Malam hari di rumahnya, Sisil tengah menonton acara TV Bandung When The Flowers Bloom bersama adik laki-lakinya. Seperti biasa, Jenni tampil sebagai Leona. Dia mendapatkan bagian yang banyak karena dia memang tokoh utamanya.
Rasanya masih tidak biasa melihat orang yang biasa tampil di televisi ternyata adalah teman di kampusnya.
“Jennifer Priscilla hebat banget ya aktingnya, cantik lagi.” Adik laki-lakinya memuji.
“Iya lah, temen Kakak!”
Adik laki-lakinya langsung menoleh. “Jangan mimpi, Teh. Teteh teh orang biasa, mana mungkin Teteh temenan sama Jenni.”
“Eh, yakin? Coba deh lihat ini.” Sisil menunjukkan foto saat dirinya berfoto dengan Jenni dan Tiara.
Adik laki-lakinya terkaget.
“Loh, kok bisa?! Teteh minta editin ke siapa?!”
Sisil menggembungkan pipi. “Ih, ini foto beneran! Jenni itu temen sekampus Kakak!”
“Wah, nu bener ah?!” Adik laki-lakinya masih tidak percaya.
“Iya, ini masih banyak fotonya nih, liat. Kakak juga punya nomor hapenya.”
Sisil menunjukkan semua bukti yang membuat adik laki-lakinya tersebut akhirnya percaya.
“Hebat lah, beneran euy. Kapan-kapan ajak dia ke sini ya, Teh.”
Sisil tidak kepikiran dengan ide itu, tapi sepertinya itu bukan ide yang buruk.
“Iya, kapan-kapan teteh bawa ke sini deh.”
Setelah itu, obrolan mereka terhenti karena berfokus lagi menonton sinetron Bandung When The Flowers Bloom. Mengetahui bahwa pemerannya adalah orang yang berada di dekat kita memberikan sensasi yang berbeda.
***
Ketika di kampus, seperti biasa Sisil bergaul dengan Tiara dan Mega. Dua gadis itu adalah teman dekatnya, sekaligus orang yang sering membantu Sisil yang telah ditunjuk menjadi komting kelas. Mereka saat ini sedang duduk di meja keramik tepat di depan laboratorium ilmu pakan.
“Sisil, ada cowok yang kamu suka gak di sini?” Tiba-tiba Mega bertanya begitu.
Sisil yang ditanya mendadak merasa bingung. “Gak ada, kamu emangnya ada?”
Mega mengangguk. “Ada, tapi jangan bilang siapa-siapa, ya.”
Sisil agak sedikit terkejut. Selama ini Mega tidak pernah mengatakan bahwa ada laki-laki yang disukai olehnya. Sekarang dia merasa penasaran.
“Iya, tidak akan bilang-bilang. Siapa cowok yang kamu sukai di kampus ini?”
Mega melihat-lihat sekitar, memastikan tidak ada orang yang mendengar obrolan ini.
“Aku suka sama….”
“Argi.” Tiara yang menjawab.
Mega terkaget. “Eh, kamu kok tau?”
“Kelihatan jelas. Waktu jam pelajaran, kamu sering banget merhatiin Argi dari belakang. Ya, wajar sih, dia emang ganteng soalnya. Pinter lagi.” Tiara menjawab dengan kalem, sambil masih memainkan handphone-nya.
“Kamu suka juga sama dia?” tanya Mega.
“Enggak, lah! Aku kan udah punya pacar. Ngaco aja.”
“Oh iya.” Mega baru ingat.
Pembicaraan mengenai Mega yang menyukai Argi pun berlanjut.
“Argi tuh dewasa banget gak, sih? Keliatan kalem banget orangnya. Perhatian, gak pernah kasar. Ih, kayaknya enak deh kalau jadi pacarnya dia.” Mega membicarakan apa yang selama ini dia rasakan.
“Bener sih, temen deketnya Saga itu emang kece parah. Nilainya juga kan paling tinggi seangkatan. Dosen juga banyak yang suka sama dia. Argi mah udah pasti jadi mawapres.” Sisil menebak secara logis.
“Iya kan? Tapi dia tuh rendah hati banget. Beda sama anak-anak kelas internasional yang cuma karena bisa bahasa inggris dikit aja belagunya selangit. Hadeuh.”
Sisil tersenyum tipis.
“Tapi gak semuanya sombong, kok.” Yang dimaksud oleh Sisil tentu saja Jenni dan Ayano.
“Iya, aku tau kok. Jadi intinya kira-kira Argi mau gak kalau jadian sama aku?” Mega kembali mengarahkan pembicaraan ke sana.
“Gak bakal mau.” Asep yang menjawab, dia datang secara tiba-tiba.
“Ih, Asep ngagetin! Aduh, kamu denger apa yang aku bicarakan barusan?” Mega terlihat panik.
“Denger, jelas banget malah.” Asep menaruh tasnya, dan ikut duduk bersama mereka.
“Ih… yaudah. Kasih tahu alasannya? Kenapa Argi bakal nolak aku?!” Mega masih penasaran.
Asep menatap wajah Mega dalam-dalam. “Pertama, kamu tuh orang biasa, sedangkan Argi murid paling pinter di kampus, ganteng juga. Ya gak mungkin lah dia mau sama orang biasa kayak kamu. Kedua, Argi bilang dia gak bakal punya pacar sebelum si Saga yang punya pacar duluan. Yaudah, gak mungkin banget lu bisa jadian sama Argi.”
“Iya, bahkan cewek-cewek cantik di angkatan kita pun ditolak sama si Argi. Kakak angkatan juga ada yang ditolak. Udah nyerah aja, Mega.” Tiara menambahkan, masih dalam posisi bermain game online di handphone-nya.
“Cari yang lain, ya.” Sisil mengatakan dengan perasaan tidak enak.
Namun, di luar dugaan, Mega ternyata belum mau menyerah juga. Mega yang sangat berpikir positif rupanya tidak mudah untuk diingatkan begitu saja.
“Berarti, kalau Saga punya pacar, Argi juga bakal mau punya pacar, kan?” Mega menyusun deduksi.
“Ya, secara teori sih begitu,” balas Asep.
“Kalau gitu aku bakal bantu Saga dapetin pacar. Nanti Argi seneng karena Saga dapat pacar dan jatuh cinta sama aku, jadian deh akhirnya. Aaah, bisa nih kayaknya.” Mega ribut sendiri.
Sisil dan Asep geleng-geleng kepala.
“Terserah kamu aja Meg.”
“Iya, terserah kamu aja.”
***
Sepulang kuliah, Mega berpisah dengan Sisil dan Tiara karena keduanya pulang dengan menggunakan motor sementara Mega menaiki angkutan umum. Mega selalu menunggu di trotoar depan kampus untuk menunggu angkot yang berhenti.
Ketika menunggu di tempat itu, Mega dikagetkan dengan kemunculan seorang laki-laki yang disukainya. Ya, di sebelah Mega ada Argi Surya Wiranegara yang sama-sama menunggu angkutan umum.
“A-Argi, sedang apa kamu di sini?!”
“Mau pulang, rada gak enak badan,” balasnya.
“Kamu naek angkot biru juga?”
“Iya.”
“Kok aku baru lihat? Aku nunggu angkot di sini setiap hari, loh.”
Argi pun menjawab. “Ah, biasanya aku pergi ke klub catur dulu. Tapi hari ini gak enak badan, jadi mau langsung pulang.”
“Oh, begitu.”
Jantung Mega berdebar kencang. Tidak dia sangka orang yang dia sukai ternyata memiliki arah jalan pulang yang sama.
“Saganya ke mana?”
“Saga ikut tutor embrio sama kelompok lain. Tiap hari gitu, lagi gila-gilanya belajar dia.”
Semenjak lulus ujian praktikum anatomi bulan kemarin, Saga jadi semakin semangat belajar. Fase malasnya yang biasanya selalu terjadi setiap bulan sekarang sudah hilang. Saga benar-benar jadi anak rajin, sampai membuat Argi tidak percaya.
“Oh, gitu. Hebatlah, hahaha.”
Ketika Mega ingin membicarakan hal yang lain, angkot yang mereka tunggu malah berhenti di depan mereka. Mega pun tidak jadi membicarakannya.
“Kamu naik angkot biru juga?” tanya Argi.
“Iya.”
“Yaudah, ayo.”
Argi dan Mega akhirnya menaiki angkot bersama-sama. Namun, tidak ada pembicaraan dari keduanya meski mereka duduk bersebelahan. Ini karena Argi terlihat kelelahan, Mega tidak berani mengajaknya bicara.
“Argi, kalau kamu butuh bantuan apa-apa, bilang sama aku, ya.” Mega hanya bisa mengatakan hal itu.
Argi tersenyum padanya. “Iya, terima kasih, Mega.”
Senyuman itu membuat hati Mega cenat-cenut. Sudah dia duga, Argi ini memang laki-laki tipe idamannya.
“Saat ini mungkin belum, tapi suatu saat mungkin saja.” Mega bergumam dalam hati.