2

1812 Kata
"Di mana Agnia?" Woodie Lily menolehkan kepala, menunjuk hotel kelas empat yang berdiri kokoh di depan restauran tempat mereka bertemu. Lamia baru saja tiba. Dan dia hanya menemukan Lily duduk seorang diri tanpa kehadiran Agnia di sampingnya. "Dia di sana?" Lily mengangguk singkat. Dia mengaduk jus alpukatnya dan memandang aneka macam makanan ringan di depannya tanpa selera. "Dia sedang one night stand." Alis Lamia terangkat. "Ah, gadis b******k itu melakukannya lagi?" "Apalagi memang? Hidupnya digunakan untuk bersenang-senang." Lily memutar mata malas saat dia meraih buku filosofi di atas meja dan membacanya dalam diam. Lamia memberikan pelayan tips saat dia mengantarkan lemon dingin untuknya lebih cepat. Hampir setengah jam mereka menunggu. Sosok yang ditunggu melangkah santai keluar dari lobi hotel dan melambai manja ke arah mereka dengan senyum lebar. Tampilan Tulip Agnia dalam balutan dress mungil nyatanya membuat banyak pengunjung restauran terpukau. Gadis yang berprofesi sebagai akuntan di perusahaan swasta itu melenggang masuk ke dalam restauran dengan santai, tidak ada raut lelah yang tergambar di wajahnya seperti sehabis bercinta. "Berapa lama kau bermain?" Tulip Agnia mengerling pada Lamia. "Hanya dua jam dan dia sudah harus pergi karena ada urusan." Agnia mencomot kentang goreng milik Lily, dimana si empunya tengah menurunkan buku dari wajahnya, menatapnya datar. Lamia mengangguk pelan. Dia mengusap lengannya yang tiba-tiba terasa dingin ketika dia menolehkan kepala, menemukan Cornell Hiro dalam tampilan berantakan tampak terburu-buru berlari menuju mobil mewahnya yang terparkir dan segera melesat menjauhi area itu dengan kecepatan cukup tinggi. Lamia sempat terpaku selama beberapa menit setelahnya. Dia hanya diam. Terlebih ketika Agnia menggoda Lily yang kutu buku dan gadis bermata perak itu hanya mendengus dan menendang tulang kering Agnia sedikit kasar. "Siapa kali ini yang menjadi bahan pemuas napsumu?" Agnia menatap Lamia dengan senyum separuh. Senyum yang tidak sampai matanya. "Cornell Hiro." Lamia menunduk, menatap lemon dinginnya yang mulai mencair dimana terdapat es krystal di dalamnya. Dia menatap Agnia yang memandangnya bingung dan Lily yang menangkap sesuatu salah terjadi. "Ah, bagaimana dia di ranjang?" "Luar biasa. Dia hampir membuatku kewalahan. Hanya saja, permainan kami sebentar. Aku kurang puas. Dan dia bilang, dia akan kembali menghubungiku untuk menuntaskan hasrat kami yang belum sama-sama terpuaskan." Woodie Lily mendesis dalam suaranya. Dia sekali lagi menendang tulang kering Agnia agak keras untuk menjaga kontrol nada suaranya. Membuat orang-orang bisa mendengar obrolan vulgar mereka. Lamia tersenyum dingin. Tanpa sadar remasan tangannya pada lengannya semakin erat. Dengan santai, Lamia meminum lemon dinginnya di bawah tatapan Tulip Agnia yang menajam. "Kau punya hubungan dengan Cornell Hiro?" Alis Lamia terangkat naik. "Apa kau pernah melihatku berhubungan dengan pria semenjak kau dan aku duduk di bangku yang sama semasa menengah atas?" Tulip Agnia menghela napas. Dia menyerah. Kedua tangannya terangkat naik. "Oke. Kau benar. Lamia si mati rasa ini hanya sibuk memikirkan bisnis, bisnis dan bisnis. Bagaimana uangmu? Apa kau berhasil mengumpulkan pundi-pundi uang untuk kau timbun di pulau pribadimu?" Lily mendengus sekali lagi pada Agnia yang tersenyum manis ke arah Lamia yang tercenung. "Agnia." "Apa?" Lamia memberi Lily tatapan untuk menyuruhnya diam. "Kenapa? Kau merindukan pulau pribadi untuk bersenang-senang? Kau ingin aku mengajakmu berlibur lagi kesana?" Agnia tertawa pelan menyadari nada suara Lamia yang sinis padanya. Tetapi, dia tetap bersikap cuek dengan santai. "Tidak. Aku hanya bertanya. Impianmu sejak SMA adalah membangun pulau pribadi yang penuh dengan uang. Mengingat siapa dirimu dan bagaimana keluargamu, itu bukan pekerjaan sulit." "Apa, ya," Agnia memutar sendok pada jus jeruknya dengan alis tertekuk tajam. "Sifat ambisiusmu belum berubah, Lamia. Walau sudah lama berlalu. Aku tidak terkejut. Dan sekarang, kau banyak memimpin perusahaan milik keluarga bangsawanmu. Ini sama sekali membuatku cemas akan dirimu." "Kau tidak perlu membuat dirimu lelah hanya karena mencemaskan orang seperti aku." Tulip Agnia mendengus. Dia menatap Woodie Lily yang sejak tadi diam memandang mereka berdua bosan. "Lily, katakan pada teman merah mudamu untuk tidak terlalu kaku dan selalu mencintai pekerjaan. Uang tidak akan ada habisnya. Suruh dia berhenti dan melarikan diri ke Maldives untuk berlibur dengan jet pribadi." "Jika aku bisa, aku akan terbang dengan pesawat pribadiku ke surga. Lebih baik aku terdampar di dimensi yang berbeda ketimbang masih menghirup udara yang sama di bumi dengan mereka-mereka, si tikus gorong-gorong yang bau dan menjijikan." Tulip Agnia melegak tawa dengan bebas. Dan Lily mendengus. Menutup bukunya menahan senyum. "Astaga. Perumpamaan yang bagus. Tikus gorong-gorong? Yiks. Itu lebih bau dan menjijikan. Tempat mereka memang pantas ada di kasta paling bawah." "Para penjilat tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia mau." Woodie Lily menimpali dengan senyum dan Lamia mengedip padanya. Lamia tersenyum pada keduanya dan memiringkan kepala. "Aku berharap, ibu bos satu ini bisa memusnahkan mereka yang melakukan kelicikan dan kejahatan." "Oh, tentu saja. Aku bisa melakukannya." *** Tembang Missing milik Evanescence mengalun di dalam mobil Porsche yang sedang Lamia kendarai. Di tengah udara malam, saat Lamia mengemudikan mobil mewahnya dengan santai menuju rumahnya. Lima belas menit Lamia memutari jalanan kota dan dia sampai di jalan yang cukup sepi. Menatap lampu merah yang menyala, Lamia berpikir untuk berbuat nakal dengan menerobos lampu merah dan merasakan injakan pada pedal gas mobilnya terlalu dalam. Membuatnya terkejut kala dia menatap sosok malang yang melemparkan diri ke arah mobilnya dan membuatnya terlempar hingga sepuluh meter jauhnya. Kaca bagian depan mobil Lamia retak cukup berat dan Lamia membeku selama beberapa saat hingga tembang yang Evanescence mainkan samar-samar tidak lagi terdengar di telinganya. Lamia membuka pintu dengan bantingan kasar. Dia melangkah ragu saat dia menemukan sesosok mayat wanita tergeletak pasrah di atas jalanan aspal. Dengan leher yang patah dan seluruh tubuhnya penuh luka berat. Terutama luka yang ditimbulkan akibat kecelakaan. Lamia menutup mulutnya yang terbuka. Dia terkejut. Terlebih ketika dia berjongkok, menyentuh pergelangan tangan wanita itu dan mendapati tidak ada lagi napas yang tertinggal di dalam raganya. "Tidak. Aku tidak membunuhnya. Seseorang sempat membuatnya sekarat sebelum aku menabraknya.” Lamia lantas berdiri. Mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah dan tidak menemukan siapa pun di sana selain dirinya sendiri. Sosok itu membidik lensa kameranya dengan fokus pada raut panik Lamia dan mayat yang jatuh di atas jalanan aspal dengan luka mengerikan. Setelah mengambil gambar dengan posisi sempurna, sosok itu menurunkan kameranya. Tersenyum dingin pada mereka berdua sebelum akhirnya berlalu pergi menuju tempat persembunyiannya. Merogoh ponselnya, Lamia menekan nama yang sudah dia hapal dan pada dering kelima, telepon itu terangkat. "Kaza, lacak dimana GPS ponselku sekarang. Kau harus pergi untuk membereskan kekacauan ini sebelum polisi datang atau orang-orang akan menduga aku membunuh seseorang. Cepat!" Lamia membentak dengan suara tinggi saat dia berlari kembali ke mobilnya, memundurkan mobil itu dengan kecepatan sedang dan melenggang pergi meninggalkan mayat malang itu seorang diri. *** Agneli Lamia menunduk, menatap rok hitam selututnya dengan tatapan menilai sebelum dia mengangkat kepala dan pengawal kepresidenan memberi dia izin untuk masuk ke ruangan kaca yang sudah disiapkan. Di saat kedua calon kandidat presiden sedang menyapa ribuan rakyat yang datang memenuhi lapangan luas di dalam tubuh Tokyo. Lamia memejamkan mata. Dia menerima gelas yang berisikan air putih untuknya dari pelayan istana yang datang hanya untuk memberi jamuan bagi para tamu dan dua calon presiden yang tengah berbicara satu sama lain dengan tatapan bersahabat. Lamia mulai muak sekarang. Tidak Roose, tidak Cornell, semua sama. Lamia duduk di kursi putar. Mengamati mereka berdua tanpa perlu repot-repot mendampingi Cornell Hiro yang tengah berbicara sedikit tentang visi dan misinya jika terpilih. Lamia dan dirinya belum menikah secara resmi, dan dia datang kesini hanya dalam bentuk formal karena desakan orang tuanya dan orang tua Cornell Hiro yang akan datang sepuluh menit lagi untuk mendukung putra mereka. Tiba saatnya Roose Abe memberi sapaan singkat. Sama seperi Cornell Hiro, segala omong kosong yang Abe ucapkan juga membuat Lamia bosan. Dia mendengus lelah dan memainkan ponselnya ketika mendengar pintu kaca bergeser dan sosok dalam balutan jas hitam masuk dari luar pintu. Lamia mengangkat kepala. Menatap sosok itu dalam kilasan mata berlalu saat dia hanya mengangkat alis datar dan sosok laki-laki itu juga memandangnya tak berselera. "Tuan Nata." Lamia menolehkan kepala mendengar panggilan terburu-buru itu. Ah, namanya Nata? Roose Nata. "Tuan Kobe memintaku untuk membawa Anda bersama Tuan Abe turun." "Aku akan datang. Jangan bawa Abe lebih dulu. Dia belum selesai." Mata kelam Roose Nata melirik ke arahnya. Pada Lamia yang bertopang dagu bosan menatap langsung pada dirinya tanpa malu-malu dan tanpa tatapan kagum seperti kebanyakan gadis lainnya. Gadis itu hanya menatapnya jengah, tak berminat, juga tampak muak. Lamia menghela napas. Dia menolehkan kepala memandang punggung tegap Cornell Hiro saat dia melambaikan tangan dan berbalik masuk ke dalam ruangan. Terkejut menemukan calon istrinya sedang duduk menunggunya. "Agneli Lamia?" Cornell Hiro belum sempat menyapa saat Roose Abe lebih dulu merangsek maju, memberinya uluran tangan sebagai tanda sapaan ramah. "Senang melihatmu, Roose Abe." Lamia membalas uluran tangan itu dengan senyum yang tak sampai mata. Roose Abe mengangguk singkat. Dia mengedarkan pandangan dan menemukan Nata tengah menunggunya. Memberi kode dengan gelengan kepala untuk ikut dengannya turun ke lantai dasar. "Aku harus pergi. Sampai nanti. Senang bertemu denganmu, Agneli Lamia.” Lamia hanya mengangguk singkat dan dia membiarkan Roose Abe pergi. Berhadapan kembali pada sosok Cornell Hiro yang kaku dan tampak santai. Jelas saja. Cornell Hiro banyak memiliki pengalaman berhadapan dengan berbagai macam wanita beraneka sifat. "Lamia." Lamia memiringkan kepala mendapati Cornell Hiro berhasil memanggilnya dengan nama panggilan. "Salam, Tuan Cornell. Aku datang untuk melihatmu." "Aku tersanjung akan hal itu. Kau begitu baik mau meluangkan waktu sibukmu hanya untuk datang kemari." Kepala merah muda itu menggeleng. Lamia mengikat rambut panjangnya dengan ikat kuda lembut. "Itu akan menjadi tugasku di masa depan. Mendampingi kemana pun suaminya pergi. Aku sedang belajar sekarang." "Dan meninggalkan pekerjaan?" "Ada ayah yang mengurusnya. Usianya memang sudah renta, tapi untuk mengurus perusahaan lemah seperti itu, dia bisa mengatasinya." "Lemah?" Cornell Hiro menahan tawa. "Perusahaan lemah katamu? Aku baru tahu. Agneli Group hampir menguaRansom seluruh pasar Asia dengan baik dan dia unggul dalam berbagai bidang di samping darah bangsawan lama mengalir di dalam dirimu. Keluargamu konglomerat nomor satu di Jepang kalau kau melupakan fakta itu.” "Wow." Lamia menatap calon suaminya dengan pandangan tak percaya yang berbalut kesinisan nyata. "Aku terkejut kalau kau mampu menjabarkan keluargaku dengan rinci seperti itu, Tuan Cornell." Cornell Hiro mendengus tajam. Dia memandang Lamia dengan arti lain. Membuat Lamia balas menatapnya dan kemudian gadis itu menyerah. Lamia lantas berdiri. Mengalungi tas mahalnya saat dia mendekati Hiro dengan langkah anggun. "Bagaimana kalau kita keluar untuk makan siang? Sembari mengakrabkan diri di samping aku sendiri belum makan apa pun selain roti bakar di pagi hari." Cornell Hiro menatapnya sekilas. Kemudian, memberi anggukan kepala setuju saat dia meminta pengawal pribadinya untuk menyiapkan mobil untuknya mengemudi sendiri. Lamia menuruni anak tangga dengan langkah ringan ketika dia menyusul langkah calon suaminya menuju pelataran gedung. Dan menemukan Roose Abe tengah berbincang dengan salah satu mantan kabinet era Presiden Kara yang akan turun tahta sebentar lagi. Roose Nata mendengus pelan saat dia melirik Lamia yang menatapnya dingin, dan berlalu pergi seolah dia tidak pernah lakukan apa pun untuk berhenti dan sekedar memandangi Roose Nata dalam tatapan bingung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN