Lamia mendengus dingin dengan raut sinis saat dia menatap gambar-gambar dalam polaroid yang diberikan seorang mata-mata sewaannya lima belas menit yang lalu.
Tangannya meraih gagang pintu laci mejanya. Mengeluarkan amplop cokelat yang sudah berisi uang dalam jumlah tidak sedikit, melemparkannya ke atas meja dengan ekspresi dingin. "Sudah termasuk bonus. Jalankan rencana selanjutnya."
Pria itu tersenyum lebar menerima uangnya. Mencium amplop itu dengan ekspresi puas luar biasa. "Terima kasih, Nona Lamia. Kau yang terbaik."
Lamia mendengus bosan. Dia meminta Hana untuk membawa tamunya pergi dan Hana segera menyuruh sang pria mundur dari ruangan besar CEO Agneli Group, kemudian menutup pintu.
"Tulip Agnia, ya ..." Lamia mengamati gambar-gambar itu dengan senyum dingin. "Sudah kuduga. Kupikir dia dengan Cornell Hiro sudah berakhir. Ternyata cinta masa kuliah belum selesai."
Hana ikut menatap gambar-gambar itu dalam diam. Foto-foto itu didominasi pemandangan Cornell Hiro tengah berbincang serius dengan Tulip Agnia di sebuah restauran sederhana yang tampak sepi dan lenggang. Menghabisi waktu bersama saat jam makan siang.
"Apa Anda akan tetap melanjutkan perjodohan ini padahal Cornell Hiro dan Tulip Agnia masih berhubungan?"
"Kau pikir aku peduli?" Lamia meremas semua foto itu dan membuangnya ke tempat sampah dalam lemparan tepat sasaran. Dia tersenyum. Memandang Hana dengan kedua mata menyipit manis. "Aku sama sekali tidak peduli. Mau berhubungan atau tidak, itu bukan urusanku.”
Lamia meraih tabletnya. Memandang berita harian di dalam sebuah situs saat dia menemukan berita tentang kecelakaan tabrak lari oleh gadis yang diidentifikasi bernama Latina Wang, putri dari pemilik perusahaan real estate bernama Lei Wang.
"Aku sampai tidak mengenali wajah itu karena sudah rusak berat," Lamia mengernyit saat dia mengenang malam itu. Dia menghela napas. Membaca isi artikel dalam diam. "Ternyata dia adalah Latina."
"Latina putri dari presdir Lei Wang?" Hana menyahut dan Lamia mengangguk pelan.
"Hana, kirimkan bunga tanda berduka dariku untuk Lei Wang. Tolong, sampaikan permintaan maaf karena aku tidak bisa hadir ke pemakaman putrinya."
"Baik, Nona."
Lamia mengembalikan tabletnya dalam posisi tidur saat dia memejamkan mata dan Hana yang baru saja pergi lima menit yang lalu, merangsek masuk dengan ekspresi bingung bercampur ketakutan.
"Roose Nata di sini."
"Suruh dia masuk." Lamia membalas tanpa membuka matanya dan Hana kembali berlari ke luar ruangan, mendorong pintu kayu berkelas mahal itu agar Nata bisa masuk ke dalam setelah mendapat izin dari sang atasan.
Lamia membuka matanya. Menatap datar pada ekspresi sama Roose Nata yang kaku seperti tembok ruangannya. Pria itu memberikan dokumen dalam diam ke atas meja Lamia. "Aku akan menunggu sampai kau seleRansom membaca."
Lamia melirik singkat pada dokumen yang tersimpan dalam map biru tua itu. "Aku tidak tertarik membacanya."
Kedua alis Nata menekuk tajam. "Apa maksudmu dengan tidak tertarik?"
"Proposal pengajuan agar perusahaanku mau mendukung keluargamu?" Lamia mengangkat alis. "Kenapa harus? Roose Abe penuh skandal buruk. Kenapa aku harus mendukungnya? Mendukung Abe seperti mendorongku ke ujung pisau. Katakan alasan kenapa aku harus mendukungnya?”
Roose Nata terdiam. Tertohok dengan ucapan tajam Lamia. Kedua mata pekatnya membanjiri tatapan teduh Lamia dengan pandangan tajam bagai belati. "Karena Roose Abe jauh lebih baik dari calon suamimu."
"Oh, benarkah?"
Lamia memiringkan kepala. Merasa tertarik dengan percakapan mereka. "Apa yang menarik dari keluarga Roose yang sangat sulit ditaklukkan dibanding keluarga Cornell yang bodoh? Jika kau setuju menjadikan Abe bonekaku, aku akan menandatanganinya sekarang."
"Tidak ada presiden boneka. Mereka independen."
"Kau tahu pintu keluarnya sebelah mana, Roose."
Roose Nata menipiskan bibir. Tidak berhenti sampai di sana untuk kehilangan akal mempertahankan posisinya tetap statis di tempat. "Kau akan menyesali ini, Agneli.”
"Aku tahu posisimu sebagai wakil direktur di perusahaan Roose's Golding milik ibumu dan bukan sales sabun batangan. Kau tidak mungkin bisa merayu. Pergi. Aku butuh tidur sekarang."
"Keluargamu benar-benar berpengaruh ternyata. Itu bukan sekadar omong kosong.”
"Kau meragukannya. Jenderal Kobe tahu benar apa yang ayahku lakukan saat Jepang mengalami krisis moneter sepuluh tahun yang lalu."
Roose Nata bungkam. Dia mengamati Lamia dalam jarak pandang yang memungkinkan dia untuk tidak menggebrak meja di hadapannya cukup besar.
"Baik. Semoga pernikahan kalian lancar."
"Kau ingin menjadi list tamu undangan?"
Lamia bertanya, memiringkan sedikit kepalanya dengan ekspresi mencemooh. "Aku akan meminta tim bagian undangan membuat ukiran namamu dengan lebih baik dibanding undangan lainnya. Bisa dikatakan kau special.” Memberikan kedipan matanya pada Nata yang mendengus tajam.
"Aku akan datang."
"Tentu saja. Siapa tahu aku berbaik hati padamu, kan?"
"Kau tidak mungkin menerima dengan tangan terbuka pada penjilat seperti keluarga kami." Roose Nata tepat sasaran kali ini. Dia membuat Lamia terdiam dengan alis tertekuk.
"Keluargamu dan keluarga Cornell sama pada dasarnya. Penjilat tidak tahu diri." Lamia berdiri dari kursinya, pergi ke mini bar di dalam ruangan dan membuka kulkas dua pintu yang mencolok. "Ingin kopi botolan? Aku punya persediaan cukup banyak kalau kau ingin membawanya pulang."
Roose Nata terdiam. "Simpan saja untukmu sendiri."
"Oke."
Lamia menutup pintu kulkas dengan dorongan kakinya. Membawa tisu bersih dari tempatnya dan berjalan kembali ke sofa di ruangan, duduk santai dengan menyilangkan kaki. "Ngomong-ngomong, visi misi Roose Abe jauh lebih berbobot dan jelas dibanding Cornell Hiro. Terlihat sekali kalau kakakmu berpengalaman di bidang yang seharusnya."
Roose Nata mengusap wajahnya dengan ekspresi muram. "Cornell Hiro sudah pasti kalah telak."
"Publik mencintai ayahmu, tapi tidak dengan kakakmu. Kenapa mereka harus mencintai pria bertempramen buruk yang kasar menyakiti istrinya sendiri dan membuatnya sekarat lalu mati? Atau yang lebih buruk, melegalkan narkoba bagi kalangan pejabat dan wanita penjaja yang berasal dari kelas rendah untuk dijual? Roose Abe jelas tidak masuk dalam daftar."
Roose Nata terdiam. Lamia memegang kartu AS keluarganya dan keluarga Cornell Hiro. Sekali bicara, dia bisa menghancurkan keduanya dengan mudah.
"Kenapa kau diam? Cornell Hiro juga bukan orang suci. Kau tahu benar kebusukan orang lain terutama lawanmu daripada aku yang awam." Lamia tersenyum, menghela napas lega saat dia merasakan dinginnya kopi mengaliri tenggorokannya yang kering.
Hana mengetuk pintu ruangan dengan canggung. Mata teduhnya memandang Lamia yang menyuruhnya masuk dengan anggukan kepala singkat dan dia memberikan laporan tentang jadwal Lamia nanti malam.
"Menghadiri pesta pembukaan dari keluarga Cornell Hiro?"
Lamia mengernyit tajam. "Apa ayahku tahu?"
"Ini perintah dari Agneli Tenate, Nona."
"Ah, dia benar-benar." Lamia melirik Nata yang terdiam. "Aku akan datang nanti malam."
"Baik."
"Sampaikan juga kalau aku akan membawa mobil. Aku datang dari apartemenku malam ini."
Hana mengangguk dan berlalu pergi dari Lamia yang meremas botol kopi dinginnya dan berdiri. Memandang Nata sekali lagi dengan sorot mencela yang tidak ditutupi. "Bawa dirimu keluar. Kau tidak lagi punya kepentingan di sini."
Nata melemparkan tatapan dinginnya sekali lagi. Mencoba menggoyahkan hati sekeras gunung es di kutub utara milik Agneli Lamia, dan dia gagal. Dia menyerah. Membawa dirinya pergi adalah jalan satu-satunya.
***
"Jangan bunuh aku!"
Jeritan itu menggema saat sebuah katana terayun ke atas dan menghancurkan guci antik yang menghiasi kamar dengan indah. Membuat dua orang yang meringkuk pada dasar tembok menggigil ketakutan.
"Setelah kau membunuh putriku. Apalagi yang kau mau? Tolong, jangan sakiti kami! Kau bisa mengambil segalanya. Tapi, tolong, lepaskan kami."
"Aku melepaskan kalian?"
Satu decihan sinis itu mengalun. Membuat pasangan suami istri itu mengkerut ketakutan dengan tubuh gemetar hebat. Mereka saling berpegangan tangan, mencoba menahan ketakutan yang menjalar di diri mereka masing-masing dengan tak manusiawi.
"Latina hanya permulaan dari segala teror di sini sebelum semua terlambat."
"Apa maksudmu permulaan?"
"Akan ada banyak darah yang tumpah setelah ini." Ujung katana itu menggores pelipis Lei Wang dengan gerakan pelan. Membuat titik-titik darah menyembul keluar. "Latina hanya gerbang pembuka. Selanjutnya, teror itu akan membuat suasana semakin mencekam. Semua yang menghalangi harus mati."
"Aku bahkan tidak—"
"Sssh, diamlah."
Kedua mata itu memicing tajam. Menciptakan kengerian bagi keduanya saat istri Lei Wang, Lativa Wang hanya menunduk, menahan jeritan karena sosok menjulang menyeramkan itu mengancam akan memotong kepala mereka jika mereka berani menjerit sekali lagi.
Topeng itu belum terlepas. Membuat Lei Wang tidak bisa mengenali siapa sosok yang mencekam mengerikan menghantui malam mereka yang tenang. Semua berubah menjadi lautan darah terlebih tidak ada yang tersisa dari siapa pun di dalam rumah kecuali dia dan sang istri. Yang juga berada di ujung kematian.
Sudut bibirnya tertarik dingin. Dia mengayunkan katana miliknya untuk menebas kedua kepala itu dalam satu kali tebasan dan kepala itu menggelinding di atas lantai dengan bunyi bedebum cukup keras. Dengan pemandangan yang membelalak ngeri, sosok itu hanya mendesis dingin. Sebelum melemparkan diri untuk berjalan pergi dengan tenang.
***
Agneli Lamia berjalan menyusuri lobi restauran hotel Blue Whoustoun dengan tenang. Dia memandang sekitar dan kurang lebih lima belas pelayan berdasi tampak sibuk menyiapkan aneka hidangan di atas meja panjang yang tampak lezat dan mahal.
"Sayang? Putri kita sudah datang."
Kania menyentuh lengan sang suami dengan lembut dan Agneli Tenate tersenyum tipis menemui putrinya datang dalam balutan pakaian luar biasa sempurna. Dia berdiri, hendak membantu Lamia yang tidak keberatan mendapatkan pelayanan dari sang ayah.
Kedua mata Lamia menelusuri seluruh isi ruangan dengan pandangan menilai. Menemukan satu pemandangan mencolok berisi layar putih kosong di tengah ruangan dan layar proyektor di atasnya.
Alis Lamia mendadak terangkat tinggi. Dia menoleh pada Cornell Hiro yang tampak tenang meminum anggurnya dan sedikit mengangguk pada sang kakak, Cornelia yang berbicara padanya entah tentang apa.
"Aku sudah mendengar pidato Hiro pagi tadi. Dia cukup berani dan lantang. Berbeda dari beberapa waktu lalu terlihat canggung dan kaku."
Agneli Tenate memuji dengan senyum formal dan Cornell Hiro lantas memberi anggukan sopan dan ucapan terima kasih sebagai bentuk rasa bangganya terhadap pujian yang terlontar dari Tenate.
Orang tua Cornell Hiro tampak senang. Keluarga penjilat itu tidak henti-hentinya melemparkan pujian pada ibu dan ayah Lamia yang selalu sukses dalam segala bidang tanpa menemukan hambatan dan memuji cantiknya Agneli Kania yang tidak pernah menua di usianya yang sudah menginjak kepala lima.
"Lamia, bagaimana pekerjaanmu?"
"Baik, Nyonya Evie." Lamia membalas singkat saat dia menyesap air putih di dalam gelas dan Evie menyunggingkan senyum manis padanya. "Baguslah. Kau memang paling bisa diandalkan."
"Kudengar, Presiden Kara mengubah kebijakan tentang kenaikan harga minyak bagi warga Jepang. Karena kurs dollar naik, kurasa itu berpengaruh. Namun, beberapa orang menolaknya. Tetapi, Presiden Kara tetap melanjutkannya."
"Kebijakan itu sudah bulat, Tuan Laili," Lamia yang menjawab dengan ekspresi tenang. "Rakyat terlalu banyak dimanja dengan subsidi. Hutang negara menumpuk karena anggaran yang selalu keluar lebih banyak dibanding pemasukan."
Agneli Tenate memandang putrinya dalam diam.
Kedua manik Lamia terlempar pada Cornell Hiro yang tampak tidak terpengaruh. "Dan janji Hiro terhadap rakyat membuatku terusik. Dia banyak menjanjikan pembangunan dalam skala besar terutama jalan utama. Sebagai salah satu poin penting distribusi logistik ke tempat terpencil. Tetapi, dia melupakan poin penting pada sistem pendidikan dan kesehatan yang mulai kacau."
Cornell Hiro terdiam sejenak. Dia menaruh sendok dan pisaunya sedikit kasar ke atas piring dan Cornelia menyenggol bahunya cukup kencang sebagai peringatan.
Lamia hanya tersenyum. Dia menatap Hiro dengan pandangan tak biasa. "Sebagai calon istri dan calon ibu negara, bukankah aku punya hak untuk mengeluarkan pendapatku? Aku juga warga Jepang yang berbakti."
Cornell Laili tersenyum pada Lamia tanpa arti. Dia menoleh, memandang Hiro dengan tatapan tajam mengintimidasi dan Lamia hanya mendengus. Menatap sang ayah yang melemparkan tatapan dinginnya pada keluarga Cornell.
Seketika ruangan berubah hening saat layar putih di tengah ruangan mulai menyala. Sumber berasal dari layar proyektor di atas mereka. Lamia terdiam. Menatap layar putih itu dengan malas sampai dia menemukan satu video terputar dan semua tentang insiden dia menabrak Latina Wang hingga gadis itu tewas.
Agneli Kania menutup mulutnya tak percaya saat Cornelia terbatuk-batuk hebat menemukan darah yang menggenang begitu banyak. Membuatnya mual dan ingin muntah sekarang. Menonton pemandangan mengerikan di depan sana bukan ide yang bagus di tengah acara makan malam.
Cornell Hiro menatapnya dalam diam. Seulas senyum dingin tercetak di wajah tampannya ketika dia mengerling pada Lamia yang membatu. Menatap video itu dalam diam.
Agneli Tenate cukup lama bungkam sampai mobil Porsche yang Lamia kendarai melenggang pergi. Meninggalkan mayat malang itu dalam keheningan malam yang menyesakkan. Berbaring tak berdaya dan menunggu untuk segera dimakamkan.
Semua pasang mata menatap ke arahnya. Terkecuali keluarganya yang tidak menatap Lamia dengan pandangan mencela, melainkan tatapan bertanya.
Lamia menghela napas. Dia memandang layar yang kini kembali putih seperti sedia kala dengan gelengan kepala miris. "Ya Tuhan, kau sampai membuat ini semua hanya untukku? Kau sangat manis, Hiro. Aku tidak tahu harus bicara apa sekarang. Haruskah aku tersanjung atau malah tersinggung?”
Cornell Hiro menatapnya tajam. Seolah pisau bisa saja menembus kepala Lamia dan gadis itu sama sekali tidak gentar.
"Apa maksudnya ini?"
Evie berbicara dengan raut terkejut. Lamia hanya mengangkat alis. Mengetukkan jemarinya di atas meja saat pelayan berdasi hendak menuangkan anggur ke gelasnya, Lamia menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan.
"Ayah, segera percepat pernikahan ini. Aku tidak sabar lagi.”
Agneli Tenate mengangkat alis mendengar permintaan putrinya. Kania hanya diam, memandang keluarga Cornell dalam tatapan tajam mengintimidasi.
Lamia mengulas sebuah senyum dingin yang membuat Cornell Hiro tahu, dia sudah salah melangkah untuk menjebak seorang Agneli Lamia.
"Aku benar-benar tidak sabar menunggu kehancuranmu dengan mata kepalaku sendiri, Hiro."