketemu terus tiap hari, ya?”
Vara menoleh padaku. “Ih, kok bisa? Aku yang pacarnya aja gak pernah papasan di jalan. Kalian kok bisa sering gak sengaja ketemu gitu? Jangan-jangan…”
“Ih, enggak Vara. Aku gak suka kok sama Heru. Jangan mikir ke mana-mana!”
“Eh? Padahal kalian cocok, loh. Kalau aku putus sama Heru, kamu mau ya, jadi pacarnya dia?”
Pletak!
Heru mengetuk kepala Vara.
Kyaaw!
“Kamu itu ngomong apa sih? Mana mungkin aku putus sama kamu. Kalo kamu mutusin aku, aku bakal ngebujang sampai tua nanti.”
“Iih, so sweet.” Vara dan Desi terkagum.
“Kamu kenapa ikut-ikutan!” Heru mengetuk kepala Vara lagi.
Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka berdua, keduanya terlihat cocok.
-Kamis Pagi
Hujan gerimis turun di pagi hari.
Kupikir, akan menjadi hari yang menenangkan.
Ternyata tidak.
“Anak-anak, Ibu baru dapat kabar. Teman kita yang bernama Vara Lestari meninggal tadi pagi.”
“Inallilahi wa Innailaihi Rojiun.”
Eh, Vara meninggal?!
Seriusan?!
“Mari kita bacakan al-fatihah bersama-sama.”
…
Aku bertemu Heru lagi.
Kali ini, aku sengaja menemuinya.
Dia sedang terduduk sendirian di depan kelasnya.
Jam 5 Sore.
Dia belum pulang.
Aku berjalan mendekatinya.
“Heru!” Aku menepuk pundaknya.
Dia menoleh.
Kenapa dia malah tersenyum?
Padahal langit saja menangis.
Apa Heru mencoba terlihat kuat?
“Kamu gapapa?”
“Apa?”
Ah, suaraku kurang keras.
Suara hujan yang deras ini menyamarkan suaraku.
“KAMU GAPAPA?!”
Heru mengangguk.
“VARA SAKIT APA? KATANYA KARENA PENYAKIT, YA?”
Ia tetiba mengeluarkan secarik kertas dan menuliskan sesuatu.
‘Lewat sini saja ngobrolnya. Suaraku kecil. Gabakal kedengeran.’
Aku membalasnya.
‘Ok. Jadi Vara sakit apa?’
‘Vara mengidap penyakit langka yang tidak bisa disembuhkan. Kematiannya sudah diprediksi sejak lama.’
‘Oh gitu, ya ampun. Aku gak tau.’
‘Dia merahasiakannya. Yang tau cuma aku sama keluarganya.’
Yah, padahal Vara itu orangnya asik banget. Nyesel aku baru kenal sama dia. Padahal kalo udah lama kenal kita pasti jadi temen yang baik, aku yakin.’
‘Nggak, dia gak baik. Aku pun pacaran sama dia gara-gara dia maksa aku, dan ngasih tau aku kalo sebentar lagi dia mau meninggal. Kalo dia gak ngasih tau tentang penyakitnya, aku gak bakal mau sama dia. Tapi, setelah kita jalani selama dua taun, ternyata aku merasakan kecocokan sama dia. Dia pengertian, santai, tidak menuntut, tidak pernah memaksa apa-apa selain memaksaku untuk menjadi pacarnya. Aku menyesal sempat menolak dia, namun beruntung karena akhirnya bisa bersama. Dia benar-benar gadis yang baik.’
‘Semoga dia tenang di sisinya.’
‘Terima kasih.’
‘Sama-sama’
‘Mmm… Gaida, aku boleh memberitahumu sesuatu?’
‘Apa?’
‘Vara bilang, aku sama kamu itu cocok banget. Dia pengen kita jadian. Itu wasiatnya Vara. Mungkin terdengar kejam karena baru Vara meninggal terus aku malah jadian sama kamu. Aku hanya ingin menunaikan wasiatnya. Tapi semua kembali ke kamu. Aku sama sekali gak tampan, aku hanya suka belajar aja, itu mungkin satu-satunya kelebihanku. Kalau kamu bersedia, aku ingin kamu jadi pacar aku. Gak harus sekarang jawabnya.’
Aku hampir menangis membacanya. Bohong jika aku tidak punya perasaan pada Heru, aku pun sebenarnya ada sedikit perasaan. Tapi, apa ini jalan yang benar.
‘Beri aku waktu tiga hari’
‘Iya, aku tunggu’