Bab 3: Pesan dari Masa Lalu
Sejak pertemuan di festival, Aria dan Keira mulai sering bertemu. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, berbagi cerita, dan berbicara tentang impian masing-masing. Keduanya merasa nyaman dan seolah-olah telah mengenal satu sama lain sejak lama. Namun, di balik kebahagiaan yang mereka rasakan, ada perasaan yang belum sepenuhnya mereka pahami—seperti sebuah beban tak terlihat yang menyertai hubungan mereka.
Pada suatu sore, saat mereka berjalan melewati pasar malam, seorang dukun tua dengan rambut putih yang terurai dan tatapan yang tajam menghampiri mereka. Ia mengenakan jubah panjang yang lusuh, dan sepasang mata tuanya menatap langsung ke arah Aria dan Keira, seakan melihat sesuatu yang tidak kasat mata.
"Kalian berdua… sudah lama terhubung," ucap sang dukun dengan suara serak, membuat Aria dan Keira saling berpandangan bingung.
Aria mengernyit, merasa penasaran sekaligus waspada. "Maaf, maksud Anda apa, Pak?"
Dukun itu menggeleng, tersenyum kecil sambil mengamati mereka dengan tatapan penuh makna. "Benang merah yang mengikat kalian bukanlah hal yang baru. Kalian sudah terhubung dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya. Takdir kalian adalah takdir yang berulang… selalu bersama, dan selalu memiliki peran penting bagi keseimbangan dunia."
Keira menelan ludah, merasa aneh sekaligus terpesona. "Apakah Anda bercanda? Maksudnya, benang merah ini adalah… sebuah takdir yang sudah ada dari kehidupan sebelumnya?"
Dukun itu mengangguk perlahan. “Kalian tidak bisa menolak takdir ini. Setiap kali kalian bertemu, ada misi yang harus dipenuhi. Namun, kali ini, tantangannya akan jauh lebih besar daripada kehidupan sebelumnya.” Ia menatap Aria dan Keira bergantian, wajahnya serius. "Keseimbangan dunia sedang terganggu, dan kalian memiliki peran untuk memulihkannya."
Mendengar kata-kata itu, Aria merasakan ketegangan di dadanya. Ia ingin mempertanyakan lebih jauh, namun dukun itu melanjutkan dengan nada yang lebih tenang. "Kalian mungkin tidak akan ingat, tetapi di dalam jiwa kalian ada kenangan dari masa lalu—perjuangan, cinta, pengorbanan. Semua itu tertanam di dalam benang merah yang mengikat kalian."
Sebelum mereka bisa bertanya lebih lanjut, dukun itu menyerahkan sebuah gelang kain merah kepada mereka. Gelang itu tampak sederhana, terbuat dari benang merah kusut yang digulung dan diikat dengan simpul rumit. "Kenakan ini. Ini akan melindungi kalian dan menguatkan ikatan antara kalian berdua. Jangan sampai terlepas, atau kalian bisa kehilangan arah."
Aria dan Keira saling bertukar pandang, kebingungan namun merasa ada sesuatu yang penting dalam pesan sang dukun. Perlahan-lahan, mereka mengenakan gelang itu di pergelangan tangan masing-masing. Saat gelang itu melingkar di tangan mereka, keduanya merasakan getaran aneh yang merambat ke seluruh tubuh, seperti sebuah energi yang hangat dan menenangkan.
Sang dukun tersenyum tipis, lalu berbalik dan perlahan-lahan menghilang di keramaian pasar. Mereka berdua terpaku, masih mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan oleh pria tua misterius itu. Ada rasa takut dan penasaran bercampur jadi satu dalam hati mereka. Satu hal yang pasti: pertemuan dengan dukun itu bukanlah kebetulan.
"Aria… kamu percaya pada semua ini?" tanya Keira, suaranya lirih namun sarat dengan ketidakpastian.
Aria menghela napas dalam, mencoba mencerna semua yang terjadi. "Aku tidak tahu, Keira. Tapi rasanya… seolah ada sesuatu yang benar dari kata-katanya. Sejak kita bertemu, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sulit dijelaskan."
Keira terdiam, menatap gelang merah di pergelangan tangannya. Dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang bangkit, sebuah kenangan yang samar, seakan pernah mengalami semua ini sebelumnya. Meskipun ia tidak mengerti sepenuhnya, ia merasa yakin bahwa apa yang mereka alami sekarang bukanlah sekadar kebetulan.
Sejak pertemuan itu, Aria dan Keira mulai sering mengalami mimpi yang lebih jelas dan nyata. Dalam mimpi-mimpi itu, mereka melihat diri mereka dalam berbagai kehidupan, mengenakan pakaian yang berbeda, dan berada di tempat-tempat asing. Terkadang, mereka berperan sebagai pejuang yang mempertahankan sebuah kota; di lain waktu, mereka terlihat sebagai kekasih yang berjuang melewati berbagai rintangan.
Suatu malam, dalam mimpi yang sama, Aria melihat dirinya berdiri di tepi tebing, mengenakan pakaian zaman dahulu. Di sebelahnya, ada Keira, memegang tangannya erat. Mereka memandang ke arah cahaya di kejauhan, seakan ada sesuatu yang menunggu mereka di sana.
Ketika Aria terbangun, ia menyadari bahwa ini bukan sekadar mimpi biasa. Ia yakin bahwa kenangan dari kehidupan-kehidupan sebelumnya perlahan mulai terbuka, mengungkapkan kepadanya kisah-kisah yang belum ia pahami sepenuhnya. Ia merasa dorongan yang kuat untuk melindungi Keira, seolah-olah itulah tujuan hidupnya selama ini.
Demikian pula dengan Keira. Ia mulai merasakan sebuah panggilan, panggilan dari masa lalu yang mengingatkannya pada ikatan mereka yang telah terbentuk berabad-abad lalu. Ia menyadari bahwa hubungan mereka tidak hanya sekadar pertemuan romantis, melainkan sebuah tugas yang lebih besar, sebuah misi untuk menjaga keseimbangan dunia.
Meski masih banyak misteri yang belum terungkap, Aria dan Keira mulai memahami bahwa mereka memiliki peran penting dalam roda takdir ini. Dengan kepercayaan yang semakin tumbuh di hati mereka, keduanya berjanji untuk tetap bersama dan saling melindungi, tak peduli apa pun yang harus mereka hadapi.
Di bawah langit malam yang penuh bintang, mereka saling berjanji, diikat oleh benang merah takdir yang membawa mereka dalam perjalanan melintasi waktu dan kehidupan.