3

1526 Kata
"Kita jadi mengakuisisi bank ini?" Lamia mengangkat kepala dari dokumen yang baru tiba sepuluh menit lalu pada sekretaris pribadinya, Hana. Yang berdiri kaku dengan kacamata bulat membingkai wajah manisnya. "Bank Mega sudah dibawah garis merah, kan? Kenapa tidak? Kita jadikan itu bank ada dalam cabang perusahaan Bank Jepang." "Wah, kau luar biasa, Nona Lamia." Hana tersenyum sembari memperbaiki letak kacamatanya. Dia menutup dokumennya dengan masih meninggalkan tatapan pada Lamia yang mengamati tulisan di dalam berkas secara teliti. Ponselnya bergetar. Tanda pesan masuk. Lamia menaruh dokumen itu dan membacanya saat dia mengangkat alis, menemukan isi pesan masuk dari Cornell Hiro masuk ke dalam ponselnya. Cornell Hiro: Makan siang bersama? Lamia menatap Hana yang termenung diam. Dia menghela napas pendek, mengetikkan balasan dalam satu tarikan napas panjang. Agneli Lamia: Tidak. Hana hanya bisa terpaku. Dia melirik ponsel sang atasan dan menarik napas ketika Lamia menaruh ponselnya dan bersandar pada kursi besarnya dalam diam. "Bagaimana dengan dukungan yang Anda berikan pada calon presiden selanjutnya? Agneli Group menentukan banyak pihak di sini. Terutama perusahaan yang dinaungi. Mereka menunggu keputusan Anda." Lamia memutar mata jengah. Dia meremas kedua tangannya yang beristirahat di atas perut dengan tatapan kosong. "Jika keduanya mau berlutut di bawah kakiku, aku akan melakukannya." Hana tersenyum masam. "Roose atau pun Cornell memiliki gengsi yang sangat tinggi." "Kalau begitu, katakan selamat tinggal. Biarkan mereka mencari jalan sendiri." Lamia menolehkan kepala, tersenyum miring pada Hana yang membisu. "Tapi, Anda akan menikahi Cornell Hiro. Itu artinya, dukungan akan sepenuhnya jatuh pada dirinya." "Siapa bilang?" Lamia tersenyum dingin. Dia memejamkan mata, kemudian kembali membuka matanya. Memainkan telunjuknya di udara seolah dia sedang menggambar sesuatu. "Agneli Group berpotensi menjadikan siapa pun b***k dan bonekanya. Termasuk keluarga tak becus Cornell Hiro. Jika dia mendapat dukunganku, dia akan menjadi bonekaku." Hana mengembuskan napas panjang. "Nona Lamia, aku tidak yakin dengan hal ini." "Lima tahun kau bekerja denganku, kau meragukan kemampuanku yang satu ini, Hana?" Lamia mendengus tajam. Dia memutar kursinya, memandang Hana dengan tatapan mengintimidasi. "Kau membuatku tersinggung." Hana mengembuskan napas lelah. "Nona Lamia, jangan salah paham." Lamia terdiam. Saat Hana akhirnya menyerah dan memberikan Lamia tablet putih yang dia bawa. "Tuan Tenate akan menandatangani persetujuan memberikan dukungan pada keluarga Cornell. Tubuh pemerintahan akan semakin kuat karena keluarga bangsawan Anda." Lamia memejamkan mata. Menahan debaran rasa marah luar biasa saat dia mengembuskan napas kasar, sedikit membanting tablet itu ke atas meja kaca yang gelap. "Bekukan beberapa perusahaan cabang untuk memberi teguran pada ayahku. Dia harus tahu berhadapan dengan siapa." "Nona Lamia?" Hana memekik tak percaya. "Saham ada di tanganku. Jika dia bermain-main, dia tahu harus melawan siapa sekarang." Lamia berdiri dari kursinya dengan kasar. Lalu, melenggang pergi menuju pintu sampai dia berbalik, memberikan Hana tatapan ramah. Mendadak membuat seluruh syaraf di tubuh Hana menegang. "Hana, mau minum kopi bersama?" *** Tidak. Cornell Hiro menipiskan bibir mendapat balasan singkat yang tidak membutuhkan waktu berjam-jam menunggu pesan balasan dari Agneli Lamia yang super sibuk. Nyatanya, gadis itu sedang lenggang dan bisa memegang ponselnya. "Bagaimana? Dia menolaknya, kan?" Cornell Hiro menaruh ponselnya di atas meja dengan ekspresi tenang. Dia tampak tidak terpengaruh sama sekali walau di dalam hatinya menyimpan rasa dongkol luar biasa pada kelakuan gadis satu ini. "Kau sahabatnya. Kau tahu benar bagaimana sifatnya." Tulip Agnia mengaduk jus apelnya dengan ekspresi dingin ketika alisnya terangkat. "Sahabat? Hm, bagaimana, ya. Aku tidak ingin disebut muka dua. Tetapi, aku berhadapan dengan calon presiden di masa depan." "Keluarga Lamia sangat berpengaruh bagi kelangsungan masa depanku." "Tentu. Dia menguaRansom pasar global dan uang di Jepang. Sekali saja kau berbuat kesalahan," Agnia menjetikkan jarinya. "Tamat riwayatmu." Cornell Hiro menghela napas kasar. "Bagaimana bisa dia begitu angkuh? Seorang gadis seharusnya bersikap baik dan penurut. Dan dia? Aku kehilangan kata-kata untuk dirinya.” "Kau belum mengenal Lamia terlalu jauh. Bicaramu asal.” Cornell Hiro menatap Tulip Agnia dengan sorot tak terbaca. Ada senyum di wajah cantiknya saat Agnia kembali berbicara. "Dia tidak pernah terlibat dengan romansa percintaan dengan siapa pun. Aku tidak tahu apakah dia akan menjadi b***k cinta saat dia jatuh cinta. Hanya saja, kau berhadapan dengan si dingin Agneli Lamia. Kau menikahinya, tetapi kau hanya mendapatkan raganya. Bukan hati, maupun jiwanya." "Untuk apa aku menikahinya kalau begitu?" Tulip Agnia mengangkat alis. "Kau bertanya padaku? Seharusnya, kau bertanya pada keluarga besarmu. Kau memutuskan hubungan kita hanya karena kau akan menikahi Lamia. Dan aku harus diam-diam bersembunyi di balik punggungnya agar dia tidak membunuhku hanya karena hubungan kita." Cornell Hiro mendengus kasar. Agnia kembali mengangkat topik yang sama sekali tidak ingin dia dengar sekarang. "Aku harus melakukannya." "Kalian berdua cocok. Pantas berjodoh," ucap Agnia sarkatis. "Sesama ambisius memang harus disatukan. Agar dunia tahu siapa yang tumbang menjadi pecundang, dan mana yang akan keluar sebagai pemenang." Cornell Hiro menyeringai dingin pada Agnia yang membisu. "Aku tidak akan kalah." "Keluargamu bisa apa?" Tulip Agnia melempar pertanyaan yang membuat Hiro bungkam seribu bahasa. "Keluargamu berantakan. Korupsi dimana-mana, menggelapkan pajak dan uang reklamasi. Kau bisa apa?" Cornell Hiro mengetatkan geraham mendapat lemparan sindiran dari Agnia yang kini mengangkat alis. "Ini alasan kau menikahi Lamia, bukan? Agar keluargamu semakin kaya karena uang mereka." "Tutup mulutmu." "Oww, mulutku kau terlalu nakal." Agnia mendesis menepuk bibirnya sendiri dengan tepukan ringan. "Kata-katamu membuat pria boneka ini tersinggung." "Aku bukan boneka." "Oh, ya? Dan kau punya keberanian luar biasa untuk terjun mencalonkan diri menjadi presiden saat lawanmu adalah Roose Abe. Wah, kau berhadapan dengan Roose, sayang." "Dia akan kalah." "Karena skandal Roose Abe yang ternyata berselingkuh dan membangun bar eksklusif besar untuk perdagangan ganja dan narkoba kelas tinggi?" Cornell Hiro menyipit dingin pada Agnia yang tersenyum mencela. "Seburuk apa pun reputasi Roose Abe, publik mencintai Jenderal Kobe sebagai pemimpin militer terbaik sepanjang masa yang pernah membawa Jepang bebas dari belenggu penjajahan global." Cornell Hiro membuang muka dan Tulip Agnia terkekeh ringan. "Aku bertanya-tanya, mengapa keluarga Agneli menjodohkan putrinya dengan orang macam dirimu. Padahal, keluarga Agneli sangat berpengaruh dalam keuangan keluarga Roose ketika Jenderal Kobe menjabat. Dia seharusnya menjodohkan Lamia dengan Roose Nata, bukan dengan pria pecundang macam dirimu." "Roose Nata hanyalah sampah. Dia bukan apa-apa.” "Hati-hati kalau bicara," Agnia berbisik rendah. Nada suaranya berubah mengancam. "Dia punya telinga yang tajam. Terlebih kau bisa saja mati tergantung di atap rumahmu karena berhadapan dengan keluarga Roose." "Tidak akan ada yang terjadi padaku selama masa ini, sayang. Jangan cemas." "Aku sungguh hanya mencemaskan keluargamu yang begitu luar biasa mencalonkan pria tidak berguna seperti dirimu naik tahta di kursi nomor satu." Tulip Agnia memasukkan ponsel ke dalam tas dan berdiri, meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja, membuat kening Cornell Hiro mengernyit saat gadis itu berjalan pergi meninggalkannya dalam diam. *** "Nata bisa melakukannya." Roose Nata bertopang dagu ketika dia mengamati keluarganya yang sedang makan siang bersama menyewa ruang privat sebuah resto berbintang lima di jantung kota Jepang yang ramai. "Apa yang harus kulakukan?" Nata bertanya. Memecah suasana yang senyap. "Pergi temui Agneli Lamia. Bicara dengannya. Kita membutuhkan dukungan dari keluarganya untuk membuat Roose Abe menang." "Wah," Nata melebarkan seringai dingin terang-terangan yang ditunjukkan untuk keluarganya. "Kalian mulai terguncang dengan perjodohan antara Cornell Hiro dengan Agneli Lamia rupanya." Nata jelas menyindirnya dan Roose Kobe hanya membisu diam. Abe menghela napas, menatap Nata dengan tatapan tajam memperingati keras. "Jaga bicaramu." "Apa masalahnya? Keluarga konglomerat itu pada akhirnya akan menjadikanmu boneka. Biarkan saja." "Tidak, Nata." Mata pekat Nata berpaling dari Abe ke arah sang ayah dengan tajam. "Tidak akan. Putraku tidak akan menjadi boneka keluarga Agneli, terutama Agneli Lamia. Seperti dia melakukannya pada Presiden Kara, dia tidak akan bisa melakukannya pada putraku. Aku tidak akan membiarkannya.” "The power of old money, ayah. Jangan lupakan slogan itu. Old Money akan keluar sebagai pemenang. Dia adalah keluarga bangsawan, keputusanmu akan dibuang mentah-mentah jika keluarganya tidak menyetujuinya." Roose Abe mendesis dingin pada Nata. "Kau tahu kenapa keluarga Cornell Hiro begitu gencar menjodohkan putra mereka pada Agneli Lamia?" Kali ini suara lembut Roose Ayana mengalun indah. "Itu karena kekuasaan. Mereka ingin mengeruk separuh harta Agneli Group untuk tabungan mereka sendiri." "Mereka cari mati.” Abe mendesis mendengar alasan konyol dibalik perjodohan tak masuk akal ini. "Dan keluarga Agneli menyetujuinya?" "Selalu ada sesuatu di balik setiap keputusan, Abe." Kobe membalas dengan suara tenang. "Jika keluarga Cornell berani mengambil resiko besar seperti itu, mereka akan siap diperbudak oleh keluarga konglomerat itu." "Bertahun-tahun keluarga Agneli selalu menjadikan presiden Jepang sebagai b***k mereka. Dan sekarang, mereka terang-terangan unjuk diri di publik sebagai calon istri dari Cornell Hiro. Ini akan menjadi permainan luar biasa, kan?" Roose Nata termenung mendengar ucapan dari sang kakak. Dia mengamati ketiga anggota keluarganya dan menghela napas panjang.Semua menjadi rumit ketika Lamia turun tangan. Berpengaruh atau tidak, ini sama sekali tidak menguntungkan. "Intinya, mau kau berlutut atau tidak, dia akan memberi dukungan atau tidak, kita sama saja melemparkan diri ke kandang singa buas yang lapar. Kita adalah mangsa." Roose Kobe mengangguk tipis mengiyakan ucapan Nata yang benar adanya. Ayana menghela napas. Dia memandangi kedua putranya dalam diam dan menatap suaminya dengan tatapan putus asa. "Kita harus mencoba cara lain kalau begitu.” Ketiganya mendengarkan seksama saran dari Roose Ayana yang tampak serius. Dia memberi beberapa masukan yang sempat terlintas di kepala Nata sejak lama. Dan diam-diam menunduk, memikirkan rencana yang sekiranya akan memuluskan jalan Roose Abe duduk di kursi nomor satu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN