BAB 1 — MAWAR BERDURI DI BALIK LELANG
Cahaya lampu kristal berkilau di langit-langit aula besar itu. Denting gelas sampanye bercampur dengan bisikan para tamu, menyelimuti ruangan dengan aura mewah sekaligus mencekam. Malam itu bukan pesta biasa. Di balik gaun elegan para wanita bangsawan dan jas mahal para pria berpengaruh, terselip nafsu paling primitif: membeli manusia.
Hazel berdiri di balik tirai tebal berwarna merah marun. Jemarinya yang mungil mencengkeram erat kain tipis gaunnya, seolah itu satu-satunya pelindung dari tatapan buas yang menantinya. Gaun sutra hitam yang menempel di tubuhnya bukan pakaian, melainkan rantai yang membungkus kebebasannya. Malam ini, ia bukan mahasiswi, bukan manusia—ia adalah barang dagangan.
“Aku… hanya barang,” bisiknya dalam hati, mencoba menahan gemetar. Namun di balik bisikan itu, ada bara kecil yang menolak padam. Api dendam yang ia pupuk sejak bertahun-tahun.
Seorang pria berbadan besar berdiri di sampingnya, pengawal keluarga Alagar. Senyumnya sinis saat menatap Hazel.
“Kau sebaiknya bersyukur. Banyak wanita ingin berada di posisimu. Hanya sedikit yang bisa jadi tontonan di panggung lelang Alagar.”
Hazel mendongak, menatapnya dengan mata basah tapi tajam.
“Bersyukur? Untuk apa? Menjadi mainan pria yang membayar paling mahal?”
Pengawal itu terkekeh pelan. “Kalau bukan karena darah keluarga, kau takkan berharga sepeser pun. Ingat itu, boneka.”
Hazel terdiam. Kata boneka selalu jadi pengingat betapa hina statusnya di keluarga itu. Namun kali ini, bibirnya tersenyum tipis—pahit, getir, tapi juga penuh tekad. Aku memang boneka… tapi malam ini, aku akan ingat wajah siapa pun yang mencoba memiliku. Mereka akan menyesal.
Di tengah aula Bagaskara Alagar, kepala keluarga itu, duduk di kursi kehormatan. Di sampingnya ada Saphira, istrinya yang angkuh, dan putri sulung mereka, Zamora Hia Alagar.
Hia duduk dengan gaun merah darah, sepasang mata elang mengamati panggung yang masih tertutup tirai. Sejak kecil ia tumbuh dengan rasa benci pada Hazel. Baginya, adik tiri itu hanyalah noda yang seharusnya dihapuskan sejak lama. Tapi malam ini, ia akan puas. Hazel akan dijual, dilecehkan, dan lenyap sebagai manusia.
Namun, ketenangan Hia pecah ketika pintu aula terbuka.
Seorang pria memasuki ruangan dengan langkah tenang namun berwibawa. Jas hitamnya rapi, dasi gelap melingkar di leher, wajahnya tegas, dan sepasang mata tajam bagai pisau menyapu kerumunan.
Bisikan lirih langsung terdengar dari tamu-tamu.
“Itu dia… Aginos Falcone.”
“Ketua besar keluarga mafia Italia…”
“Orang itu ibarat singa. Tak ada yang berani melawannya.”
Hia menegakkan tubuh, matanya membesar. Ia pernah mendengar nama Falcone ribuan kali, bahkan membayangkan sosok kejam, pria menjijikkan, haus perempuan, penuh darah. Tapi ia tidak menyangka, pria itu begitu… tampan. Wibawanya memancar, auranya membuat seisi ruangan tunduk tanpa perlu ia bicara sepatah kata pun.
“Kau pasti bercanda,” gumam Hia lirih, jemari mencengkeram gelasnya. “Pria itu… lebih memikat daripada cerita yang kudengar.”
Saphira menyadarinya, melirik putrinya. “Jangan melamun, Hia. Dia datang bukan untukmu. Dia datang untuk menjatuhkan kita.”
Hia mengepalkan tangan. Api cemburu dan marah mulai menyala. Kalau pria seperti itu menginginkan Hazel… aku tidak akan memaafkannya.
---
Aginos Falcone. Pria itu berjalan melewati lorong tamu, diiringi dua pengawal setia. Tatapannya dingin, menghunjam siapa pun yang mencoba menatap balik. Saat ia duduk di barisan depan, suasana ruangan seolah membeku.
Pelayan segera menyuguhkan sampanye, tapi Aginos hanya mengangkat tangannya tipis. Ia tidak butuh minuman untuk menunjukkan statusnya. Kehadirannya saja sudah cukup membuat semua kepala keluarga mafia Eropa waspada.
Seorang tamu memberanikan diri menyapa.
“Tuan Falcone, kami tidak menyangka Anda hadir malam ini.”
Aginos melirik sekilas, lalu tersenyum tipis. “Kenapa tidak? Katanya ada barang langka yang ditawarkan. Aku selalu penasaran dengan benda langka.”
Nada bicaranya tenang, tapi menyimpan ancaman. Ia tidak menyebut Hazel sebagai manusia—melainkan barang. Kalimat itu membuat semua terdiam, tapi juga memicu rasa ingin tahu.
***
Tirai panggung mulai terangkat perlahan. Sorot lampu fokus pada sosok Hazel. Gaun hitamnya berkilau samar, rambutnya dibiarkan terurai, wajahnya pucat namun indah.
Para tamu berbisik kagum.
“Cantik sekali…”
“Dia tampak berbeda, ada aura liar di matanya.”
“Tak heran Alagar menjadikannya pusat lelang.”
Hazel melangkah dengan gemetar kecil. Namun, saat ia berdiri di tengah panggung, matanya menatap lurus ke kerumunan. Bukan tatapan pasrah, melainkan tatapan menantang, seolah berkata. Siapapun yang mencoba membeli ku, aku akan mengingat wajahmu, dan aku akan menuntut balas.
Tatapan itu jatuh tepat ke arah Aginos Falcone.
Aginos sempat mengangkat alis. Bibirnya membentuk senyum samar—senyum meremehkan.
“Menarik…” gumamnya pelan, hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Pengawal di sampingnya berbisik, “Apa Anda ingin saya menaikkan tawaran, Tuan?”
Aginos meneguk napas pelan. “Belum. Biarkan mereka bersenang-senang dulu. Aku ingin tahu, siapa yang berani menawar lebih tinggi dariku.”
Hia yang duduk di kursi kehormatan menggertakkan gigi. Ia melihat jelas bagaimana tatapan Hazel tertuju pada Aginos, dan bagaimana pria itu merespons dengan senyum sinis.
Tidak… Tidak mungkin! batinnya. Hazel tidak pantas mendapat perhatian dari pria sekelas Falcone. Aku, Zamora Hia Alagar, lebih layak…!
Bagaskara, sang ayah, menoleh pada putrinya. “Tenanglah. Kita akan mendapat banyak keuntungan malam ini.”
“Tapi Ayah…” Hia hendak membantah, namun tatapan tajam Saphira membuatnya bungkam.
MC naik ke panggung, berdiri di samping Hazel. Suaranya lantang memenuhi aula.
“Hadirin sekalian, malam ini keluarga Alagar dengan bangga mempersembahkan koleksi paling berharga kami—Alseana Hazel Zielle. Cantik, muda, dan… murni.”
Suara tawa rendah terdengar dari beberapa tamu. Hazel menggertakkan gigi, tapi tetap menegakkan kepala. Ia menolak menangis di hadapan mereka.
“Baiklah, kita mulai dengan tawaran seratus ribu euro!”
Seorang pria di barisan tengah langsung mengangkat tangan. “Seratus lima puluh ribu!”
“Dua ratus ribu!” sahut yang lain.
“Dua ratus lima puluh!”
Suara tawaran bertubi-tubi membuat Hazel merasa mual. Setiap angka bukan hanya nilai, melainkan simbol seberapa rendah harga dirinya di mata dunia ini.
Namun di barisan depan, Aginos Falcone hanya duduk diam, menatap Hazel dengan tatapan dingin bercampur rasa penasaran. Senyumnya samar, seolah ia sedang menunggu waktu tepat untuk mengaum.
***
“Dua ratus lima puluh ribu euro! Ada yang lebih tinggi?”
Suara MC bergema di aula, membuat semua pasang mata terarah ke Hazel di panggung.
Hazel menarik napas panjang, mencoba menjaga keseimbangan. Ia tahu setiap detik di atas panggung adalah penghinaan. Tapi tatapannya tetap keras, terutama ke satu arah—pria dengan jas hitam, yang sama sekali belum ikut menawar.
Pria itu, Aginos Falcone.
Seorang mafia asal Prancis mengangkat tangannya dengan bangga.
“Tiga ratus ribu!”
Seisi ruangan bersorak kecil, menikmati permainan.
Seorang lain menimpali, “Tiga ratus lima puluh!”
“Empat ratus!”
Hazel mendengar angka-angka itu seolah palu yang menghantam dadanya. Berapa harga seorang manusia? batinnya getir. Namun dalam hatinya, ia menolak menyerah. Setiap tatapannya, ia pastikan tajam, menolak jadi boneka pasrah.
MC tersenyum puas. “Empat ratus ribu euro! Apakah ada yang ingin menaikkan lebih tinggi?”
***
Aginos Falcone masih belum bicara. Ia duduk dengan punggung tegak, satu tangan memainkan gelas sampanye yang belum diminumnya.
Pengawalnya berbisik, “Tuan, tawarannya sudah naik cepat. Anda tidak berniat—”
Aginos mengangkat tangan, membuat pengawalnya diam. Pandangannya tetap tertuju pada Hazel, meneliti setiap gerakan kecil gadis itu.
“Lihat matanya,” gumamnya pelan. “Dia tidak menangis… tidak meratap. Seperti seekor kucing liar yang siap mencakar siapa pun.”
Pengawal itu menelan ludah. “Anda tertarik?”
Senyum tipis muncul di wajah Aginos. “Tertarik? Bukan. Tapi… aku ingin tahu, siapa yang berani menantangku malam ini demi gadis itu.”
Dari kursi kehormatan, Hia menggertakkan gigi. Hazel jelas menatap ke arah Falcone, bukan ke tamu lain. Bahkan Aginos terlihat memperhatikan adik tirinya.
“Menjijikkan…” desis Hia, suaranya hampir tak terdengar. “Seorang boneka b***k berani menarik perhatian pria sekelas Falcone? Tidak bisa… tidak boleh!”
Saphira meliriknya. “Tenang, Hia. Falcone mungkin hanya ingin mempermalukan kita. Jika ia benar-benar menginginkan Hazel, itu akan jadi masalah… tapi kita bisa manfaatkan.”
“Aku tidak peduli politiknya, Ibu!” Hia memukul sandaran kursinya dengan marah. “Aku tidak akan membiarkan Hazel mendapatkan sesuatu yang seharusnya jadi milikku.”
Seorang pria botak dari Rusia berteriak, “Lima ratus ribu euro!”
Suara riuh kembali menggema. MC bersorak, “Lima ratus ribu! Tawaran besar! Ada yang lebih tinggi?”
Hazel menunduk sesaat, hatinya mencelos. Angka itu lebih besar dari harga rumah megah di kota. Itu artinya ia bukan manusia lagi, melainkan barang mewah.
Namun, ketika ia mendongak lagi, tatapannya kembali menantang. Matanya bertemu langsung dengan mata Aginos Falcone.
Hazel berkata dalam hati. Kau tidak lebih baik dari mereka. Kau pun hanya pria serakah.
Aginos membalas dengan senyum samar, seolah membaca isi kepalanya. Kau berani menatapku begitu? Menarik…
MC hampir menutup tawaran di angka lima ratus ribu, ketika suara dalam, dingin, dan penuh wibawa terdengar.
“Sejuta.”
Seisi ruangan terdiam.
Aginos Falcone tidak berteriak. Ia hanya menyandarkan punggung, meletakkan gelasnya di meja, dan melontarkan angka itu dengan tenang. Tapi justru ketenangan itulah yang menghantam lebih keras dari teriakan.
“Se—sejuta euro?!” MC terbelalak, lalu segera mengulang, “Sejuta euro dari Tuan Falcone!”
Bisikan panik pecah di antara tamu.
“Gila… angka itu dua kali lipat!”
“Tidak ada yang berani melawan Falcone.”
“Kalau dia sudah bicara, permainan selesai.”
Hazel merasakan tubuhnya melemas. Sejuta euro. Angka itu menghancurkan sisa kecil harga dirinya. Namun, matanya masih menatap pria itu dengan amarah.
Mafia Prancis yang sebelumnya menawar memberanikan diri.
“Satu koma satu juta!” katanya dengan suara bergetar.
Seisi ruangan tersentak.
Aginos menoleh pelan ke arahnya. Tatapan matanya tajam, menusuk. Senyum tipis terukir di bibirnya.
“Kau serius? Berani menawar di atasku?”
Pria Prancis itu tercekat, wajahnya memucat. “A… aku hanya…”
Aginos mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah tapi penuh ancaman.
“Kalau aku menginginkan sesuatu, tidak ada yang boleh menyentuhnya. Bahkan kalau kau punya seluruh emas dunia, kau tetap takkan bisa membelinya.”
Ruangan terdiam. Pria Prancis itu menelan ludah, lalu menunduk, mundur tanpa berani menambah tawaran lagi.
MC tersenyum canggung. “Baiklah… satu juta euro! Apakah ada tawaran lebih tinggi?”
Tidak ada yang berani bicara.
Hazel menegakkan tubuh. Ia tahu hidupnya resmi jatuh ke tangan pria itu. Tapi bukannya runtuh, ia justru mengangkat dagunya, menatap Aginos dengan mata berapi.
Aginos memperhatikan tatapan itu dengan penuh minat.
“Seperti yang kuduga… kau bukan boneka biasa.”
Hazel tidak bisa mendengar gumamannya, tapi ia bisa membaca gerak bibirnya. Itu membuatnya makin muak.
Dalam hati, Hazel berjanji. Kalau kau menyentuhku, Aginos Falcone… aku akan mengingatnya. Dan aku akan melawan.
Hia Terbakar. Hia tidak tahan lagi. Ia berdiri mendadak, membuat beberapa tamu menoleh.
“Ayah! Ini penghinaan! Hazel dibawa pergi oleh orang itu, aku tidak menyukainya!”
Bagaskara berusaha menenangkannya. “Duduklah, Hia. Falcone lebih kuat dari kita. Menolak dia berarti bunuh diri.”
“Tapi—!”
Saphira mencengkeram tangan putrinya. “Diamlah. Kau akan membuat keluarga kita tampak lemah.”
Hia menatap Hazel di panggung dengan kebencian membara. Kau akan menyesal, Hazel. Aku akan pastikan hidupmu di tangan Falcone jauh lebih buruk daripada di sini.
MC mengangkat tangannya.
“Tidak ada tawaran lebih tinggi! Dengan ini, Alseana Hazel Zielle resmi menjadi milik Tuan Aginos Falcone, dengan harga… satu juta euro!”
Sorak-sorai, tepuk tangan, dan gelas yang saling beradu memenuhi ruangan.
Hazel hanya berdiri kaku. Tubuhnya dingin, jiwanya seolah ditarik keluar. Namun tatapan matanya tetap sama—keras, penuh api.
Aginos bangkit dari kursinya, berjalan perlahan ke arah panggung. Senyum sinisnya menghiasi wajah tampannya.
“Kau milikku sekarang,” katanya pelan begitu tiba di hadapan Hazel. “Mari kita lihat… apakah tatapan itu akan tetap sekuat ini setelah kau berada di tanganku.”
Hazel menelan ludah, menatapnya balik tanpa gentar. “Aku tidak akan pernah jadi milik siapa pun.”
Aginos tertawa kecil, nada suaranya rendah, seperti raungan predator yang baru menemukan mangsanya.
***
Hazel nyaris tak mendengar tepuk tangan dan sorak sorai yang menggelegar di aula. Semua suara itu teredam, seolah hanya ada satu hal yang nyata—tatapan Aginos Falcone.
Pria itu berdiri di hadapannya, tinggi, tegap, dengan sorot mata yang tak bisa ditolak. Aura kepemilikannya begitu pekat, seakan seluruh ruangan tunduk padanya.
Hazel mengeraskan rahangnya. “Aku bukan barangmu,” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.
Namun Aginos tersenyum samar, cukup bagi bibirnya untuk melengkung dengan kesombongan khas predator.
“Kau sudah dijual, Nona Zielle. Dunia tidak peduli apa yang kau rasa. Mereka hanya tahu, sekarang kau milikku.”
Para tamu masih bertepuk tangan, bersulang, sebagian menyalami Bagaskara. “Selamat… keluarga kalian tidak lagi menanggung beban gadis itu,” kata mereka dengan sinis.
Hazel mendengar setiap bisikan, setiap tawa yang menusuk harga dirinya. Tapi yang paling melukai bukan itu. Melainkan tatapan puas Hia dari kursi kehormatan.
Hia bersandar, senyum liciknya terpahat jelas. Pergilah, Hazel. Rasakan neraka dalam genggaman Falcone. Aku akan menontonmu hancur perlahan.
Aginos menoleh ke pengawalnya. “Bawa dia ke mobil. Aku tidak suka berlama-lama di tempat ini.”
Hazel menatapnya dengan amarah. “Aku bisa berjalan sendiri.”
Aginos mengangkat alis, seolah terhibur. “Berani bicara? Bagus. Aku lebih suka mangsaku punya gigi. Tapi jangan lupa… aku selalu lebih besar.”
Pengawal mendekat, namun Hazel melangkah duluan, menghentakkan tumitnya dengan keras. Tatapannya menolak kalah.
Sorak sorai tamu mengikuti langkah mereka keluar. Bagi sebagian orang, ini tontonan menghibur—melihat gadis keras kepala dijinakkan oleh raja mafia.
***
Limusin hitam menunggu di depan. Hazel didorong masuk, tapi ia tetap menegakkan kepala.
Di dalam, suasana gelap. Hanya lampu redup yang menerangi wajah Aginos yang duduk di seberangnya.
Ia membuka kancing jas bagian atas, menyandarkan tubuh santai, lalu menyalakan cerutu. Asap tipis mengepul, melingkari wajahnya yang dingin.
Hazel menatap lurus. “Kau pikir aku akan menunduk padamu?”
Aginos meniupkan asap perlahan, lalu terkekeh rendah. “Kau membuatku semakin penasaran. Semua gadis lain menangis, berlutut, atau pingsan di panggung itu. Kau… justru menantangku dengan mata seperti api.”
“Karena aku bukan mereka.”
Senyum Aginos semakin lebar. “Benar. Kau berbeda. Itu sebabnya aku memilihmu.”
Hening sesaat. Mobil melaju melewati jalanan gelap, meninggalkan mansion Bagaskara.
Hazel akhirnya bertanya, suaranya penuh kecurigaan. “Kenapa kau mau membayar sejuta euro untukku? Kau bisa punya siapa saja.”
Aginos menatapnya dalam-dalam, lalu menjawab dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan maut.
“Karena aku tidak suka ada sesuatu yang berani menantangku… tanpa izin. Kau menatapku seolah aku bukan siapa-siapa. Itu menarik. Dan aku ingin tahu… berapa lama kau bisa bertahan sebelum kau sendiri yang menyerahkan segalanya padaku.”
Hazel merinding. Bukan karena takut, tapi karena intensitas pria itu begitu pekat. Seperti jaring laba-laba yang perlahan melilit tubuhnya.
Sementara itu, di mansion, Hia menghantam cermin di ruang pribadinya hingga retak. “Tidak bisa! Hazel tidak boleh menangkap perhatian Falcone!”
Saphira masuk dengan wajah tegang. “Hia, kau harus tenang. Kita bisa menggunakan keadaan ini. Kalau Hazel jatuh di tangan Falcone, cepat atau lambat dia akan hancur. Dan ketika itu terjadi, kau akan tetap jadi pewaris yang bersinar.”
“Aku tidak mau menunggu! Aku ingin dia lenyap sekarang!” Hia memekik, matanya merah. “Kalau perlu, aku sendiri yang akan menyeretnya ke neraka!”
Saphira menatap putrinya dalam-dalam. “Kalau begitu… kita akan cari cara. Falcone mungkin kuat, tapi tidak ada pria yang kebal dari racun seorang wanita. Bahkan dia pun bisa dijatuhkan.”
***
Aginos mematikan cerutunya, lalu maju sedikit. Jarak antara dirinya dan Hazel menyempit. Asap dari cerutu nya ia hembuskan tepat di depan wajah Hazel, gadis itu hanya memejamkan mata menahan nafas, tenggorokannya tercekat. Namun tak gentar.
“Dengar, Nona. Dunia di luar sana bukan dongeng. Kau bisa melawan sekuat apapun, tapi pada akhirnya, hanya ada dua pilihan, tunduk… atau hancur.”
Hazel membuka mata balas mencondongkan tubuhnya, masih menatap tanpa gentar. “Kalau begitu, aku akan memilih pilihan ketiga.”
Alis Aginos terangkat. “Pilihan ketiga?”
Hazel menegakkan dagu. “Aku akan bertahan hidup. Dengan caraku sendiri.”
Aginos terdiam, lalu tiba-tiba tertawa keras. Tawa dingin, nyaring, yang membuat Hazel makin menegang.
“Hebat… benar-benar hebat. Kau akan membuat malam-malamku jauh lebih menarik, Nona Zielle.”
Mobil berhenti di depan gerbang besi hitam yang menjulang tinggi. Kamera keamanan berputar mengikuti, lalu pintu otomatis terbuka perlahan.
Hazel menatap keluar jendela—sebuah mansion megah berdiri di tengah kegelapan, tampak seperti sarang predator.
Aginos menatap ke arah rumahnya, lalu kembali pada Hazel.
“Selamat datang di duniamu yang baru. Di sini, kau akan menemukan hal baru yang mungkin membuatmu ingin menyerah."
Hazel mengepalkan tangan di pangkuannya, matanya menyala. Kalau ini neraka, maka aku akan jadi api yang membakarnya dari dalam.
Pintu mobil terbuka, dan malam itu menjadi awal dari perang sunyi antara sang predator dan mangsanya.