Kehilangan

1289 Kata
"Saya terima tawaranmu! Tolong katakan saja di mana dan kapan?! Dan ... tolong segera operasi ibuku!" ucapnya dengan derai air mata. Terdengar sebuah tawa di ujung sana. "Ok, temui saya di cafe depan rumah sakit, 1 jam lagi!" jawabnya, lalu telepon pun terputus. Rena menghela nafas dalam, melepaskan rasa sesak di dadanya. Mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya, dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Menunggu waktu rasanya seperti pesakitan yang menunggu eksekusi mati. Rena mondar mandir di depan ruangan, memikirkan kembali apa yang akan dilakukannya. Benarkah dia berani mengambil langkah ini? Langkah bodoh yang tak akan mungkin diambil seorang wanita beragama. Uhuk! Terdengar ibunya terbatuk. Rena segera menghampirinya. "Minum ... haus ...," ucapnya lemah. Rena ambilkan gelas berisi air putih, lalu menyodorkannya pada sang ibu. Lastri mereguknya perlahan hingga tandas. Tampaknya dia begitu kehausan. "Ren, kita pulang saja. Ibu gak mau berlama-lama di sini. Uang dari mana untuk bayarnya nanti?!" Lastri menatap nanar pada putrinya. d**a Rena kembali sesak, bagai dihimpit batu. "Tenang saja, Bu. Rena ada simpanan uang. Ibu istirahat saja sampai sembuh, ya?" bohongnya. Rena mengelus punggung tangan ibunya halus. Ia berusaha mengalirkan kekuatan pada yang tengah lemah. "Ibu mau makan apa? Nanti Rena belikan," tawarnya. Lastri menggeleng. "Maafkan ibu sudah merepotkanmu, Nak. Ibu rasanya ingin mati saja biar tidak membuatmu susah," ucapnya lirih. Kini giliran Rena yang menggeleng. Dua pasang mata itu sama-sama dipenuhi air mata. "Ibu tidak boleh bilang begitu. Ibu pasti sembuh, dan kita bisa bersama lagi." Sesekali Rena menyeka bulir yang terus saja mengalir. Tangan mereka saling terpaut. "Kalau sudah sembuh nanti, Rena belikan Ibu ayam bakar ya?" tawarnya. Dia ingat, jika ibunya suka sekali makanan itu. Lastri tersenyum. "Ibu bangga sama kamu, Ren. Tapi ingat, apa pun keadaannya, tetaplah di jalan Tuhan. Pertolongan Tuhan itu dekat. Jangan sampai kamu tergoda melakukan sesuatu yang dilarang Tuhan." Entah apa maksud Lastri mengucapkan itu pada putrinya. Namun, itu sungguh menohok ke dalam relung hati gadis itu. Rena memgangguk. 'Apakah ibunya punya kecurigaan?' tanya Rena dalam hati. Namun, tekad Rena sudah bulat. Ia ingin menyembuhkan ibunya, walau harus menjual diri. "Bu, Rena keluar dulu sebentar ya? Mau beli makan dulu," ucapnya bohong, dan dijawab anggukan oleh Lastri. . Rena memindai sekeliling ruangan cafe, mencari sosok orang yang akan membayar mahal tubuhnya. Rena mendapati sosok bertubuh tegap itu di sudut, agak jauh di dalam. Rupanya Dokter Fredy sudah memilih tempat yang tidak terlalu ramai. Rena mendekat. "Selamat Sore, Dok. Langsung saja, kapan kita bisa transaksi?" tanya Rena tanpa tanpa basa basi. Dokter Fredy menyimpan ponsel dalam genggamannya, lalu tersenyum menatap gadis di depannya. "Kamu sudah tidak sabar, ya? Ayo duduk dulu, makan du--" "Tidak perlu! Saya ke sini untuk transaksi dengan anda, bukan untuk makan-makan!" potongnya. Dokter Fredy terlihat tersenyum lalu manggut-manggut. "Ya, ok. Sepertinya gadis di depanku ini sudah tidak sabar menikmati sentuhan seorang lela--" Plak! Sebuah tamparan kembali bersarang di pipi dokter yang tetap terlihat tampan di usianya yang telah kepala empat. "Dengar! Jika kau hanya ingin bermain-main, aku akan pergi sekarang! Kau boleh menghinaku, merendahkanku, silakan! Tapi tolong, aku benar-benar butuh uang itu sekarang. Aku bahkan belum menebus obat Ibu hari ini," jelas Rena dengan tegas, walau sebenarnya hatinya begitu rapuh. Dokter Fredy kembali tersenyum. "Ok, malam ini di Hotel Amaris , aku tunggu jam 8. Apa kau punya nomor rekening?" tanyanya. Rena mengangguk. Untungnya sebulan yang lalu dia membuka rekening. Rena berniat mulai menabung untuk melanjutkan kuliah. "Mana nomor rekeningnya? Aku transfer sebagian, agar kau bisa membeli obat-obatan ibumu. Sisanya, kau jangan khawatir, aku akan menanggung seluruh biaya operasi ibumu, nanti. Aku sudah jadwalkan, besok ibumu dioperasi. Kau bisa tenang sekarang!" Rena mengeluarkan catatan nomor rekening dari dompet lusuhnya, lalu menyerahkan pada lelaki di depannya. Dokter Fredy mengambilnya, lalu dia mengotak-atik ponselnya. "Sudah, ini kau bisa lihat sendiri! Aku sudah transfer ke nomor rekeningmu. Rena Aleandra. Itu namamu kan?" tanyanya, Rena kembali mengangguk. "Sini, aku minta KTP-mu untuk booking hotel nanti malam," pinta Dokter Fredy. Walau Rena keberatan, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Lagipula, uang muka untuknya sudah ditransfer oleh Dokter Fredy. Rena mengeluarkan kartu itu dari dompetnya, lalu menyerahkannya ragu. "Ok, terima kasih," ujar Rena, langsung berbalik meninggalkan ruangan itu. 'Haruskah? Haruskah aku mengucapkan terima kasih pada orang itu?' bisik hati Rena. Ah, dia tidak peduli, setidaknya sesak itu sudah mulai berkurang. Sebelum kembali ke ruang perawatan, Rena menyempatkan diri mengambil uang di ATM. Dia terhenyak, saat mendapati jumlah uang yang fantastis di matanya. Tak pernah ia melihat jumlah uang sebanyak itu. Lima puluh juta rupiah. Mungkin jumlah yang pantas untuk membayar rasa sakit hatinya nanti. Bahkan mungkin kurang, pikirnya. Saat ini yang terpenting adalah kesembuhan ibunya. Rena segera mengambil jumlah yang diperlukan, lalu segera ke apotek untuk menebus resep. "Keluarga Ibu Lastri!" Seorang suster masuk ke ruangan. Rena menoleh lalu bangkit. "Ya, Sus?" "Besok Ibu Lastri sudah dijadwalkan operasi, siang sekitar pukul satu. Bersiap saja ya. Nanti Bu Lastri harus puasa dulu," jelas suster itu. Terasa ada angin segar yang menerpa wajah Rena. Sesak itu perlahan sirna. "Baik, Sus. Terima kasih," jawab Rena. Binar mata itu mulai bersinar. Awan hitam yang menyelimutinya mulai sirna perlahan. "Ren, ibu dioperasi besok?" tanya Lastri. Rena mengangguk yakin. "Uang dari mana Ren? Kamu tidak melakukan hal yang dilarang Tuhan, kan?" tanyanya. Rena bergeming. Namun, kemudian menggeleng. "Rena pinjam dari seorang teman, Bu. Rena janji akan membayarnya secara dicicil," ujar Rena berbohong. Lastri menarik nafas lega. "Ah, syukurlah. Baik sekali temanmu itu, Ren. Nanti ibu mau ketemu sama dia ya?" Dijawab anggukan oleh Rena. "Ibu, istirahat saja, fokus sama kesembuhan Ibu. Tidak perlu memikirkan apa-apa, ya?" Senyuman palsu tersungging di bibir gadis itu. "Nanti malam, Rena mau pulang dulu sebentar ya, Bu. Mau nengok keadaan Bayu." Rena kembali berbohong. Kedatangan Rena di Hotel Amaris, disambut dengan ramah oleh dua orang resepsionis cantik. "Selamat malam, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?" "Mmh, saya mau nanya kamar yang sudah dibooking atas nama Rena Aleandra," jawabnya sedikit gemetar. "Tunggu sebentar ya, Mbak. Oh, kamar nomor 308, Mbak. Silakan langsung ke lantai tiga," jelas salah satu resepsionis. Rena mengangguk lalu berterima kasih. Ada sedikit ragu dalam hatinya. Lebih tepatnya lagi sebuah ketakutan. Takut akan dosa, takut akan masa depan yang ternoda, juga takut jika nanti mengecewakan ibunya. Namun, apa yang bisa dilakukan lagi sekarang? Dia sudah tidak bisa berbalik arah. Sebagian uang malah sudah terpakai menebus obat. Rena menghela nafas panjang dan mengembuskannya kasar. Dari pintu lift yang terbuka, Rena bisa langsung melihat jika ruangan itu berada di deretan ke empat sebelah kanan. Walau takut, dia tetap harus melanjutkan perjanjiannya. Rena mengetuk pintunya pelan. Terdengar sahutan dari dalam. "Masuk saja, tidak dikunci!" Suara itu. Jelas sekali, bagaikan terompet Sangkakala yang akan menghancurkan dunia gadis itu. Rena memejamkan matanya saat membuka pintu. Mengumpulkan serpihan demi serpihan kekuatan yang entah ke mana perginya. Ketakutan itu masih saja meraja di hatinya. "Masuklah, Cantik!" sapa lelaki itu. Matanya penuh nafsu durjana. Rena berdiri mematung sesaat setelah menutup pintu. "Ayo, sini, jangan takut!" ujarnya lagi. Namun, entah kenapa justru makin membuat nyalinya ciut. Haruskah membatalkan transaksi ini, sebelum semuanya terjadi? bisik hati Rena. Namun, kala teringat ibunya yang terbaring lemah, dia kembali membulatkan tekadnya. Dokter Fredy bangkit dari posisi duduknya di tempat tidur. Mendekat pada Rena yang memejamkan mata untuk mengurangi rasa takut. Tangan kekar itu, mata nyalang itu, melucuti satu demi satu kain yang menutupi setiap inchi tubuh Rena. Lalu, menariknya tanpa ampun ke dasar jurang penuh semak belukar. Gadis itu bergeming. Bulir itu mengalir tak tertahan dari sudut matanya. Merasakan sakit di tubuh juga hatinya. 'Ibu, aku rela menapaki neraka ini, demi menggapai surga di kakimu!' jerit hati Rena. Ruangan mewah itu menjadi saksi seorang gadis yang kehilangan kesuciannya juga masa depannya. "Kamu cantik, calon suamimu kelak pasti takkan keberatan walaupun kamu sudah tidak perawan," ujarnya setelah merenggut segalanya. Rena terisak menahan sesak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN