3. Sebuah Ancaman

2136 Kata
"Aku yang pernah kamu buang, kini kembali untuk membuat perhitungan. Akan ada masa di mana kamu bakal nangis darah melihat satu per satu orang yang kamu sayang menghilang tanpa diduga-duga." Ashraf langsung meraup lalu meremas kartu ucapan yang terselip dalam satu bucket bunga yang baru saja ia terima. Rahangnya memgetat. Keningnya bahkan langsung berkerut dalam. Tentu saja Ashraf penasaran. Dalam hati dan pikirannya langsung bertanya-tanya, siapa sosok yang sudah berani menerornya dengan mengirimi ucapan bernada ancaman ingin melukai orang terdekatnya tersebut. Bertahun-tahun setelah menikah dengan Chava, baru kali ini ia mendapat teror. Entah, siapa yang sudah memiliki banyak nyali sehingga berani menganggu ketenangannya. "Kamu nggak tau siapa yang udah kirim bunga mawar putih ini?" tanya Ashraf kepada Santi yang merupakan perawat sekaligus asistennya di rumah sakit Sentra Medika. Santi menggeleng. Ia memang hanya kebagian tugas memberikan bucket bunga tersebut tanpa tahu pasti siapa pengirimnya. "Maaf, dokter Ashraf, tapi bunga ini diantarnya pakai kurir. Tapi, kalau mau cari tahu, di kertas ucapan, ada tertera nama florist berikut alamat sekaligus nomor handphone-nya." Ashraf mendesah panjang. Di saat bersamaan, muncul sosok Rayhan bersama Rizky yang tumben sekali tiba-tiba singgah ke rumah sakit. Biasanya, kalau ingin datang bertemu, sepupunya itu selalu mengkonfirmasi dirinya terlebih dahulu. Meminta Sinta untuk pergi, Ashraf pun kemudian mempersilakan tamunya untuk duduk. Teringat akan kertas ucapan yang sudah ia buang ke sembarang tempat tadi, Ashraf pun mau tidak mau kembali memungutnya. Ia pikir, siapa tahu saja nanti malah memerlukannya. "Kamu kenapa, Ash?" Rayhan keheranan. Kalau ditelisik dari raut wajahnya, seperti ada sesuatu yang serius tengah sepupunya itu pikirkan. Namun, Ashraf tampak diam. Alih-alih menjawab, ia malah menyodorkan kartu ucapan yang sebelumnya sudah ia remas hingga kumal. Memberikan kartu tersebut, meminta Rayhan untuk membacanya. "Ini sih jelas ancaman," kata Rayhan setelah membaca tulisan dalam kartu ucapan yang Ashraf sodorkan, lalu memperlihatkannya juga kepada Rizky. "Kamu tau, kira-kira siapa yang kirim?" Ashraf menggeleng. Kalau pun tahu siapa yang sudah melakukan hal ini, demi Tuhan, ia tidak akan melepaskannya. Pantang bagi Ashraf membiarkan orang yang sudah mengusik dirinya dan keluarga besar dibiarkan bebas begitu saja. "Aku nggak ada bayangan sama sekali siapa yang udah kirim ancaman seperti ini. Dulu, orang yang paling benci sama aku cuma mendiang Abinya Chava. Tapi, kita semua kan sudah berbaikan dan bahkan, beliau juga sudah lama meninggal." Rayhan ikut bertanya-tanya. Dalam otaknya, tidak ada gambaran sedikit pun siapa yang sudah berani menganggu sepupunya itu. Baginya, orang itu pasti punya banyak nyali karena berani mengusik Ashraf yang sudah dipastikan tidak akan tinggal diam. "Ya siapa tau aja, ada sosok lain yang selama ini punya dendam sama kamu, dan lagi cari kesempatan buat balas perbuatanmu, Ash." Ashraf lantas mendesah panjang. Memejam sejenak sembari berpikir sekaligus mengingat-ingat, siapa kira-kira yang berpotensi ingin berbuat jahat atau membalas dendam kepadanya. "Ray, kamu nggak bisa apa bantu aku buat cari tau siapa yang udah berani-beraninya ancam aku begini?" tanya Ashraf kalau usahanya yang berusaha mengingat, tidak membuahkan hasil. "Kalau kamu mau, aku bisa aja bantu cari. Tapi, nggak ada jaminan pelakunya bisa langsung terungkap. Karena harus dilakukan penyelidikan yang mendalam terlebih dahulu." Kali ini Ashraf mengangguk paham. Namanya mencari sebuah informasi penting, pasti harus melewati banyak tahap perhitungan. Tapi, menurutnya tidak masalah walau harus memakan waktu lama. Yang penting ia bisa tahu siapa dalang dibalik semua ini. Apalah benar-benar orang jahat, atau hanya keisengan belaka. "Di kertas ucapan yang aku tunjukkan tadi, ada nama florist lengkap alamat dan nomor telponnya, Ray. Dari sana, mungkin kamu bisa selidiki lebih lanjut." Rayhan mengangguk. Meraih kembali kertas ucapan di atas meja yang sempat Ashraf sodorkan, kemudian menyimpannya. "Kamu tenang aja, aku sama Rizky bakal cari tau dan selidiki ini semua. Kalau ada perkembangan terbaru, aku bakal sampaikan ke kamu segera." "Semoga ada titik terang. Tapi, aku berharapnya ini cuma iseng aja. Serius, aku sebenarnya nggak mau sampai harus terlibat masalah. Apalagi disangkut pautkan sama keluargaku, Ray." "Udah, nggak usah dipikirkan. Mending kita makan siang bareng," ajak Rayhan kemudian. Melihat Ashraf yang malah gundah gulana dan jadi tidak tenang akibat kiriman yang pria itu terima, Rayhan berinisiatif mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Aku sama Rizky sengaja singgah ke sini karena emang mau ajak kamu makan siang bareng." "Tumben banget?" "Iya, soalnya si Rizky mau konsultasi soal Umi nya yang mau operasi jantung. Dia sekalian mau buat jadwal pemeriksaan juga sama kamu, Ash." "Iya, Kak Ashraf. Kayaknya sakit Umi udah nggak bisa ditoleransi atau di diamkan terus-terusan. Aku pengen, nanti kalau bawa Umi konsultasi ke sini, kak Ashraf jelaskan dan kalau bisa, bujuk dia supaya mau menjalani operasi bypass jantung seperti apa yang sudah kak Ezra sarankan sebelumnya," jelas Rizky panjang lebar. Ashraf mengangguk. Sebelumnya, ia memang sudah dengar dari Ezra kalau beberapa hari yang lalu ibu rekan sejawatnya itu sempat drop karena penyakit jantung yang diderita kembali kambuh setelah sekian lama. Padahal, Ashraf sudah menawarkan diri untuk memeriksa. Tapi, menurut keterangan, ibunya Ezra ini sangat keras kepala dan selalu menolak ketika diajak untuk memeriksakan diri apalagi berobat. "Ya sudah, kita makan di tempat biasa aja, gimana? Biar lebih leluasa juga ngobrolnya?" Rayhan dan Rizky mengangguk setuju. Keduanya pun gegas bangkit, lalu bersiap untuk pergi ke salah satu restoran langganann yang sering kali Ashraf dan Rayhan kunjungi sebelumnya. *** Tepat pukul lima sore, karena sudah tidak ada lagi tugas yang harus ia selesaikan, Ashraf memutuskan untuk segera pulang. Sebelum benar-benar sampai rumah, ia sengaja mampir dulu sebentar di salah satu toko kue demi dapat membelikan istri dan putri kecil mereka satu box brownies dan juga blackforest. Kedua jenis kue itu memang yang paling Chava dan Ciara sukai selama ini. Selesai mendapatkan apa yang diinginkan, Ashraf kembali mengarahkan Jeep Rubicon hitam miliknya untuk segera pulang. Sesampainya di rumah dan baru memasuki ruang tamu, netra Ashraf mendapati sosok Olivia. Guru baru yang juga merangkap sebagai wali kelas itu tampak sibuk di ruang keluarga, seolah tengah mengajarkan sesuatu pada Ciara. Tentu saja, pemandangan ini sama sekali tidak biasa dan membuat Ashraf langsung bertanya-tanya. "Abi!" seru Ciara ketika menyadari bahwa sang ayah ternyata sudah datang dan kini berdiri tak jauh dari tempatnya belajar. "Assalamualaikum ... sayang." Ashraf mendekat, membungkukkan sedikit tubuhnya demi dapat mengecup puncak kepala sang putri. "Kamu lagi apa?" "Walaikumsalam. Ini Kia lagi les sama bu Olivia, Bi." "Oh, ya? Kok Abi baru tau?" "Sayang, kamu udah pulang?" Belum lagi sempat Ciara memberi jawaban atas pertanyaan yang Ashraf beri, dari arah belakang, muncul Chava yang datang membawa satu nampan berisi minuman dan juga camilan untuk ia berikan kelada Olivia. Setelah menghidangkannya di atas meja sofa, wanita berhijab itu pun medekati Ashraf. Meraih tangan, mengajak bersalaman. Lalu seperti biasa, memeluk singkat pria yang sudah tujuh tahun menjadi suaminya itu. "Kerjaan aku udah beres. Ini aku bawakan blackforest sama brownies kesukaan kamu." Chava mengangguk. Menerima sodoran box kue yang Ashraf beri. Tak lupa, menarik pergelangan tangan suaminya itu untuk sama-sama berlalu, bermaksud untuk pergi menuju kamar mereka. "Bu Olivia, dilanjutin aja ya lagi ngajarnya. Saya tinggal dulu," kata Chava sebelum benar-benar berlalu pergi dari ruang di mana putri dan tamunya itu sedang belajar bersama. "Iya, Bu Chava. Silakan," angguk Olivia kemudian kembali fokus menjelaskan mata pelajaran yang sedang ia ajarkan kepada Ciara. Seusai menaruh kue, Chava dan Ashraf sama-sama menuju kamar. Sesampainya di sana, sambil bantu melepaskan pakaian sang suami, ia pun langsung menjelaskan sesuatu yang mungkin sedang Ashraf pikirkan sekarang. "Aku tau, kamu pasti bingung kenapa Ibu Olivia ada di rumah kita, kan?" "Hmm ... iya," sahut Ashraf singkat. "Aku heran aja tiba-tiba Ciara les private di rumah. Kayak yang tumben banget. Bukannya kamu bilang dia harus les langsung di tempat bimbingan belajarnya biar bisa punya banyak teman?" Dulu, Ashraf sendiri yang berinisiatif memberi sang putri les private di rumah. Tapi, karena khawatir pergaulannya terbatas, Chava meminta Ashraf untuk mencari tempat bimbingan belajar yang baik, agar sang putri bisa belajar besosialisasi sejak dini. Sekarang, ia heran saja, tiba-tiba istrinya itu berubah pikiran. "Aku sama aja seperti dulu, Ash. Cuma, anak kesayanganmu itu yang tiba-tiba merengek minta les bareng ibu Olivia. Kan, dua minggu lagi anak-anak SD bakal ujian semester. Kia bilang, teman-teman sekelasnya juga ikutan les sama guru yang lain. Dan kebetulan bu Olivia ini baru pegang 4 murid. Karena masih ada slot, Kia pilih beliau buat private di rumah." Ashraf mengangguk paham. Sebenarnya tidak sedikit pun masalah kalau putrinya mau les, private, atau belajar di mana pun asal dilakukan secara serius. Apa pun itu, asal baik dan ke arah positi, Ashraf pasti mendukung penuh. "Ya sudah. Kalau memang anak kita suka, turutin aja." Chava mengangguk. Selesai bantu membukakan pakaian, ia pun menyodorkan handuk, meminta suaminya itu gegas membersihkan diri. "Kalau gitu, kamu mandi dulu. Terus siap-siap sholat magrib sama makan malam bareng." "Ini kamu nggak mau cium aku dulu?" goda Ashraf seperti biasa. Chava tersenyum. Mendekat, sedikit berjinjit demi dapat menangkup wajah Ashraf, kemudian meraih bibir pria itu lalu menciumnya dengan singkat. "Udah, ah. Nanti lagi," kata Chava setelah mengurai ciumannya. "Kamu buruan mandi. Aku mau ke bawah dulu potong kue yang kamu beliin barusan." Ashraf tersenyum kemudian mengangguk. Sementara dirinya mandi, Chava memilih kembali turun menuju dapur. Memotong kue yang sudah Ashraf beli, lalu menyiapkan satu piring untuk kemudian ia berikan kepada Ciara dan juga Olivia yang tengah serius belajar. "Umi, ini Kia udah beres lesnya. Bu Olivia udah siap-siap mau pulang." "Nanti dulu pulangnya, Bu Olivia," tahaan Chava. Mendekat, lalu menyodorkan piring kue yang ia bawa. "Ayo makan kuenya dulu. Sudah saya siapkan. Atau, bu Olivia pulangnya setelah makan malam bareng aja, gimana?" "Iya, Bu. Pulangnya nanti aja setelah makan bareng sama Kia," sambung gadis kecil itu setengah membujuk. Olivia tersenyum saja. Alih-alih menyetujui tawaran ibu dan anak di depannya, dengan sopan ia berusaha menolak ajakan tersebut mengingat masih padatnya jadwal yang harus ia selesaikan. "Saya makan kuenya aja, ya. Kalau ikut makan malam sepertinya nggak sempat. Jam tujuh nanti, saya ada jadwal ngajar les satu murid lagi setelah ini." Chava mengangguk paham. Kalau sudah begini, mana mungkin ia memaksa. Yang ada, nanti Olivia bisa terlambat sampai di tempat berikutnya. "Sayang banget, padahal saya sudah masak banyak. Tapi, next time harus mau ya, bu." Olivia lantas mengangguk. "Iya, Bu. Insya Allah." "Bu Olivia ..." Kali ini Ciara yang sedang makan kue, kembali berbicara dengan mimik wajab serius. Seolah ada hal penting yang mau gadis itu sampaikan. "Minggu depan Kia ulang tahun, loh. Bu Olivia datang, ya." Olivia yang juga sedang menyuap kue di tangannya, mengerjap. Memfokuskan perhatiannya kepada Ciara yang sedang bercerita. "Oh, ya? Kia mau ulang tahun? Yang ke berapa?" tanya Olivia antusias. "Yang ke delapan, Bu," sahut gadis kecil itu. "Minggu depan, Rencananya saya dan suami memang mau merayakan ulang tahun Kia di rumah atau mungkin nanti di restoran. Bu Olivia harus datang. Atau kalau bisa dan memungkinkan, bu Olivia jadi MC acaranya aja," kata Chava menawari. Karena tamunya juga kebanyakan teman-teman sekelas Ciara, sepertinya akan lebih asyik kalau Olivia yang membawakan acara ulang tahun tersebut. Olivia lantas mengangguk. "Iya, Bu, Insya Allah. Kalau nggak ada halangan, sepertinya bisa-bisa saja datang dan jadi MC acara ulang tahunnya Ciara." "Yeyy, beneran ya, bu. Pasti teman-teman sekelas Kia bakal senang juga," sorak gadis itu kegirangan. Chava, ikut senang. Dari matanya, ia bahkan bisa melihat kalau Ciara benar-benar menyukai gurunya itu. Biasanya, sang putri tampak cuek dengan siapa pun yang mengajarinya. Tapi sekarang, kentara jelas begitu antusias. "Kalau begitu, saya permisi pulang dulu, Bu Chava. Takutnya nanti macet di jalan terus telat sampai tempat tujuan." Chava mengangguk, lalu sama-sama berdiri, bermaksud untuk mengantarkan Olivia sampai pintu keluar. Namun, di saat bersamaan, setelah bersalaman dengan Olivia, Ashraf kembali muncul. Pria tersebut tampak sangat rapi dan begitu tergesa-gesa. Seperti apa sesuatu yang tengah ia kejar. "Kamu kenapa, Ash? Kok buru-buru gitu?" "Aku izin balik ke rumah sakit dulu, ya. Kamu kalau mau makan malam, makan aja duluan." Ashraf kemudian mendekat, menyempatkan diri mengecup kening Chava sebelum benar-benar beranjak keluar rumah. Tapi, saat hendak melangkah pergi, Chava malah menahan sejenak dirinya untuk tidak beranjak dulu. "Kalau kamu emang mau keluar, sekalian aja antar bu Olivia, Ash. Dia juga buru-buru mau ke tempat murid selanjutnya." Ashraf menoleh. Untuk kali pertama, ia menolak permintaan sang istri. Bukan karena tidak mau, tapi ada hal darurat yang harus segera ia dahulukan serta selesaikan. "Minta supir aja yang antar ya, sayang. Aku serius buru-buru. Ada operasi yang harus segera aku tangani." "Bu Chava, maaf," sela Olivia menengahi. "Saya bisa pulang naik taksi. Jangan repot-repot, Bu." "Iya, Bu Olivia ..." sambung Ashraf tidak enak hati karena jelas-jelas menolak permintaan sang istri untuk mengantarkan guru dari putrinya itu pulang. "Saya benar-benar harus segera ke rumah sakit. Minta maaf banget nggak bisa anterin. Tapi, bu Olivia bisa diantar supir kok. Supir di rumah ini selalu standby kapan aja." "Nggak masalah, Pak Ashraf. Saya naik taksi aja." Ashraf mengangguk saja. Lalu segera berlalu pergi menuju mobil. Dalam hati, sebenarnya tidak nyaman juga kalau harus mengantarkan wanita lain sendirian. Takut saja nanti malah menimbulkan fitnah atau hal-hal yang tidak diinginkan.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN