BAB 1 — Panggilan dari Langit
Langit mendung menggantung di atas desa terpencil itu, seolah menyimpan nestapa yang belum selesai. Di rumah kayu yang nyaris runtuh di pinggir tebing, seorang pria muda berdiri diam, tubuhnya kurus, wajahnya pucat, namun matanya tajam menatap cakrawala.
Namanya Raka Wiratama. Seorang kepala keluarga di usia yang terlalu muda, setelah ayahnya gugur dalam perang dan ibunya meninggal karena penyakit. Kini, semua beban keluarga, adik-adiknya, dan nama baik klan jatuh di pundaknya yang lemah tapi keras hati.
Hari itu, ia kembali dari ladang sambil membawa sekeranjang umbi yang bahkan tak layak disebut makanan. Di punggungnya, luka cambuk dari para penagih pajak belum sembuh. Di tangannya, surat ancaman dari klan tetangga yang ingin merampas tanah warisan keluarganya.
"Aku... tidak akan menyerah," gumam Raka pelan. Tapi bahkan suaranya terdengar seperti rintihan angin.
Tiba-tiba, tanah bergetar. Suara kuda berpacu datang dari arah jalan utama desa. Asap mengepul, debu berhamburan.
Mereka datang lebih cepat dari dugaan.
Pasukan dari Klan Gunung Hitam. Lima belas orang bersenjata lengkap, dipimpin oleh Tang Wirajaya, pria bertubuh besar dengan cambang lebat dan tawa kasar.
"Raka! Sudah waktunya kau angkat kaki dari tanah ini!" teriak Tang sambil turun dari kudanya.
Raka menatap mereka tanpa gentar. "Tanah ini milik ayahku. Leluhurku dimakamkan di sini. Kalau kalian ingin merebutnya... kalian harus melewati mayatku."
Tang terkekeh. "Itu memang rencanaku."
Tanpa peringatan, dua prajurit menyerang. Raka menghindar dengan susah payah. Tubuhnya bukan tubuh pejuang. Ia hanya petani, hanya kepala keluarga biasa... sampai hari ini.
Saat tinju mendarat di wajahnya dan darah mengalir dari sudut bibirnya, saat tubuhnya terlempar dan jatuh ke tanah...
Ding!
> {Menemukan tuan rumah yang sesuai...}
{Proses pemasangan sistem sedang berlangsung...}
10%...
37%...
67%...
100%...
{Pemasangan berhasil.}
{Sistem Kepala Keluarga diaktifkan.}
{Situasi kritis terdeteksi. Memulai Hadiah Awal!}
> [Hadiah Pertama: Panggilan Darah — 1 Cultivator Bebas.]
[Hadiah Kedua: Pil Peledak Energi.]
[Hadiah Ketiga: 10.000 Batu Roh Kelas Rendah.]
Kesadarannya yang hampir lenyap disapu cahaya. Energi asing masuk ke tubuhnya, seperti ledakan kehidupan kedua.
"AKU… BELUM KALAH!!" teriak Raka, bangkit dari tanah dengan aura emas menyelimuti tubuhnya.
Para prajurit terkejut, mundur selangkah.
Tang menyipitkan mata. "Apa ini? Ilusi?"
> [Apakah ingin menggunakan Panggilan Darah sekarang?]
[Y/N]
"Ya!" jawab Raka tanpa ragu.
Cahaya merah menyala di udara. Sebuah lingkaran sihir kuno muncul di tanah.
Dari dalamnya, muncul sesosok pria bertubuh ramping dengan jubah robek namun wajah angkuh. Rambut panjang perak, mata dingin, dan aura menindas.
"Aku dipanggil… oleh anak ingusan?" gumamnya. Tapi saat menatap wajah Raka, matanya melembut. "Ah… kau pemilik sistem. Baiklah. Namaku Ling Bai, mantan kultivator tingkat langit, sekarang hamba sementara-mu."
Sebelum Raka sempat berkata apa-apa, Tang berteriak, "Bunuh mereka semua!!"
Delapan prajurit menyerbu.
Tapi Ling Bai hanya mengangkat satu jari.
BOOM!
Satu ledakan energi menghantam mereka. Tubuh-tubuh terlempar seperti daun diterjang badai. Darah menyembur. Jeritan bergema.
Raka terbelalak. "Itu... kekuatan kultivator sejati?"
Ling Bai menoleh. "Kekuatan sejati bahkan belum kugunakan. Tapi itu cukup untuk sampah sekelas mereka."
Tang gemetar. Ia mencoba lari, tapi Ling Bai menggerakkan telunjuknya.
“Tenang, serigala pengecut. Kau akan menjadi contoh,” bisiknya.
Cahaya merah melesat. Tang tersungkur, tubuhnya lumpuh seketika.
> [Misi Darurat Selesai.]
[Ganjaran Tambahan: +500 Batu Roh.]
[Sistem Merespon Aksi Kepemimpinan Tinggi — Mode "Hadiah Kejutan" Terbuka.]
> [Hadiah Kejutan Terbuka: "Kotak Warisan Leluhur Raka" ditemukan di bawah sumur lama.]
Raka nyaris tidak bisa bernapas.
Sistem ini… bukan sekadar kekuatan. Ini penentu nasib.
---
Beberapa jam kemudian...
Raka berdiri di depan rumahnya. Ling Bai duduk di atap, memandang langit malam.
"Jadi kau akan tinggal di sini bersamaku?" tanya Raka.
Ling Bai menyeringai. "Selama sistem mengizinkan, aku adalah pedangmu."
Raka mengepalkan tinju. Tatapannya berubah. Tidak lagi putus asa. Tidak lagi menyerah.
"Aku akan mengubah nasib keluarga ini. Bahkan jika harus melawan dunia."
Langit masih mendung.
Tapi malam itu, sebuah bintang baru muncul di langit.
Dan dunia... baru saja mendapat ancaman baru dari seorang kepala keluarga yang tak lagi lemah.
---