Part 1

1254 Kata
Haruskah aku melepasmu, padahal aku masih begitu mencintai? *** Sejak pertemuan di kantin waktu itu, aku kembali dekat dengannya, namanya--Axel, Aku memanggilnya kak Axel. Dia adalah seniorku di kampus, aku baru semester 2, dan dia semester 4 sekarang. Percaya atau enggak, pertama kali aku mengenalnya adalah lewat sebuah aplikasi online. Enggak perlu aku sebutin aplikasinya apa. Yang pasti itu terjadi sekitar dua tahun yang lalu. Awalnya kami chat biasa saja. Perkenalan kamipun terbilang sangat sederhana, enggak ada yang gimana-gimana ataupun istimewa. Aku masih ingat chat pertama kali ku sama kak Axel, bahkan aku mengingat semua yang pernah dia katakan padaku--semuanya. Lebay enggak sih. Wanita selalu mengingat, sekalipun itu cuma sekedar gurauan ataupun candaan, apa lagi kata-kata manis dari lelakinya, katanya. Namun menurutku, apa yang di katakan orang-orang tentang itu semua ada benarnya. Bukan cuma sekedar quotes tanpa melihat kenyataan. Semisal kata-kata yang pernah k*****a juga di salah satu sosial media. 'Jatuh cintanya online, sakit hatinya Real life.' Anjir ngena banget gak sih? Aku juga ingat pertama kali saat kita bertemu secara real life. Tepatnya setahun yang lalu, Aku juga enggak menyangka kalo ternyata kita kuliah di kampus yang sama, ini seperti sebuah kebetulan yang ajaib. Mengingat sebelumnya kami tidak pernah bertukar informasi tentang latar belakang kami. Semisal, tinggal dimana, kuliah di mana, jurusan apa. Tidak pernah sama sekali, kami hanya memberi informasi nama dan usia kami saja. Bahkan kami juga tidak saling bertukar foto. Meski begitu kami merasa cocok satu sama lain. Jelas ini takdir. ****** Langit senja terlihat indah sore itu, menghiasi cakrawala dengan siluet jingga kemerah-merahan yang menawan hati. Angin berhembus pelan menyentuh kulit wajahku juga rambut bergelombang ku yang sengaja ku ikat satu. Itu adalah gaya kesukaanku, kuncir ekor kuda. Katanya. Sore itu, aku sedang duduk di bangku taman dekat kampus menunggu seseorang dengan sedikit bosan. Sesekali aku melirik jam tangan hitam yang terlingkar manis di pergelangan tangan kananku. Dan untuk sekali lagi aku mendesah pelan. ini sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang di janjikan. Menunggu benar-benar pekerjaan yang paling membosankan. Apa lagi untuk orang yang enggak sabaran sepertiku. Oke, dua menit lagi, kalo enggak datang juga, fix aku pergi. Bahkan aku harus sampai sekeras ini pada diriku sendiri. Dua menit pun berlalu bagai kedipan mata. Tapi tak ada bayangan siapapun muncul di depan sana, apalagi tanda-tanda kehadirannya. Apakah cowok suka sengaja datang terlambat? Entahlah. Yang pasti rasa bosanku sudah mulai berubah menjadi rasa kesal dan harus ku lampiaskan. Akhirnya kaleng tak berdosa yang ada di dekat kakiku ini jadi sasarannya. Ku tendang ia sekuat tenaga. Pluk... "Augghh...!" Suara itu terdengar bersamaan. Suara kaleng yang mendarat entah kemana dibarengi suara mengaduh seseorang. MAMPUS... Sepertinya kalengnya mengenai dahi manusia, dan dia sudah berdiri dengan jarak dua meter di depanku. Aku belum berani mendongakkan kepala untuk melihatnya. "Ma--af..." Suaraku seperti tercekat di tenggorokan, bersaman dengan degup jantungku yang seolah berlompatan. Mataku hanya bisa melotot menatapi ujung sepatunya. Aku benar-benar merasa tercekik oleh udara di sekitarku. "Hai... Kamu Vaya bukan?" Sapanya, membuat pandanganku terpaksa menjalar ke atas dan akhirnya menatap wajahnya Ku lihat pelipisnya sudah mulai mengeluarkan darah. "Hai... Gue Axel, sorry ya kalo udah bikin Lo nunggu lama." Aku tercengang di tempat. Ternyata seperti inilah wujud seorang Axel yang ku tunggu sejak tadi. Dia seperti malaikat tanpa sayap. Maaf jika aku suka berlebihan. Tapi dia memang terlihat tampan menurut versiku. Wajahnya yang teduh, emm... Ralat-- lebih tepatnya kalem. Aku menyukai wajah yang seperti itu, di tambah lagi dengan senyumnya yang menawan. Bahkan sangat-sangat menawan. "Maaf, ya ... tadi gue enggak sengaja." Kataku dengan perasaan bersalah. Apa lagi yang bisa ku lakukan selain minta maaf? Enggak mungkin kan? Bakal ada adegan aku ngasih plaster ke sang cowok kayak di film-film romantis itu? Apalah aku ini, cuma seorang gadis ceroboh, jangankan plaster, bolpoint saja aku sering ketinggalan. Dan untungnya otakku nempel di kepala. Coba bayangin kalo tidak? "Nggak apa-apa, cuma luka kecil." Ia menunjuk pelipisnya lalu tersenyum. Senyum yang akhirnya membuatku bisa bernafas lega. Padahal sejak tadi lutut ku sudah gemetaran. Aku takut dia marah, dan lebih parahnya akan menuntut ku. Namun satu senyuman yang terbit di bibirnya, seketika mengubah pandangan ku. Senyum lagi dong.... Rasanya aku jadi malah ketagihan dengan senyum itu. Senyum dengan menampilkan dua lesung Pipit di kedua pipinya, dan garis mata yang menyembunyikan bola matanya yang sipit ketika bibir itu tertarik ke atas. Satu kata untuknya. Imut. "Nah... Udah ketemu kan?" "Iya." Aku terkesiap dengan bibir mengatup, setelah ku sadari sejak tadi mulutku menganga, dan mataku menatapnya tanpa berkedip. Dia malah tersenyum lagi, pasti dia merasa lucu dengan wajahku yang benar-benar terlihat bodoh saat itu. Atau bahkan aneh. Tapi ... yasudahlah. ****** TOK...TOK...TOK... "Woy..., banguuunnn, jangan pura-pura tidur woy!" Ketukan pintu yang di barengi suara melengking itu berhasil membangunkan ku yang masih meringkuk di bawah selimut. Yang juga masih asik menjelajahi mimpi-mimpi di negri antah berantah. Aku menghela nafas kasar. Aku tahu itu suara ibu Kost. Entah mengapa beberapa hari ini beliau begitu perhatian, begitupun pagi ini. "Vay..., bangun!" Suara dari balik pintu itu mulai tidak sabaran. "Iya..., bentar! Ini juga mau bangun kok!" Kataku tak jelas, Padahal aku sangat malas untuk bangun pagi ini, apalagi harus mendengarkan ceramah darinya lagi. aku tahu, aku sudah menunggak bayar sewa uang kost dua bulan ini. Bukannya mau menghindar. Tapi aku benar-benar sedang enggak ada uang. Buat makan pun aku harus sangat-sangat irit, aku enggak mungkin minta sama orang tuaku kan? Ah... Jangan bahas mereka sekarang. "VAY...!!!" Suara itu terdengar semakin kesal, "Kalo nggak keluar sekarang juga, beresin barang-barang lo, dan angkat kaki sekarang juga!!!" "Oke, nggak masalah!" Ku harap beliau tak mendengarnya. Dan untungnya itu hanya gumaman. Andai saja aku bisa sungguhan berkata demikian. Tapi sayangnya... Tidak. "VAY...!!!" Seruan itu benar-benar makin menggelegar, di iringi pula dengan gedoran pintu yang lebih keras. Oke fix, itu lebih mirip suara singa yang sedang mengamuk. Sepertinya aku tidak bisa menghindar lagi kali ini. Kriekkk... Ku buka pintu perlahan, dengan berlagak bodoh ku pasang cengiran tanpa dosa. Wanita paruh baya yang ada di hadapanku ini, menatapku bagai singa lapar yang siap menerkam mangsa. "Maaf, Tante, Vay belum ada uang, belum dapat honor dari nulis artikel, lagi sepi orderan juga, hehe!" Ku garuk tengkukku yang sebenarnya tak gatal sambil cengengesan. "Bodo' amat, gue nggak mau tahu, lo bilang mau bayar hari ini, mana janjinya, jangan janji manis doang Lo, ujung-ujungnya cuma PHP." Wah... Korban PHP nih kayakanya. "Beneran,Tan. Vay lagi nggak ada duit. Kalo bulan depan aja gimana?" Tawarku dengan alis terangkat. Di matanya aku pasti adalah gadis yang menyebalkan, bagaimana bisa aku menawarkan hal seenak jidat begitu? Tante Bule masih terdiam. Nafasnya terlihat naik turun menahan emosi. Aku memanggilnya Tante bule karena rambut wanita itu di cat pirang. Tapi kalo mukanya sih 'b' aja. Muka asli Indonesia. Aku berharap beliau akan setuju dan masalah ini cepat selesai, aku sedang ada di situasi lebih baik mati daripada berkalang bangkai. Mau di taruh dimana mukaku ini? Saat anak-anak kost lain malah asik menonton adegan dramatis ini. Bagus, aku malah jadi kepikiran untuk membuat satu judul sinetron yang mungkin akan fenomenal, anak kost yang malang di omelin ibu kost yang kejam. Eh... "Yaudah, gue kasih waktu sampai bulan depan. Tapi kalo lo masih kayak gini, PHP doang. Dengan sangat terpaksa lo harus angkat kaki dari sini!" Seketika tenggorokanku tercekat. Aku menelan Saliva dengan susah payah. Vay...Lo dalam masalah besar. Duit darimana coba... "Catat itu baik-baik, Jangan iya-iya doang!" Untuk sekali lagi beliau memperingatkan. "Iye..., iye...," Jawabku asal, sontak matanya melotot, dan untuk sekali lagi aku menghadiahi beliau cengir kuda. Kan tadi katanya..., enggak boleh jawab iya...iya... Hehe Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN