“Nak … Ibu ingin meminta tolong sebentar,” ucap sang ibu kepada Cila yang membantunya menyiapkan sarapan pagi. Cila sendiri sudah menggunakan baju rapinya. Tidak terlalu bagus juga, karena nantinya setelah sampai kantor, Cila akan berganti seragam office girl yang katanya akan diberikan hari ini.
“Iya, Bu?” sahut wanita yang masih muda ini.
“Begini. Apa kamu ada simpanan uang? Ibu boleh pinjam sebentar, Nak? Nanti Ibu akan ganti kalau Bu Asri sudah bayar jasa Ibu. Adikmu harus segera membayar biaya sekolah bulan ini. Ibu sudah menunggak dua bulan,” kata sang ibu yang membuat dadaa Cila terasa sesak. Perekonomian keluarga adalah hal yang paling sering jadi masalah di rumah ini.
Cila tersenyum, kemudian dia mengambil tas kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana. Wanita ini mengeluarkan dompetnya yang tampak sudah cukup lusuh. Namun Cila tetap mempertahankannya karena dia pikir itu masih bisa dipakai.
Setelah mengambil apa yang dia cari, wanita ini kembali ke tempat sang ibu. “Ini, Bu. Itu mungkin cukup untuk bayar sekolah adik sampai bulan depan. Setelahnya kita bisa gunakan gajiku nanti,” kata Cila yang memberikan beberapa lembar uang kepada sang ibu.
Wanita paruh baya itu pun tampak terharu karena sering menyusahkan putrinya. Wanita ini langsung memeluk sang anak. “Terima kasih, Cila. Maafkan Ibu juga karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kalian,” katanya sembari menahan tangis.
Cila memaksakan senyumnya sembari membalas pelukan sang ibu. “Tidak apa-apa, Bu. Cila bisa sampai lulus kuliah saja sudah senang. Meskipun pekerjaanku sekarang hanya sebagai office girl, tapi semoga ke depannya aku bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik lagi.”
“Ibu akan berdoa untuk kebaikan kita semua. Ya sudah kamu panggil adikmu, kita sarapan bersama.”
Wanita muda itu pun mengangguk. Kemudian mencuci tangannya sebentar dan segera pergi menuju ke kamar sang adik. Cila tinggal di rumah yang tak begitu besar, namun rumah ini memiliki tiga kamar yang masih bisa dipakai. Akan tetapi kamar ketiga sangatlah kecil dan itu dipakai oleh Cila.
Saat membuka kamar adiknya, Cila melihat sang adik yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Tampak bocah laki-laki itu menoleh ke arah pintu sembari tersenyum. Cila menghampiri adiknya yang terlihat sedikit kesusahan menggunakan dasi. Cila berinisiatif untuk membantu.
“Tidak usah, Kak. Ajil bisa sendiri,” katanya. Cila pun mengalah dan memilih untuk membantu sang adik membersihkan kamarnya, lebih tepatnya area kasur yang tampak sedikit berantakan.
“Kakak sudah katakan selepas bangun tidur langsung bersihkan kasurmu.”
“Aku akan melakukan setelah selesai bersiap-siap, Kak.”
Cila menoleh, menatap sang adik yang sudah selesai memakai dasinya. “Kakak bilang setelah bangun tidur, bukan setelah selesai bersiap-siap. Kalau kamu menundanya, kamu bisa lupa.”
Bocah itu pun mendengkus pelan. “Kak Cila semakin cerewet seperti Ibu. Kalau saja kita bisa kembali ke asal kita, pasti akan ada yang membersihkan tempat tidurku.”
Gerakan Cila yang merapikan selimut milik adiknya pun terhenti. Wanita ini menatap tangannya sebentar, kemudian dia kembali mengingat masa lalu.
Bertahun-tahun yang lalu saat sang adik masih kecil, Cila tampak begitu bahagia bermain dengan Ajil bersama aneka terumbu karang dan ikan cantik. Namun, pada suatu hari tiba-tiba terjadi hal dahsyat di tempat tinggalnya, lebih tepatnya di samudera. Biasanya lautan itu tampak tenang, namun semuanya tiba-tiba menjadi heboh dan getaran di mana-mana.
Lalu sang ibu membawa Cila dan Ajil pergi ke daratan. Cila yang masih kecil pun tidak mengerti apa yang terjadi saat itu. Yang lebih tak ia mengerti adalah, kenapa sang ayah tidak ikut bersama mereka kala itu. Cila tak berani bertanya karena dia melihat ekspresi wajah sang ibu yang benar-benar berbeda. Hingga sebesar sekarang pun dia tak bertanya apa pun.
“Kak,” panggil Ajil sembari menggoyangkan bahu kakaknya. Cila yang tadinya melamun pun akhirnya tersadar.
“Kamu sudah selesai? Ayo kita ke meja makan. Ibu sudah menunggu, Kakak juga harus pergi bekerja.” Cila dengan segera menyelesaikan tugasnya. Dia membawa sang adik keluar kamar. Dan sang ibu sudah menunggu keduanya di meja makan.
“Ibu. Beberapa hari lagi akan ada acara di sekolah. Orang tua boleh datang. Ajil nanti akan ikut mengisi acaranya.”
“Kamu akan mengisi sebagai apa, Ajil?” tanya sang ibu.
“Ajil akan jadi pangeran di drama, Bu.”
“Wow. Bagus itu. Tapi, apa kamu bisa memerankan tokoh itu?” sahut Cila.
Ajil mengangguk dengan percaya diri. “Bisa dong, Kak. Aku masih ingat bagaimana ayah bertugas. Ingatanku tidak akan lupa,” kata bocah ini yang tiba-tiba saja membuat suasana di meja makan menjadi canggung.
Ajil pun terdiam, menatap bingung ibu dan kakakny. Cila melirik sang ibu yang tampak terdiam begitu saja. untuk membalikkan suasana, Cila pun berdeham dan mulai mengalihkan pembicaraan. “Oh iya, bagaimana jika Kakak ikut datang? Boleh?”
Seketika senyum cerah terlihat di wajah bocah laki-laki itu. “Boleh, Kak. Semua keluarga boleh datang,” katanya.
“Jangan, Cila. Kamu baru saja masuk bekerja. Kalau kamu datang ke sekolah Ajil, bagaimana dengan pekerjaanmu? Tidak etis sekali jika tiba-tiba kamu minta libur. Di awal seperti ini akan susah juga meminta libur,” ucap sang ibu yang menyadarkan Cila akan perannya. Namun, sepanjang Cila hidup, dia tak pernah meninggalkan momen penting di hidup sang adik. Dia ingin Ajil bahagia meskipun mereka sangat jauh dari rumah dan bertahun-tahun tidak bertemu dengan sang ayah yang bahkan tidak tau di mana sekarang.
“Nanti bisa aku bicarakan, Bu. Mungkin boleh.”
“Ya sudah terserah padamu, jangan terlalu dipaksakan. Ayo habiskan sarapannya sebelum kalian nanti terlambat.”
***
Ini baru hari pertama, seharusnya Cila bisa menjalankan pekerjaannya dengan baik. Akan tetapi Reynart tampak tak membiarkan wanita ini hidup dengan baik apalagi kalau bukan karena kejadian kemarin. Cila pun sudah menyadari kesalahannya, dia juga sudah minta maaf kepada Reynart. Namun pria itu masih saja mengibarkan bendera perang kepada wanita ini. Cila di landa kebimbangan. Jika dia membalas perbuatan Reynart, dirinya terancam di pecat. Sedangkan keluarganya sangat butuh uang sekarang. Pekerjaan sangat sulit di cari di jaman saat ini.
Untuk ke empat kalinya Cila masuk ke ruangan Reynart membawakan minuman pria itu. Cila harus bolak-balik sampai Reynart menemukan rasa minuman yang ia mau. Cila yang sudah dilanda kebosanan dan lelah harus bolak-balik dari lantai bawah ke lantai atas pun sudah berada di batas kesabaran.
Reynart mencicipi minumannya sedikit, Cila tampak mengembuskan napas berat. Entah kenapa dirinya harus terjebak dengan pria tak berperasaan seperti Reynart.
Reynart pun mengangguk dan meletakkan cangkirnya lagi. Kemudian dia menatap Cila yang masih menunggu dirinya berbicara. “Sudah cukup. Ini pas,” kata pria tersebut. Cila pun bernapas lega. “Lain kali buatkan yang seperti ini. Jika salah lagi, bersiaplah untuk mengulang.”
Cila ingin memaki-maki Reynart karena sejak tadi dia hanya berjibaku dengan minuman Reynart sedangkan pekerjaan yang lain masih banyak untuk dilakukan. “Iya, Pak,” jawab Cila yang setengah ogah-ogahan.
“Ada apa dengan ekspresi itu? Kau tidak mau melakukannya?”
Cila menggeleng dengan panik. “Eh tidak, Pak. Saya mau, kok. Ya sudah saya permisi dulu ya Pak ada pekerjaan lain.” Reynart mengangguk dan membiarkan Cila pergi. Saat wanita itu keluar bertepatan dengan Flora yang akan mengetuk pintu Reynart. Cila pun buru-buru pergi.
“Hei, kamu. Tunggu sebentar.” Flora menghampiri Cila. Cila pun mengernyit dan tampak siaga, takut jika dia melakukan kesalahan di hari pertama kerja.
“Iya, Mbak?”
“Mbak. Mbak. Kamu kira saya mbakmu. Panggil aku Nona Flora,” kata Flora dengan ekspresi yang begitu angkuh. Cila mencoba bersabar. Memang bawahan tak jauh berbeda dengan atasannya. Reynart sudah menyebalkan, dan Flora juga sama menyebalkannya.
Flora menjetikkan jarinya karena melihat Cila yang bengong. “Hei. Kamu mendengarkan yang aku bilang tidak?”
“Iya, Nona. Saya dengar. Ada apa? Apa ada yang bisa saya bantu?” kata Cila cepat.
“Bawakan aku minuman ke ruanganku. Sebelum aku kembali ke ruangan, minumannya sudah harus ada di atas meja,” ucap Flora di sana. Cila pun mengangguk, dia pun pamit pergi saat itu juga karena tak ingin terlambat. Flora pun tersenyum sinis menatap kepergian wanita itu sebelum akhirnya dia masuk ke ruangan Reynart.
“Ini dokumennya, Pak,” kata Flora sembari memberikan map kepada Reynart. Pria itu pun membaca lebih dulu dokumen yang Flora berikan. Flora melirik gelas di meja Reynart, pasti tadi Cila habis mengantar minuman Reynart.
“Semuanya sudah benar dan sudah aku tanda tangani,” kata Reynart menutup dokumen tersebut. Flora pun mengambil alih mapnya. “Oh iya, Flora. Kamu bawakan dokumen data diri mengenai wanita kemarin alias office girl baru di kantor kita.”
Flora pun mengernyit. Tumben Reynart mau berurusan dengan hal seperti ini. Biasanya sepenuhnya diberikan kepada pihak HRD atau Elijah. “Aku harus mengeceknya. Elijah masih libur, jadi tidak mungkin baginya mengecek data diri wanita itu,” jelas Reynart yang bisa membaca pikiran wanita di depannya ini. Flora pun mengangguk dan pamit undur diri.
Saat keluar dari lift, dia berpapasan dengan Cila yang akan mengantarkan minuman ke ruangan Flora. Cila pun tampak terkejut saat itu. “Kau. Tunggu di ruanganku, jangan pergi dulu,” perintah Flora. Cila hendak protes namun diurungkan karena Flora tampak buru-buru berbelok ke ruangan HRD untuk meminta data Cila.
Dengan hati-hati Cila pun meletakkan minuman milik Flora. Kemudian wanita ini menunggu di sofa yang tersedia di sana. Sesekali dia memperhatikan ruangan Flora yang tampak begitu baik dibandingkan dirinya yang hanya di area dapur saja. Padahal impian Cila adalah bisa bekerja di ruangan yang bagus.
Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan membuat kepala Cila reflek menoleh dan berdiri dari duduknya. Flora yang melihat Cila pun tampak memutar bola matanya malas. Dia mendekati Cila dengan tangan yang bersedekap.
“Aku tidak tau apa tujuanmu melamar di sini dan datang ke sini. Tapi karena kau masih awal di sini, hanya satu hal yang ingin aku peringatkan padamu. Jangan sekali-kali coba untuk mencari perhatian Pak Reynart. Jangan coba-coba untuk mendekatinya atau malah berpikir untuk mendekatinya. Jika hal itu terjadi, maka bersiaplah untuk pergi dari kantor ini.”
Cila mengernyit ketika menyadari jika nadanya terdengar seperti sebuah ancaman. Apa ini? Bahkan dia sama sekali tak berniat apa lagi tertarik mendekati pria itu. Jika bisa Cila pasti akan angkat kaki dari kantor ini. Tapi dirinya tak ada pilihan lain sekarang.
“Nona Flora tenang saja. Saya di sini hanya untuk bekerja, memenuhi kebutuhan keluarga saya. Untuk mendekati apalagi mengambil perhatian Pak Reynart sama sekali tidak ada dalam pikiran saya. Dan saya juga tidak tertarik dengan beliau.”
Flora melotot karena perkataan Cila terkesan bila Reynart sama sekali tak menarik. “Kau … argh, pergi dari ruanganku,” usir Flora yang malah kesal sendiri. Cila pun beranjak pergi saat itu juga dengan wajah puas. Cila sekarang sadar jika Flora pasti menyukai Reynart. Karena takut posisinya tergantikan, dia memperingati Cila saat itu juga. Cila pun tertawa sendiri, dia tentu tak akan tertarik dengan pria menyebalkan seperti Reynart. Ya, dia tak akan tertarik.