Meminta Pertolongan
"Berikan minuman ini pada dia!" Suara Natasha meluncur seperti pisau tajam, menusuk udara malam yang sarat dengan denting gelas kristal dan tawa semu.
Matanya, sehitam obsidian, menatap tajam ke arah Sandra yang tengah mengobrol di antara kilauan lampu-lampu mewah di aula The Golden Hotel.
Di sana, kemewahan pesta ulang tahun kampus membaur dengan kecanggihan dekorasi, membungkus malam itu dengan aroma melati dan ambisi yang tak terucap.
Di sudut ruangan, Natasha menggenggam segelas wine seperti seorang ratu yang siap menjatuhkan pion terakhir di papan catur.
Namun, malam ini, pion itu bukanlah sembarang bidak. Ia adalah Sandra—istri sah Gery. Cinta Natasha pada Gery adalah api yang menggerogoti akal sehatnya, melahap setiap sisa moral yang pernah ia miliki.
"Minumnya, Mba. Silakan!" suara pelayan hotel terdengar lembut, hampir seperti bisikan malaikat yang berbalut dosa. Gelas itu, dengan cairan berkilau seperti emas cair, berpindah tangan kepada Sandra.
"Terima kasih," ucap Sandra dengan senyum hangat, tanpa tahu bahaya tengah bersembunyi di balik kilau cairan yang ditawarkan padanya. Cairan itu mengalir melalui tenggorokannya seperti sungai kecil yang jernih, menyegarkan sekaligus memikat. Namun, di dalamnya, racun berbentuk cinta terlarang Natasha mulai bekerja, perlahan namun pasti.
Panas. Tubuh Sandra terasa seperti tengah terbakar dari dalam. Setiap detak jantungnya berirama seperti drum perang, keras dan mendesak. 'Kenapa badanku terasa panas?' pikirnya, tangan menggenggam meja dengan erat. Peluh mulai bermunculan di pelipisnya, seperti embun pagi yang terusir oleh matahari siang.
Ketika matanya bertemu dengan Gerald, harapannya adalah setitik cahaya di tengah lautan gelap. "Gerald. Tolong aku, aku mohon," katanya dengan suara yang bergetar, penuh kepanikan dan kerentanan. Dalam sekejap, Gerald ada di sisinya, aroma mint dari tubuhnya seakan menjadi oasis bagi Sandra yang hampir tenggelam dalam badai gairah.
"Profesor Sandra kenapa?" tanyanya, suaranya penuh nada khawatir yang tak mampu disembunyikan.
"Ada yang memasukkan sesuatu ke minumanku," ucap Sandra terputus-putus, nafasnya tersengal seperti burung kecil yang terperangkap di jaring. Mata mereka bertaut, sebuah tarikan magnetis yang tak bisa dijelaskan dengan logika sederhana.
Gerald, dengan keputusan mendadak yang tak terduga, mengambil gelas yang dimaksud. Ia menatap Sandra sejenak, matanya penuh arti yang dalam, sebelum meneguk sisa minuman itu tanpa ragu. Sandra tertegun, matanya melebar. "Gerald, apa yang kamu lakukan?"
"Agar suhu tubuh kita sama," jawabnya dengan nada rendah, hampir seperti bisikan. Napasnya hangat di udara dingin ruangan itu, seperti angin malam yang membawa pesan rahasia. "Aku belum pernah melakukannya, Sandra," lanjutnya, suaranya bergetar oleh sesuatu yang lebih dari sekadar rasa sayang.
Malam itu, di bawah kelam langit yang menyimpan ribuan rahasia, Gerald membawa Sandra ke apartemennya. Bukan hanya untuk "menuntaskan," tetapi juga untuk memulai cerita baru yang berkilau di tengah kesalahan dan rasa cinta yang tak bertepi.
“Kita mau ke mana, Gerald?” suara Sandra lirih, bergetar seperti daun yang tersentuh angin malam, mencoba melawan panas yang menguasai tubuhnya.
“Apartemenku,” jawab Gerald singkat, namun setiap kata yang terucap mengandung ledakan gairah yang membara, nyaris tak terkendali. Tubuhnya, seperti kawah yang mendidih, bergolak akibat efek dari minuman terkutuk itu, meskipun hanya meneguk sedikit.
Sial! Lampu lalu lintas menyala merah, memaksa mobilnya berhenti. Dalam kekesalan yang bercampur dengan hasrat yang memuncak, Gerald menarik Sandra ke arahnya, meraup bibir perempuan itu dalam ciuman yang penuh gejolak. Tangannya, tak lagi peduli pada batas, menyusuri tubuh Sandra yang membara. Erangan kecil darinya menjadi api yang menyulut kegilaan Gerald.
Klakson kendaraan di belakang mereka membahana seperti tuntutan dari dunia nyata, namun malam ini dunia itu terasa jauh. Gerald kembali menginjak pedal gas dengan tangan yang gemetar, mengantarkan mereka ke tempat di mana batas dosa dan keinginan akan diuji.
Sampai di apartemen, Gerald menatap Sandra yang berdiri di hadapannya. Tubuh perempuan itu telah terbebas dari pakaian, menyisakan kulitnya yang berkilau oleh keringat, seperti patung marmer yang hidup, penuh keindahan namun juga memancarkan ketidakberdayaan.
“Sandra, kamu yakin?” tanya Gerald dengan suara rendah, penuh keraguan namun sarat dengan harapan. Matanya, penuh gairah namun juga dihantui oleh rasa bersalah, menelusuri wajah perempuan yang begitu ia cintai sejak bertahun-tahun lalu.
Sandra mengangguk pelan, bibirnya gemetar. “Gerald... Sejak dulu, kamu selalu ada untukku. Kenapa sekarang kamu tidak bisa? Aku tahu banyak pria lain yang bisa aku mintai tolong, tapi hati ini... hati ini hanya ingin kamu. Gery? Dia tidak ada di rumah. Aku bahkan tidak tahu dia di mana.” Sandra menghela napas berat, matanya memohon, tubuhnya menggigil oleh panas yang menyiksanya. “Aku bisa mati, Gerald, kalau harus menahan ini lebih lama...”
Gerald menggelengkan kepala dengan frustrasi, memalingkan wajahnya sejenak, seolah mencari jawaban dari kegelapan malam di luar jendela. “Kamu bisa menelepon Gery. Dia suamimu. Bukankah seharusnya dia—”
“Tidak ada waktu, Gerald!” seru Sandra, memotong ucapannya. Mata perempuan itu bersinar, bukan karena cinta, tetapi karena kepasrahan yang menyakitkan.