Papa Sean

1064 Kata
Sean Putra Chandra. Duda anak satu itu membuka kedua matanya yang masih kelihatan mengantuk setelah seseorang mengusik tidur dengan menciumi kedua pipi dan menggelitiki tubuhnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan sang gadis kecil kesayangannya, Rissa. “Sayang, kebiasaan ganggu Papa.” Sean mengubah posisinya menjadi duduk, mencium kening putri kecilnya setelah itu mendekap tubuh mungil itu dengan begitu erat. Hawa dingin pagi ini membuat dirinya enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Memilih memeluk sang anak dengan kedua mata yang sudah kembali terpejam. “Bangun, Pa. Udah pagi, kata nenek kalau bangun siang nanti lejekinya di makan ayam tahu,” balas gadis itu yang masih belum bisa menyebut huruf R dengan benar. “Aduh anak papa ini cerewet banget. Iya deh ini Papa bangun.” “Mataya masih melem,” ucap Rissa dengan wajah polosnya. Sean terkekeh. Lelaki itu memang memiliki sikap begitu kaku di luar namun ketika bersama dengan anaknya maka akan sangat berbeda. Apalagi dia yang mengurus sang anak semenjak kecil setelah sang istri memilih untuk berpisah. Sean yang memberikan seluruh kasih sayang kepada Rissa, membuat gadis kecil itu tidak pernah kembali bertanya tentang keberadaan sang ibu. Sean mengatakan kepada anaknya bahwa mama sudah pergi jauh. Sampai kapan pun Sean tidak mau memberitahu keberadaan sang mantan istri kepada anaknya, terlalu sakit untuk Sean kembali mengingatnya. Biarkan Rissa hanya tahu bahwa papanya begitu menyayangi dia dan keluarga yang memberikan perhatian membuat Rissa tidak pernah merasa kesepian. “Mau sarapan apa pagi ini?” tanya Sean. Baru saja keluar dari kamar mandi, setelah mencuci muka dan menggosok gigi sementara Rissa masih anteng di atas tempat tidur ayahnya. “Loti!” seru Rissa yang kemudian turun dari tempat tidur segera menghampiri sang ayah. “Lissa mau loti pake suusu sama mentega telus di kasih gua, Pa.” “Oke sayang, ayo kita ke bawah. Papa bakalan bikin roti buat anak cantik papa,” ajak Sean kemudian menggendong Rissa dan keluar dari kamar. Sudah satu tahun ini Sean memilih tinggal berdua dengan sang anak, setelah sebelumnya tinggal bersama dengan orang tuanya karena Rissa yang masih sangat kecil. Sekarang ketika anaknya berusia empat tahun, Sean memilih untuk tinggal di rumah yang memang sudah di siapkannya sejak lama. Baru bisa di tempati satu tahun ini. Kegiatannya setelah tinggal berdua dengan sang anak adaalh menyiapkan segala keperluan anaknya di saat weekend. Karena di hari kerja biasanya ada Bibi yang mengurus semuanya termasuk memasak dan membereskan rumah. Hanya weekend saja Sean meliburkan asisten rumah tangganya itu agar waktunya benar-benar bersama dengan sang anak. Meski Sean termasuk orang yang gilla kerja, tetapi untuk libur seperti ini Sean selalu memberikan seluruh perhatiannya kepada sang anak. “Hari ini kita mau ke mana?” tanya Sean memberikan roti yang tadi di inginkan oleh Rissa. Gadis itu sudah duduk manis menerima roti yang dibuatkan oleh sang ayah. “Kemarin Tante Ashi bilang mau ajak Lissa beli boneka, Pa.” “Beli bonekanya sama Papa aja, kan hari sabtu sama minggu waktunya kita berdua.” “Papa nggak kelja?” Mulut mungilnya tampak lucu sekali dengan roti yang begitu lahap di makannya, membuat kedua pipi gadis itu membulat, belum menelan rotinya. “Makanannya di telan dulu, Sayang. Nanti keselek sakit tenggorokannya,” tegur Sean dengan begitu lembut. Kemudian memberikan satu gelas suusu putih kepada anaknya. Rissa mengangguk dengan mulut yang masih penuh, kemudian meminum suusu yang diberikan oleh sang ayah. Mereka menikmati sarapan pagi dengan roti masing-masing, pun di tambah segelas suusu untuk keduanya. Sarapan yang benar-benar simple sekali. “Kenyang banget, makasih Papa udah bikin loti buat aku,” ucap Rissa selesai menghabiskan roti dan segelas suusunya. Sean sudah membiasakan sang anak untuk selalu mengucapkan kata terima kasih ketika mendapatkan sesuatu atau setelah meminta tolong. Anaknya benar-benar menjadi anak baik.  “Sama-sama, Sayang.” ** “Nenek!” seru Rissa yang berlari sambil memeluk boneka. Seseorang yang di panggil nenek tadi menoleh menyambut sang cucuk kesayangannya dengan senyum yang begitu hangat. Terkejut sekali melihat Rissa yang datang bersama dengan Sean ke rumah ini. Biasanya Sean menghabiskan waktu berdua dengan Rissa di hari minggu di rumah atau keluar berjalan-jalan. “Aduh cucu nenek, kirain nggak akan datang ke sini. Kangen banget nenek sama kamu sayang,” ucap Heni –Ibu Sean- mengesampingkan kegiatannya tadi dan menyambut sang cucu dengan tangan terbuka. Memeluk dengan begitu hangat dan penuh kasih sayang. “Nek, tadi Lissa di beliin boneka beluang ini sama Papa. Telus Papa juga ajak Lissa main banyak banget,” adu Rissa kepada Heni membuat wanita paruh baya itu tersenyum lebar. “Rissa senang nggak?” “Senang, hali ini Papa libul jadi Lissa senang, Nek!” serunya. Sean yang baru saja menghampiri keduanya menggeleng melihat tingkah sang anak yang begitu ceria. Sampai buru-buru keluar dari mobil sambil membawa bonekanya tadi. Seruan Sean yang mengatakan hati-hati saja hanya di balas dengan teriakan lantang dan berlalu begitu saja. “Apa kabar, Ma?” Sean mencium tangan Heni, sudah cukup lama dia tidak bertemu dengan mamanya, akhir-akhir ini pekerjaan Sean memang begitu menumpuk, Rissa saja kalau mau pergi bertemu dengan neneknya hanya di antara Bibi dan Pak supir yang memang Sean siapkan untuk mengantar anaknya. “Baik. Kamu sibuk banget ya sampai nggak kelihatan ke rumah. Masih ingat orang tua ternyata,” sindir Heni membuat Sean meringis tidak enak hati. “Maaf, Ma. Kerjaan Sean beneran lagi banyak, ini Sean datang kan, padahalnya habisin waktu berdua sama Rissa di rumah.” “Tapi kamu nggak biarin Rissa kesepian kan, kalau tahu kamu sibuk begini mending Rissa tinggal sama Mama aja di sini, kasian kalau di rumah kesepian,” ucap Heni. “Sean tetap perhatiin Rissa kok, Ma.” “Mama nggak ingin aja kalau sampai Rissa ngerasa kamu jadi jauh karena sibuk kerja. Rissa masih kecil butuh perhatian yang lebih dari kita.” “Sean ngerti, Ma.” “Kalau memang kamu nggak mau tinggal di sini, kamu cari mama baru buat Rissa. Nggak mungkin kan selamanya kamu sendirian ngurus Rissa, anak kamu juga butuh sosok ibu dalam hidupnya.” “Nggak sekarag, Ma. Rissa masih punya aku yang bisa jadi sosok ibu buat dia. Lagian anaknya juga nggak lagi tanya soal mamanya. Rissa udah cukup dengan papanya.” “Sekarang memang nggak tanya, tapi kalau Rissa semakin besar apalagi masuk sekolah pasti dia lihat teman-teman yang bareng mamanya. Jangan terlalu menutup hati karena luka yang udah berlalu, Nak. Mama juga mau kamu bahagia dengan memiliki pendamping lagi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN