2. Bagian dari Pendekatan

1565 Kata
Ashraf baru saja memarkirkan Jeep Rubicon Hitam miliknya di pelataran rumah sakit. Memasuki lobby, hampir semua orang yang bertemu baik tim medis atau pekerja lainnya tampak menegur dan menyapanya dengan sopan. Memang selalu begitu setiap harinya. Karena Ashraf merupakan dokter Senior yang merangkap sebagai pemimpin rumah sakit, sudah pasti semua orang yang ada di lingkungan rumah sakit menaruh sikap hormat dan juga ramah kepadanya. Melanjutkan langkah, Ashraf berjalan menuju lift. Baru saja hendak masuk, samar dirinya mendengar panggilan dari arah lain. Begitu menoleh, Ashraf mendapati dua rekan sejawatnya tampak berjalan tergesa, kemudian menghampiri seolah ada sesuatu hal penting yang harus dibicarakan segara. "Ash, Alhamdulilah akhirnya kamu datang juga. Dari tadi aku sama Aldi udah tungguin kamu." Ashraf menarik wajahnya. Mengernyit heran sekaligus bingung, kenapa juga pagi-pagi begini, Ezra dan Aldi sudah mencari keberadaannya. "Emangnya kenapa pagi-pagi gini kalian udah cari aku? Ada pasien darurat apa gimana?" "Seminar hari ini, Alfatih nggak bisa isi. Alula, putrinya lagi demam tinggi. Jadi, dia gantian jaga sama Tsania. Seperti yang kita tau, seminar hari ini nggak bisa diundur atau dimajukan waktunya. Karena itu, aku cari kamu buat memastikan apa bisa gantikan Alfatih buat jadi pembicara? Materinya soal kesehatan jantung. Kan nggak mungkin kalau aku atau Aldi yang isi. Sedang dokter Ibra dan dokter Maryam sudah ada jadwal masing-masing hari ini." Ashraf mendengarkan dengan cermat apa yang baru saja Ezra sampaikan. Seminar kesehatan memang terjadwal setiap minggunya di rumah sakit Sentra Medika. Sangat-sangat tidak mungkin menggeser atau mengubah jadwal apalagi sudah hari H seperti sekarang. "Jam berapa mulai seminarnya?" tanya Ashraf ingin tahu. "Jam 10 sampai jam 12 siang. Pokoknya baru selesai bertepatan dengan waktu istirahat sholat dzuhur atau jam makan siang." Ashraf lantas menarik sedikit lengan jas dokter yang ia kenakan. Mengecek arloji sembari berpikir sejenak. "Bentar, Ez. Aku harus hubungi Chava dulu. Aku mau pastikan dia sibuk atau nggak. Tadi pagi, aku udah terlanjur janji buat jemput Ciara di sekolah. Nanti dia bakal marah kalau tau-tau dijemput sama supir." Ezra mengangguk maklum. Karena terbiasa di antar jemput sang ayah, putri kecil Ashraf itu pasti protes kalau bukan ayahnya sendiri yang menjemput. "Ya udah, coba hubungin Chava dulu aja. Semoga aja dia nggak sibuk." Ashraf mengangguk. Meraih ponselnya, kemudian menghubungi Chava saat itu juga. Hanya menunggu beberapa detik, panggilan tersebut langsung diangkat oleh wanita cantik di seberang sana. "Assalamualaikum, Humaira." "Waialikumsalam. Kenapa, Sayang?" tanya Chava di seberang sana. "Hari ini kamu sibuk banget?" "Nggak juga. Memangnya kenapa?" "Bisa jemput Ciara jam 10 nanti? Kebetulan mantan pacar kamu nggak masuk hari ini." "Hah? Mantan pacar?" seruan syarat ingin melayangkan protes langsung terdengar jelas di seberang sana. Padahal, Ashraf sadar kalau kata-katanya barusan bisa saja mengundang emosi sang istri. Tapi, entah kenapa ia memang senang menggoda istrinya itu dengan sengaja. "Iya, Alfatih. Memangnya mantan pacar kamu ada berapa banyak, sih?" "Yang pasti nggak sebanyak kamu, Ash," decak Chava membuat Ashraf langsung tertawa. "Lagian, kamu insecure banget sama Alfatih apa gimana? Hobi banget ngatain dia mantan aku. Dasar nggak sopan." Lagi, Ashraf tertawa lebih nyaring. Hingga tak berapa lama, pria itu melanjut topik utama yang sempat tergeser. "Gini, Sayang ... Hari ini Alfatih nggak masuk kerja karena anaknya tiba-tiba demam tinggi. Mau nggak mau, aku harus gantikan tugas dia buat isi seminar rutin di rumah sakit. Dan seminar itu sendiri bakal mulai jam 10 ini. Itu sebabnya, aku tanya kamu bisa atau nggak gantikan tugas buat jemput Putri Salju pulang sekolah?" "Ah, bisa," sahut Chava membuat hati Ashraf seketika tenang. Paling tidak, satu masalah pada akhirnya bisa diselesaikan. "Nanti biar aku aja yang jemput Kia. Kamu lanjutin aja kerjanya dan nggak usah khawatir." "Alhamdulilah, Ya Rahman Ya Rahim. Kalau gitu, nanti aku minta Pak Dony buat jemput trus antar kamu ke sekolah Ciara. Hati-hati. Kalau udah kembali ke butik, jangan lupa kabarin aku." "Iya, sayang. Nanti aku langsung hubungi kamu. Kalau gitu, aku selesaikan dulu pekerjaanku. Sisa dikit lagi soalnya." "Ya sudah, kamu lanjutin aja dulu. Assalamualaikum." "Walaikumsalam." Ashraf tersenyum. Detik kemudian menatap sembari mengangguk ke arah Erza seolah memberi kode bahwa permasalahan sebelumnya sudah berhasil ia selesaikan. "Udah beres. Untung aja Chava lagi nggak sibuk. Kalau dia ada rapat atau pertemuan sama klien, bisa-bisa anakku bakal ngambek dan puasa ngomong kalau tau sampai dijemput supir tanp konfirmasi dari awal." "Makanya, tambah istri lagi aja, Ash. Biar ada yang bantuin kamu," seloroh Aldi membuat Ashraf langsung berdecak. Seenaknya saja rekannya itu memberi saran sembarangan kepadanya. "Enak aja! Mau gimana pun keadaannya, aku nggak berminat buat nikah lagi," jawab Ashraf penuh yakin. "Ya dicoba aja dulu, Ash. Apalagi kamu itu punya segalanya. Pasti gampang banget dapat istri yang lebih aduhay. Udah gitu, kamu jug mapan secara finansial. Pasti bisa banget buat bersikap adil." Ashraf berdecak. Mana pernah sekali pun dirinya kepikiran untuk memiliki istri lebih dari satu. Sedang semalam saat mimpi menikah lagi saja sudah membuatnya merasa begitu bersalah kepada Chava. "Serius, aku nggak minat sama sekali, Dy," kata Ashraf lagi. "Satu aja nggak habis. Malah mau banyak-banyak." "Lagian, poligami itu memang berat," tambah Ezra setelahnya. "Bahkan lebih berat dari rindunya Dylan ke Milea. Ketimbang nambah istri, mending nambah anak biar semakin nambah juga rezekinya." "Nah kalau itu aku setuju," kata Ashraf kemudian, lalu bersiap memasuki lift. "Ya udah, nanti, biar aku yang gantikan Alfatih. Aku selesaikan sedikit kerjaanku. Kalian ingatkan aja kalau seminarnya udah mau mulai." "Beres, Ash. Sekali lagi, makasih atas bantuannya." *** Alarm handphone Chava terdengar berdering. Sebelumnya, ia sengaja mengatur pengingat tersebut agar tepat waktu menjemput sang putri pulang sekolah. Biasanya, kalau sudah asyik menggambar, Chava memang suka lupa waktu. Itu sebabnya ia sampai memasang alarm agar tidak kelupaan. "Kakak mau keluar?" tanya Alanna yang saat itu baru saja memasuki ruangan Chava. "Iya. Kakak mau jemput Kia pulang sekolah dulu. Kamu tolong cek gambar yang baru selesai kakak gambar, ya. Sesuaikan aja warnanya. Kalau udah fix, langsung aja kasih ke anak produksi." "Oke, siap, kak. Terus ini kakak bawa mobil sendiri apa gimana?" "Nggak. Kakak sama Pak Donny. Mana mungkin Ashraf izinkan kakak bawa mobil sendiri." "Ya sudah kalau gitu hati-hati. Baliknya jangan lupa beli camilan buat dimakan sambil ngewarna, kak." "Iya," angguk Chava. Sambil meraih shopper bag miliknya di atas lemari, ia pun menyahut permintaan sang adik. "Nanti kakak bawain kue seperti biasa. Kalau gitu, kakak pergi dulu." Chava lantas keluar ruangan untuk kemudian segera memasuki mobil yang sudah terparkir di halaman butik. Setelahnya, bersama Pak Donny, ia pun langsung pergi menuju sekolah Bunga Bangsa untuk menjemput sang putri. Begtiu sampai, ternyata Ciara sudah menunggu di depan gerbang. Dari kejauhan, Chava bahkan melihat putrinya itu menunggu jemputan dengan di temani seorang wanita dewasa. "Kia ...." panggil Chava sambil berjalan ke arah sang putri. Melambaikan tangan. Memberi tanda bahwa dirinya sudah datang menjemput. "Umi yang jemput, Kia? Abi mana?" tanya Ciara dengan nada terdengar sedikit protes. Diantara ia dan Ashraf, Ciara memang lebih suka Ashraf yang menjemput. Karena ketika pulang, Ashraf tidak langsung mengantarkan sang putri ke rumah. Suaminya itu pasti mengajak Ciara untuk singgah terlebih dahulu entah ke toko buku atau sekedar singgah ke kedai es krim langganann mereka. Berbeda jauh dengan Chava yang ketika menjemput, pasti akan langsung mengantarkan pulang ke rumah. "Abi titip maaf nggak bisa jemput karena ada kerjaan darurat yang nggak bisa ditinggal, sayang. Jadi, Umi hari ini yang jemput." "Yah, Ciara nggak jadi ke toko buku, dong," keluh gadis kecil itu, persis seperti apa yang sudah Chava duga. "Tenang aja, setelah ini, Umi bakal temenin Kia singgah ke toko buku dulu. Terus, nanti ikut Umi ke butik aja, ya. Nanti kita pulangnya bareng Abi." Ciara tersenyum lebar. Tentu saja ia senang karena sang ibu kali ini mau menemaninya singgah ke toko buku, alih-alih langsung pulang seperti biasa. "Tapi, Umi ..." sela Ciara saat Chava mengulurkan tangan, hendak mengajaknya untuk segera beranjak menuju mobil. "Sebelum pulang, kenalan dulu sama guru baru di kelas Kia," kata gadis mungil itu sambil menoleh kemudian melempar senyum kepada wanita berhijab Mocca yang berdiri tepat di sampingnya. "Ibu guru Olivia, wali kelas Kia yang gantiin bu Ameena." Chava mengangguk lalu tersenyum. Dengan ramah mengulurkan tangan mengajak wanita bernama Amanda itu bersalaman. "Salam kenal, Bu. Saya Chava, Ibunya Ciara." Olivia balas terseyum tak kalah ramah. Detik itu juga menerima sodoran tangan yang Chava beri. "Salam kenal juga. Saya Olivia Amanda, wali kelas barunya Ciara." "Senang kenalan sama Ibu Olivia. Ini ibu mau pulang juga?" "Iya, Umi." Belum sempat Olivia menyahut, Ciara duluan yang menyambar pertanyaan yang Chava lontarkan. "Bu Olivia dari tadi bareng Kia lagi tunggu jemputan." Olivia kembali tersenyum, kemudian mengangguk, membenarkan ucapan Ciara. "Iya, Bu. Saya emang lagi tunggu adik sepupu saya jemput. Kebetulan ada Kia di sini. Jadi kita bareng-bareng tunggunya." "Memangnya Bu Olivia tinggal di mana?" tanya Chava ingin tahu. "Di Apartemen Pakubuwono, Bu." "Ah, dekat sama lokasi butik saya. Gimana kalau sekalian bareng saya aja? Kan kita searah juga." Olivia menggeleng. Mungkin merasa tidak enak dengan apa yang Chava tawarkan. "Nggak usah, Bu. Biar saya ---" "Ayo, dong, Bu Oliv. Bareng Kia aja. Sekali-sekali. Dari pada tunggu di sini, nanti diculik orang loh," celetuk gadis kecil itu membuat Olivia tersenyum. "Iya, Bu. Mending ikut saya aja. Nggak usah sungkan. Kan kita searah juga." Olivia pada akhirnya mengangguk setuju. Ciara pun tentu senang bukan main karena guru barunya itu pada akhirnya mau diajak untuk pulang bersama. Lantas mereka semua sama-sama masuk ke mobil. Sedang Olivia tampak tersenyum lebar sambil menatap lekat ke arah Chava dan Ciara. Seolah ada sesuatu yang membuatnya tiba-tiba ikut merasa senang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN