“Ah, maaf tidak sengaja.” Argi mengulurkan tangan pada Gaida yang terjatuh.
Gaida menatap wajah Argi lekat-lekat. Dia sudah tau anak ini, dia murid kelas sebelah yang berteman dengan anak keluarga Harvent. Wajahnya ganteng seperti Kevan, Gaida tidak suka.
“Gak usah, bisa sendiri.” Gaida berdiri dan pergi meninggalkan Argi begitu saja.
Gaida tidak sadar, detik itu dia baru saja mencuri hati murid paling tampan di sekolah. Argi Surya Wiranegara. Laki-laki paling diincar di sekolah, tapi berkata tidak mau berpacaran sebelum sahabatnya dapat pacar sejati.
Tentu Gaida tidak peduli. Dia tidak pernah memikirkan Argi barang sedetik pun.
***
Saat di kelas, Argi bercerita pada Saga.
“Sag, tadi ada cewek di kelas sebelah yang mengabaikan gua. Gua mau tolongin karena udah ditabrak, eh malah gak mau dibantu. Mana jutek banget lagi mukanya.”
Saga menoleh. “Terus apa hubungannya sama gua?”
“Elah, cerita doang.”
“Lu suka?”
“Kayaknya sih.”
“Kok bisa? Dia kan mengabaikan lu, wajahnya juga jutek. Kenapa lu malah suka?”
Argi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Entahlah, gua ngerasa dia beda aja sama cewek-cewek yang pernah gua temuin. Sifat galaknya, gua suka.”
“Lah, elu masokis?!”
“Y-ya gak juga! Suka aja cewek kayak gitu.”
“Oh….”
Keesokan harinya, Argi duduk di kursi depan kelas XI IPA 1, menunggu Gaida keluar. Tidak ada niat apa-apa, hanya ingin melihat wajahnya.
“Hello Bro, lagi ngapain di sini?” tanya seorang lelaki pada Argi.
“Eh, Kev. Gak ngapa-ngapain, kok.”
Kevan menatap curiga. “Lu kan biasanya gak duduk di sini. Kenapa tiba-tiba? Ah, gua tau, ada cewek yang lu suka ya di kelas gua. Hayo ngaku!”
Argi mengelak. “Enggak, gak ada, sok tau banget sih lu.”
“Ah, gak percaya.”
Kevan dan Argi yang mengobrol menjadi bahan perhatian para gadis. Banyak murid perempuan yang melihat ke arah mereka baik murid Kelas Ipa 1 maupun murid-murid lain yang berjalan melewati kelas itu.
Kevan pun berbisik pada telinga Argi. “Cewek-cewek ngeliatin kita, Gi. Orang ganteng mah beda, ya.”
Kevan terkikik, Argi hanya tersenyum kecil.
Saat Gaida keluar dari kelas, mata Argi langsung tertuju padanya. Rambut pendek, pake kacamata, gigi pake behel. Gaida adalah tipe cewek kutu buku yang sering Argi lihat di film-film. Yang sedikit membedakan, Gaida memiliki tatapan yang cuek, terkesan sedikit kejam. Entah mengapa Argi bisa merasakannya.
“Kev, Kev, cewek itu namanya siapa?” Argi melirik Gaida sembari bertanya pada Kevan.
“Elah, Gaida Khairunnisa, ketua kelas gua. Kenapa?”
“Gapapa, nanya aja.”
Kevan mengerutkan kening. “Lu gak suka sama dia, kan?”
Argi menyunggingkan senyum.
Kevan langsung menepuk keningnya sendiri. “Elah, kok bisa sih lu suka sama cewek jelek itu? Dia gak selevel sama lu, Gi. Lagian dia udah punya pacar.”
Argi terkaget, kesenangan dalam dadanya mendadak berkurang.
“Di-dia udah punya pacar?”
“Iya, dia pacaran sama Heru, temen sekelas gua juga. Mereka katanya udah pacaran dari kelas 2 SMP.”
“Dari kelas 2 SMP? Udah lama banget kalo gitu? Tiga tahun?” Argi memastikan.
Kevan mengangguk. “Iya, awet banget, ya? Gua paling lama aja pacaran cuma dua bulan. Keburu bosen, hahaha.”
Argi tertunduk lesu. Cinta pertamanya telah gugur bahkan sebelum dimulai. Argi sekarang bingung apa harus tetap menyukai Gaida atau menyerah begitu saja.
“Kalau lu suka, tembak aja. Tapi gua gak yakin bakal diterima, sih. Secara Gaida orangnya setia banget.” Kevan memberi penjelasan.
Saran dari Kevan entah mengapa merasuk ke dalam jiwa Argi. Ide itu bersarang pada pikiran Argi.
“Cowoknya yang mana sih? Ganteng gak?”
Kevan terkaget. “Lu gak tau si Heru? Astaga, lu emang gak pedulian ya sama orang lain. Sini, gua tunjukkin.”
Kevan lalu mengajak Argi untuk mengintip lewat jendela kelasnya sendiri.
“Itu tuh yang namanya Heru, yang duduk di pojokkan sambil makan makanan kotak.”
Argi garuk-garuk kepala. “Gantengan gua, ya.”
“Jauh!” Kevan menyerobot. “Heru itu cowok biasa-biasa. Modalnya cuma otak yang luar biasa. Di luar kepintaran, lu unggul segalanya dari Heru.”
“Oh, gitu.”
“Kalau lu berani coba aja tembak, tapi sekali lagi, gua gak jamin berhasil.” Kevan memberi dukungannya lagi.
“Oke, oke, makasih ya Kev.”
Beberapa hari setelah itu, Argi benar-benar nekat melakukan apa yang disarankan Kevan. Argi mengajak Gaida ke parkiran lalu menyatakan cinta padanya.
“Gaida, a-aku, aku suka sama kamu. Mau gak jadi pacar aku?”
“Aku udah punya pacar.” Gaida membalas singkat.
“Aku tau. Aku mau rebut kamu dari pacarmu. Jadian sama aku aja.”
Gaida menautkan sebelah alis. “Kamu gila, ya. Gak mau lah. Aku ini pacarnya Heru. Tolong jangan ganggu lagi. Berengsek.”
Bukannya marah, Argi malah senang disebut berengsek oleh Gaida, apalagi dengan tatapan penuh cercaan seperti itu. Argi tidak sadar bahwa dirinya adalah seorang masokis terhadap perempuan.
Ada rumor yang menyebar di sekolah, mengatakan bahwa Argi menyatakan cinta pada Gaida. Namun, tidak ada satupun yang mempercayai rumor itu. Maksudnya, siapa yang percaya lelaki setampan Argi menyatakan cinta pada gadis biasa yang sudah punya pacar? Tentu saja tidak ada.
“Gi, gosip ini bohongan doang, kan?” tanya Kevan.
“Enggak, seriusan ini. Gua ditolak njiir sama dia.”
Mendengar itu, Kevan langsung tertawa terbahak-bahak.
“Parah banget sih lu, udah tau bakal ditolak masih aja nembak. Hadeuh, ngakak banget gua.”
Argi berdecih sebal. “Kan lu yang saranin, kampret.”
“Ahahaha, bener juga, sorry-sorry. Tapi yaudah, lu nyerah aja sekarang. Udah gak ada kesempatan soalnya.”
Argi menggeleng.
“Enggak, gua gak bakal nyerah. Gua bakal tembak Gaida terus sampe dia nerima gua.”
Argi memang sedang gilanya saat itu, pikirannya belum sedewasa saat kuliah. Persis seperti apa yang dia katakan, Argi menyatakan cinta pada Gaida berkali-kali dan ditolak berkali-kali pula. Namun, bukannya nyerah, dia malah semakin bersemangat.
Argi rupanya senang melihat wajah Gaida saat menolak dirinya.
Aneh memang.
“Heru, itu si Argi gangguin aku mulu! Aku kan udah jadi pacar kamu, tapi dia nembak aku terus. Bilangin gih, jangan ganggu aku gitu!” Gaida mendorong-dorong bahu Heru.
Heru terbatuk. “Biarin aja. Itu artinya dia beneran suka sama kamu. Kasian kalo dilarang-larang.”
Alasan sebenarnya, Heru tidak berani menegur Argi. Apalagi Argi itu teman dekatnya Saga. Heru tidak berani macam-macam. Lebih baik kehilangan Gaida daripada kehilangan nyawa.
“Kok kamu gitu, sih? Kalau aku keceplosan nerima gimana? Nanti aku pacaran sama Argi, loh!”
Heru mengelus kepalanya. “Aku percaya sama kamu. Yang kamu sukai itu cuma aku. Kamu gak bakal berpaling sama yang lain.”
Gaida tersipu mendengar ucapan Heru.
“Oke deh, oke.”
Entah berapa kali Argi menyatakan cinta pada Gaida, dan entah berapa kali juga Gaida menolaknya. Argi mulai lelah, dia akhirnya berhenti menyatakan cinta pada Gaida.
“Syukurlah, lu udah kembali ke jalan yang benar. Ayo, cari cewek lain, gua temenin.” Kevan menepuk-nepuk pundak Argi.
“Enggak, gak mau, gua maunya Gaida.”
“Lah, terus kenapa berhenti nembak?”
Argi memalingkan pandangan. “Akhir-akhir ini gua jadi malu tiap ketemu Gaida. Rasa suka gua ke dia udah memuncak banget, gak bisa ditahan lagi. Tapi gua juga gak bisa ngomong secara langsung ke dia. Entah mengapa rasanya jadi sulit. Gua selalu terbata-bata.”
Kevan tertawa ngakak mendengar itu. “Anjir, lu kayak cewek aja pake gugup segala.”
“Jangan ngeledek gua anjir, gua juga gak tau kenapa bisa gini!”
“Ahaha, iya sorry, sorry.”
Tak seberapa lama ada seorang lelaki yang menepuk pundak mereka berdua.
Argi dan Kevan menoleh.
“Wah, bos Saga datang!”
Kevan tampak antusias.
“Kalian lagi ngapain di sini?”
Kevan yang menjawab. “Biasa, ini Argi mau ketemu sama Gaida. Udah nembak berkali-kali tapi ditolak terus. Kasian, ya.”
Saga geleng-geleng kepala, lalu menatap Kevan. “Dia susah dibilangin, ya?”
“Susah banget, Bos! Udah kepala batu.”
“Yaudah, biarin aja Kev. Kita ke kantin, yuk.”
“Ayo!”
Kevan dan Argi berjalan di belakang Saga.
Dalam posisi ini, Saga terlihat seperti bos yang berjalan di depan dua pengawal. Namun, meski begitu, dia tidak terlihat keren sama sekali. Tatapan para gadis justru tertuju pada Kevan dan Argi. Tidak ada satupun yang melihat Saga.
“Kampret, gara-gara jalan sama kalian gua jadi keliatan jelek.”
Kevan tertawa. “Ahahaha, gak gitu juga kok, Bos. Bos Saga juga ganteng di mata gua.”
“Elah, makasih ya Kev, tapi gua gak seneng sama sekali.”
Alasan Kevan memanggil Saga ‘Bos’ adalah karena dia sangat menghormati Saga. Saga tahu rahasia Kevan yang tidak diketahui banyak orang.
Kevan sebenarnya bukan orang kaya, dia orang biasa seperti Heru dan yang lainnya. Hanya saja, Kevan memang selalu bersikap seperti orang kaya. Penampilannya juga begitu. Jadi, banyak yang mengira Kevan anak keluarga berada.
Banyak yang mengira Kevan pemalas karena sering tidur di kelas saat jam pelajaran. Padahal aslinya itu karena Kevan bekerja dari sore sampai malam di café kopi milik keluarga Saga. Kevan menjaga café kopi sambil belajar di sana setiap malam. Dia sering begadang, jadi wajar mengantuk saat di sekolah.
Karena kafe tempat Kevan bekerja itu milik keluarga Saga, maka dari itu Kevan memanggil Saga dengan sebutan Bos.
Ketika sudah mendapat meja bertiga, Argi melihat Gaida makan berdua dengan Heru di meja yang sama.
Kevan memanas-manasi. “Gi, coba lu tembak Gaida di depan pacarnya. Kali aja berhasil.”
Saga terbelalak. Kevan benar-benar iblis.
“Gimana menurut lu Sag?” Argi menatap Saga.
“Serah.” Saga tidak ingin terlibat.
Argi pun dengan nekat berjalan menuju meja tempat makan Gaida serta Heru. Dia berdiri di hadapan mereka, lantas menatap Heru.
“Heru, ya? Aku boleh tembak Gaida, gak?”
Heru mengangguk-angguk. “Oh iya, boleh-boleh, silakan.”
Argi pun berganti menatap Gaida.
Sebuah tamparan melayang pada pipinya.
“Bego, mati sana, jangan bicara sama gua lagi!”
(End of masa lalu Gaida)
Sampai sekarang Argi masih ingat rasa tamparan dari Gaida. Rasanya sangat sakit, tapi juga nikmat. Mungkin hanya Argi yang bisa menikmatinya.
Argi bergumam pada dirinya sendiri sembari menatap foto Gaida.
“Nanti, pas pulang ke Bandung, gua tembak dia lagi deh.”