Ibu Berjuanglah!

1697 Kata
Dokter Fredy meninggalkan Rena sendiri. Menyisakan sejuta sesal yang tak mungkin bisa diulang. Rena menangis hanya untuk melepaskan pedihnya hati. Diliriknya jam dinding yang menunjukan pukul 21.30, Rena bergegas merapihkan pakaiannya, dan segera beranjak dari hotel itu. Dia tidak ingin jika sang Ibu cemas, karena belum mendapatinya kembali hinggal selarut ini. Walau jiwa dan raganya sakit, Rena berusaha menyembunyikan serapih mungkin. Mengemasnya dengan sebuah senyum palsu, mengikatnya dengan kepura-puraan agar tak ada seorang pun tahu. Saat tiba di rumah sakit, seorang suster sepertinya sudah menunggu kedatangannya. Perempuan berseragam putih itu memanggil Rena dari tempat duduknya di Nurse Station. Rena pun mendekat. "Mbak, beberapa jam lagi Bu Lasti harus puasa, sebelum operasi. Dari jam satu malam nanti, Bu Lastri sudah mulai puasanya ya, Mbak. Sekarang masih boleh makan dan minum. Ini ada beberapa berkas yang harus ditandatangani oleh keluarga pasien," ucapnya, kemudian memberikan satu map berisi berkas yang ia jelaskan, membukanya, lalu menunjukan di mana saja Rena harus tanda tangan. "Jadi, sudah pasti besok ibu saya dioperasi ya, Sus?" tanya Rena memastikan. Suster itu mengangguk. "Insya Allah, Mbak. Jadwalnya sudah ada, dan Dokter Fredy pun sudah siap. Bu Lastri harus tenang jangan sampai tegang, apa lagi susah tidur nanti tensi darahnya jadi naik. Itu bahaya, Mbak. Tolong dibuat senyaman mungkin, ya!" pintanya, dibalas anggukan pelan oleh Rena. Hingga larut malam Rena tidak bisa tidur, memikirkan nasib ibunya juga hal yang telah terjadi antara dirinya dengan Dokter Fredy . Rena tidak akan bisa melupakannya sampai kapan pun. Sempat terbersit dalan hatinya jika dia tidak akan menikah seumur hidup. 'Siapa lelakinya yang bisa menerima barang bekas untuk dijadikan istri? Apa lagi jika lelaki itu tahu kesucianku telah diperjualbelikan,' batinnya. Karena lelah, tanpa sadar Rena tertidur di kursi, membungkuk, dengan kepala bersandar pada ranjang pasien. Begitu lelapnya hingga tanpa sadar sebuah pesan masuk ke ponsel bututnya. Dering suara ponsel menggelitik hati Lastri untuk membukanya. Sebuah kecurigaan yang bersarang membuatnya berani membuka ponsel anaknya. Dengan tangan gemetar dia memijit tombol pembuka pesan. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal membuat mata Lastri terbelalak. [Aku puas dengan pelayananmu semalam, jika kamu membutuhkan uang,kau bisa datang lagi padaku. Ibumu sudah kupastikan bisa operasi besok.] Tangan Lastri makin gemetar, jantungnya berdegup makin kencang, bulir-bulir di mataya ikut bergerombol keluar. Kekuatannya luluh, bagai kapas disiram hujan. Braakk!! Ponsel butut itu jatuh ke lantai. Membuat baterai serta penutupnya berhamburan. Suaranya mampu membuat Rena terjaga. Matanya yang merah menatap heran pada sang Ibu yang balik menatapnya nanar. Mulut Lastri bergetar tak mampu mengucap kata. Hanya derai air mata yang mampu mengungkap rasa. Rasa sakit, rasa perih, rasa malu dan amarah. "Bu, kenapa?" tanya Rena heran. "Apanya yang sakit, Bu? Rena panggilkan perawat ya?" Lastri menggeleng kuat, air matanya makin tumpah. "Perutnya sakit?" Rena kembali bertanya. Lastri pun kembali menggeleng, dia menunjuk dadanya. Dia menahan sesak dengan isak. "Di sini sakitnya, Ren. Di sini!" Lastri menepuk dadanya. Rena meraih bahu ibunya yang berguncang karena tangis. "Kau membuat ibu malu, Rena! Kau kira ibu tidak akan tahu dengan kebobrokanmu, hah?!" tuding Lastri. Kening Rena mengernyit tak paham. "Maksud Ibu apa? Rena nggak ngerti, Bu .... " "Kau jual diri untuk mendapatkan uang kan? Kau jual diri untuk menukar kesembuhan ibumu ini kan? Kau pikir ibu tak akan tau, Rena! "Kau tidak akan mendapat apa-apa dengan mengorbankan dirimu untuk ibu, Rena. Kau tidak akan meraih surga, kau justru menarik ibu dan ayahmu ke dalam neraka!" Mata Rena membulat. Dia syok karena ibunya tahu yang sebenarnya. Perlahan dia lepaskan tangan dari ibunya. Rena luruh bersimpuh di bawah brankar. Dia bersujud memohon ampun pada sang Ibu. "Ampuni Rena, Bu. Rena sudah tidak memiliki cara lain untuk mendapatkan uang banyak dalam waktu sekejap. Rena khilaf, Bu. Rena takut kehilangan Ibu. Maafkan Rena ... Bu .... " Tangis Rena akhirnya pecah. Melihat itu Lastri menurunkan kakinya ke lantai. Dia raih pundak sang anak yang masih bersujud. Rena bangkit. Kedua pasang mata sembab mereka bertemu. Rasa sayang membuat mereka menghambur saling memeluk erat. "Harusnya ibu yang minta maaf sama kamu, Nak. Ibu sudah menyusahkanmu. Ibu telah menyeretmu ke dalam lumpur yang dalam, dan membuatmu sesak sendirian. "Jika tahu begini, ibu lebih memilih mati saja, Nak. Sakit ini telah membuatmu celaka. Ibu tak rela, Nak." Bahu Lastri berguncang. Rena pun menahan isaknya. "Rena rela, Bu. Rena rela melakukan apa pun demi kesembuhan Ibu. Berjuanglah agar kita bisa bersama," pinta Rena makin mengeratkan pelukan. Lalu terasa olehnya sebuah anggukan. *** Selepas Zuhur, Rena menunggu ibunya di pintu keluar ruang operasi. Sedangkan Lastri sudah dibawa sejak satu jam yang lalu. Entah kenapa mereka sudah membawa ibunya beberapa jam sebelum jadwal yang telah ditentukan. Rena hanya bisa pasrah dan berdoa. Dua jam kemudian beberapa suster keluar dari ruang operasi mendorong sebuah brankar. Rena yakin sekali jika itu ibunya. Segera dia hampiri. "Suster, bagaimana kondisi ibu saya?" cecarnya penasaran. "Operasinya berhasil, sekarang pasien mau dibawa ke ruang pemulihan. Nanti juga dibawa kembali ke ruang perawatan. Mbak tunggu saja!" jawab salah satu suster tanpa berhenti dahulu. Mereka terus mendorong brankar itu ke sebuah ruangan yang lain. Rena menghela napas menghilangkan jengah. Berharap mulai hari ini nasib baik akan berpihak padanya. Rena memutuskan menunggu ibunya di luar. Setidaknya bisa menghirup udara segar. Dia baru teringat dengan ponselnya yang malam tadi terjatuh. Belum sempat dia nyalakan lagi. Ponsel jadul yang hanya bisa untuk telepon dan berkirim sms itu Rena betulkan posisi baterai, lalu menyalakannya. Setelah menyala, dia buka folder pesan. Ada sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Rena membuka, dan seketika matanya terbelalak. Tidak salah lagi, pesan itu pasti berasal dari Fredy, orang yang 'membelinya' semalam. Tubuh Rena mendadak lemas. Dia pejamkan matanya lalu mendongak dan menbuang nafas kasar. 'Pantas saja ibu bisa sampai tahu,' batinnya. 'Bagaimana Dokter Fredy bisa tahu nomorku?' pikir Rena. Ah, dia baru ingat kalau dokter itu pasti melihat dari data pasien. Rena mencantumkan nomor ponselnya di sana. Berselang satu jam, terdengar suara gaduh. Rena penasaran dengan yang terjadi, dia tolehkan wajahnya ke dalam. Beberapa perawat mendorong brankar keluar dari ruang pemulihan. Hati Rena mulai berdebar, takut sesuatu terjadi pada ibunya. Rena coba mendekat, bertanya pada perawat yang bertugas. "Ada apa, Sus?" tanya Rena. "Pasien tidak bereaksi, jadi dibawa ke ICU," jelasnya. Rena terpaku sesaat. Timbul pertanyaan dalam hatinya, 'apakah itu ibunya?' Rena segera menyusul perawat tadi menuju ruang ICU. Terlihat para perawat itu masuk ke dalam ruangan, sementara Rena ditahan tidak diperbolehkan masuk. "Maaf, Mbak silakan tunggu di luar!" ucap salah satu perawat lalu menutup pintu kaca itu. Rena kembali kecewa. Selama beberapa hari, sang ibu mengalami koma. Rena hanya bisa menungguinya di luar ruang perawatan. Beberapa kali Rena bertemu dengan Dokter Fredy, entah mengapa ada rasa risih juga malu saat bertemu dengannya. Namun, kali ini Rena beranikan diri mendekat saat jadwal dokter itu mengontrol kondisi ibunya. "Dokter, bagaimana kondisi ibu saya?" tanya Rena berusaha setenang mungkin. Ada beberapa perawat bersamanya. "Kami sedang berusaha, berdoa saja semoga ibumu lekas sadar," jawabnya tenang. Ingin rasanya Rena marah pada dokter itu, tapi marah untuk apa? Toh sebenarnya lelaki itu sudah berusaha sampai titik ini untuk kesembuhan ibunya. Rena mengangguk pasrah. Sudah empat hari Lastri berada di ICU, belum ada perkembangan yang signifikan. Rena hanya bisa pasrah. Teringat kata-kata ibunya waktu itu, jika dia ingin mati saja daripada merepotkan anaknya. "Ibu ... jangan sia-siakan pengorbananku, Bu," gumamnya lirih di sela doa yang selalu terucap. Hari itu, Rena pulang dulu untuk melihat keadaan Bayu. Adiknya itu dia titipkan pada tetangga dekatnya, juga sahabatnya, Ratna. Memang, hanya keluarga Ratna lah yang selama ini baik padanya. Rena merasa tak enak hati karena terlalu lama merepotkan keluarga Pak Eman, ayah Ratna. Rena tahu jika kondisi keluarga Ratna tak jauh beda dengannya. Hanya sebuah keluarga miskin. Saat Ratna menengok ibunya di rumah sakit, Rena menitipkan Bayu pada Ratna, tak lupa Rena pun menitipkan uang untuk makan adiknya itu. Sesampainya di rumah, ternyata Bayu sedang bermain bersama anak-anak lainnya di halaman. Saat melihat kedatangan kakaknya, Bayu berlari menghambur memeluk Rena. Bau prengus menguar tercium oleh Rena. Dia usap puncak kepala adiknya itu. "Mbak, Ibu mana? Kok nggak pulang bareng Mbak?" tanyanya polos. Rena tersenyum. "Ibu belum boleh pulang. Ayo masuk, mbak bawain kamu makanan," ajak Rena sambil menunjukan bungkusan yang dibawanya. Bayu mengangguk bahagia. Rena menaruh sebungkus nasi rames dengan ayam goreng di atas piring dan memberikannya pada Bayu. Menaruh lagi satu bungkus lainnya untuk dia makan sendiri. Mereka duduk berhadapan di atas tikar lusuh. Rena bahagia melihat adiknya makan dengan lahap. Dia terharu karena Bayu jarang sekali bisa makan enak. Suapan pertama hendak Rena suapkan ke mulutnya, saat dering telepon berbunyi dari ponselnya. Rena segera mengangkatnya, takut jika telepon itu dari rumah sakit. "Mbak, tolong segera ke sini. Ibu Lastri sudah ... mmh ... sudah meninggal." Mata Rena membulat dengan mulut menganga tak percaya. Ia segera bangkit dan meninggalkan Bayu dalam keheranan. "Mbak ... mau ke mana lagi? Kenapa makannya gak diabisin?" teriak Bayu dari ambang pintu. "Nanti saja, Bayu. Mbak harus ke rumah sakit lagi. Kamu tunggu saja di rumah ya. Habisin makanannya!" ucap Rena sambil berbalik sesaat. . Rena segera menuju ruang ICU. Dilihatnya sang ibu yang masih terbaring di sana. Tertidur tenang bagai orang yang tengah terlelap. Tanpa ada gerakan sedikit pun. Rena menghampirinya. Menyentuh tubuh kurus itu yang kini kaku. Air matanya tak bisa dibendung lagi. Tangis penyesalan, tangis kehilangan, dan entah untuk rasa sakit yang mana lagi dia keluarkan. "Atas perintah Dokter Fredy, kami belum memindahkannya ke kamar mayat. Katanya tunggu Mbak Rena kembali," ucap seorang perawat. Rena menoleh lalu mengangguk. "Saya akan langsung membawanya pulang saja, Sus," jawab Rena yang juga dibalas anggukan oleh perawat itu. Lalu perawat itu pun pergi meninggalkan Rena sendiri. Rena pandangi wajah tua dan kurus itu. Bagai tulang berbalut kulit. Dia sentuh lalu dia ciumi keningnya lama. Tangisnya pecah walau dia tahan dalam isakan. "Maaf, aku sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi ...." "Sudahlah, aku tidak perlu penjelasan darimu. Tinggalkan aku sendiri dengan ibuku!" potong Rena. Lelaki berbadan tegap itu tidak memaksa. Dia pun berlalu dengan wajah sayu. Rena kembali ke rumah dengan ambulans. Saat tiba di rumah sudah terpasang tenda juga kursi-kursi. Ada sedikit rasa heran di hati Rena, siapa yang menyiapkan semua itu? Segala sesuatunya sudah tersedia, berbagai makanan juga air mineral kemasan untuk para pelayat. Entah siapa tetangga yang sudah begitu baik menyiapkan ini semua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN