3

699 Kata
Bab 1: Mimpi yang Sama (Lanjutan) Keesokan harinya, Aria memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desanya untuk mengusir pikirannya tentang mimpi itu. Tapi semakin ia mencoba melupakan, semakin bayangan gadis dalam mimpinya menghantui setiap langkahnya. Seakan-akan ada magnet yang menariknya menuju suatu tujuan yang ia sendiri tak mengerti. Sepanjang hari, ia terus membayangkan wajah gadis itu, senyumnya yang tenang, dan tatapan mata yang penuh misteri. Di kota besar, Keira menghabiskan paginya dengan perasaan serupa. Ia mencoba mengabaikan mimpi yang berulang itu, tapi setiap kali ia melirik ke cermin, bayangan taman sakura dan pemuda itu kembali mengisi pikirannya. Keira merasa terganggu, tidak hanya oleh mimpinya tetapi juga oleh perasaan asing yang mengikutinya sepanjang hari. Seolah-olah, di tengah hiruk pikuk kota, ia sedang ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Sore itu, Keira memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota, berharap udara segar akan membantunya menghilangkan kegelisahan. Langit mulai senja, warna oranye dan ungu menyelimuti awan yang bergerak pelan di atasnya. Sambil duduk di bangku taman, ia memejamkan matanya, membiarkan pikirannya mengembara tanpa gangguan. Di dalam pikirannya, taman sakura dari mimpinya muncul lagi, kali ini dengan lebih jelas. Ia bisa merasakan angin sejuk berhembus, membawa aroma bunga yang harum dan lembut. Dalam khayalan itu, ia melihat pemuda yang selalu muncul dalam mimpinya. Ia berdiri di ujung taman, menatapnya dengan sorot mata yang seolah meminta sesuatu. Saat Keira membuka matanya, perasaannya tak kunjung hilang—justru semakin kuat. Ia merasakan rindu yang mendalam untuk sesuatu yang bahkan tidak nyata. Di tempat lain, Aria sedang berbicara dengan sahabatnya, Bima, seorang pemuda desa yang sering bekerja bersamanya di sawah. Aria menceritakan mimpi-mimpinya, berharap bisa mendapat pencerahan. Bima mendengarkannya dengan tatapan serius, lalu mengangguk. "Mungkin ini pertanda, Aria," ujar Bima sambil menepuk bahunya. "Siapa tahu, mungkin saja kau memang ditakdirkan bertemu dengan seseorang di luar sana. Kau selalu bicara tentang ingin pergi dari desa, kan? Mungkin ini saatnya." Aria terdiam, memikirkan ucapan Bima. Selama ini, ia selalu merasa terikat dengan desanya. Ia mencintai kehidupan yang sederhana, bekerja di ladang dan membantu keluarganya. Tapi mimpi-mimpi itu membuatnya bertanya-tanya: apakah hidupnya di desa sudah cukup, atau ada sesuatu yang lebih menunggunya di luar sana? Hari-hari berikutnya, baik Aria maupun Keira tidak bisa menghilangkan mimpi-mimpi mereka dari pikiran. Mereka mulai merasakan adanya dorongan tak terlihat yang menarik mereka ke arah yang belum jelas. Aria, yang biasanya tenang dan sabar, mulai mempertimbangkan untuk pergi ke kota. Ia merasa jika ia tetap tinggal di desa, ia akan kehilangan kesempatan untuk menemukan jawabannya. Di sisi lain, Keira terus mencoba mencari arti dari mimpi-mimpi itu. Ia membaca berbagai artikel, bahkan mengunjungi beberapa forum online yang membahas tentang mimpi. Kebanyakan orang mengatakan bahwa mimpi seperti itu hanyalah cerminan dari keinginan tersembunyi, tapi Keira merasa mimpinya lebih dari sekadar refleksi bawah sadar. Suatu hari, Keira menemukan artikel yang menarik tentang “benang merah takdir”—sebuah konsep dari legenda Jepang yang menyatakan bahwa dua orang yang memiliki hubungan kuat akan terhubung oleh benang merah tak kasat mata, tak peduli seberapa jauh mereka terpisah. Keira merasa sedikit merinding saat membaca artikel itu, karena konsep itu menggambarkan apa yang ia rasakan setiap kali bertemu dengan pemuda dalam mimpinya. Keira terdiam sejenak, memikirkan apakah mungkin pemuda itu benar-benar ada di suatu tempat di dunia ini. Mungkinkah mereka terhubung oleh benang merah takdir yang membawanya menuju sosok yang selama ini hanya muncul dalam mimpi? Di malam yang sama, saat Aria dan Keira tidur, mereka kembali ke taman sakura dalam mimpi mereka. Kali ini, sesuatu terasa berbeda. Saat mereka berdiri berhadapan, ada cahaya halus yang melingkari tangan mereka, seolah-olah sebuah benang merah tak kasat mata mulai mengikat mereka. Aria mencoba untuk mendekati Keira, dan kali ini, ia mendengar suaranya yang lembut, memanggil namanya. “Keira…,” bisik Aria, penuh rasa ingin tahu. Keira menatapnya dengan mata penuh haru, dan saat ia mendekatkan tangan mereka, benang merah itu semakin jelas, bercahaya lembut di bawah sinar bulan dalam mimpi. Namun, sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, mimpi itu tiba-tiba menghilang. Mereka terbangun bersamaan, dengan hati yang berdebar kencang. Aria dan Keira kini tahu bahwa apa yang mereka alami bukan sekadar mimpi biasa. Di lubuk hati mereka, ada keyakinan bahwa pertemuan mereka akan segera terjadi di dunia nyata. Sebuah perjalanan takdir baru saja dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN