Bagian 4

1822 Kata
Kesialan melanda Cila sekarang. Hujan melanda di sore hari ketika dia akan beranjak pulang. Sebenarnya bukan hanya dia saja yang terjebak di halte bus, tetapi beberapa pengguna jalan lainnya juga ikut terjebak di sana. Cila berharap hujan bisa cepat reda karena tidak mungkin dia menembus hujan untuk sampai ke rumah. Belum sampai saja dia pasti sudah akan basah semua. Lagi pula rumahnya cukup jauh dari halte bus ini. mungkin sekitar sepuluh menit jika berjalan kaki. BRAKKK Benturan keras tiba-tiba saja terdengar. Semua orang yang ada di sekitar pun tampak terkejut dan teriak, tak terkecuali Cila juga. Tabrakan terjadi tepat di depan halte di mana sebuah mobil hitam menabrak pembatas jalan. Semua orang tampak panik, Cila pun juga sama. Mereka di ambang kebimbangan untuk membantu atau tidak karena hujan masih sangat deras. Mungkin karena licinnya jalanan, jadi mobil tidak bisa melaju dengan begitu baik, jadi kecelakaan pun tak terhindarkan. Akhirnya beberapa pengguna jalan yang menggunakan payung pun menghampiri mobil yang menabrak itu. Kemudian mengeluarkan si pengendara yang tampak tak sadarkan diri. Karena hanya halte satu-satunya tempat untuk berlindung terbaik, jadi si pengendara terpaksa di bawa ke sana. Darah mengucur dari belakang kepala, semua orang tampak histeris. “Panggil ambulance.” “Panggil polisi juga.” “Darahnya keluar dari sana.” Semua orang tampak panik di sana. Cila yang memang badannya cukup kecil terlihat kesusahan untuk melihat si pemilik kendaraan. Namun dengan sekuat tenaga wanita ini pun mencoba menerobos kerumunan. Terlihat seseorang sedang mencoba membantu mengurangi pendarahan di kepala si korban. Cila mengernyit ketika tampak tak asing dengan jas ini ditambah lagi jam tangan yang digunakan oleh si korban tabrakan. Cila pun sedikit menunduk untuk melihat lebih jelas wajah orang itu. Setelah berhasil melihatnya, seketika bola mata Cila pun melotot. “Pak Reynart?” lirihnya. Cila memang memiliki ingatan yang tajam seperti dia masih ingat jas dan jam tangan yang Reynart pakai hari ini. “Anda kenal dengan pria ini?” tanpa sengaja lirihannya terdengar oleh salah satu pengguna halte tersebut. Seketika beberapa orang menatap wanita ini. Cila pun tertangkap basah, padahal dia enggan untuk berurusan dengan atasannya itu. Tapi melihat Reynart yang berlumuran darah membuat Cila jadi tak tenang. “Dia atasan saya,” ungkap Cila kala itu. “Kalau begitu hubungi keluarganya,” kata pengguna jalan lain. “Saya tidak tau siapa keluarganya. Saya baru saja bekerja hari ini,” jawab Cila kembali. Ambulance pun datang. Semua orang membantu memasukkan Reynart ke dalam ambulance. “Mbak. Kamu ikut ambulance juga. Karena kamu kenal dengan korban,” kata salah satu pria di sana. Cila pun melotot. Kenapa jadi dia yang harus mengantar Reynart? Padahal Cila berharap bisa pulang dengan selamat. Namun, karena terus didorong, akhirnya Cila pun ikut menemani Reynart bersama dengan satu pengguna jalan lainnya yang sejak awal membantu Reynart. “Oh iya Mbak. Ini saya titipkan barang berharga beliau. Akan jauh lebih baik jika diamankan lebih dulu. Tadi saya buru-buru amankan karena takut ada tindakan kriminal terjadi di sekitar seperti pencurian.” Cila menerima dompet dan ponsel Reynart dengan hati-hati, kemudian menyimpannya di dalam tas. Wanita ini sedikit meringis ketika darah masih saja mengucur di belakang kepala Reynart yang dibawa menggunakan brankar rumah sakit. Satu pria yang bersamanya tampak membantu mendorong brankar tersebut ke arah UGD. “Mbak tunggu di sini sebentar. Saya akan urus administrasinya dulu. Oh iya, nama pasien siapa?” “Reynart,” jawab Cila. Pria itu pergi meninggalkan wanita ini seorang diri di depan UGD. Cila menatap jam yang terletak di dinding. Embusan napas berat keluar dari mulutnya. Cila duduk di kursi tunggu. Lebih baik dia menghubungi sang ibu lebih dulu jika akan terlambat pulang hari ini. Reynart mengerjapkan matanya secara samar-samar ketika melihat cahaya terang di atasnya. Kemudian dia merasakan ada seseorang di sekitarnya. Reynart mencoba mengingat kembali hal yang terjadi. Dia mengingat jika terjadi tabrakan saat itu karena Reynart mendapat komunikasi dari Wizard Berta selama perjalanan pulang dari kantor. Dan kabar dari Wizard Berta membuat Reynart terkejut sehingga hilang kendali dan pada akhirnya terjadilah kecelakaan. Reynart tiba-tiba terbangun dari tempatnya, membuat dokter yang saat itu menanganinya nampak terkejut. Tidak, dia bisa sembuh dan tak butuh perawatan seperti ini. Reynart memegangi kepalanya yang terbungkus kain kasa. “Anda harus istirahat,” kata dokter. Renart menggeleng, dia berusaha untuk turun dari ranjang, namun dengan cepat di cegah oleh dokter dan suster. “Apa yang Anda lakukan?” “Saya harus pergi,” kata Reynart dengan pandangan datarnya. “Anda belum sembuh, masih butuh perawatan.” Reynart membuka paksa infus di tangannya. Penanganan manusia tak akan ada artinya bagi makhluk seperti Reynart ini. Dari dulu dia tak pernah sekalipun pergi ke rumah sakit. “Saya akan membayar segala biaya rumah sakitnya, tapi biarkan saya pergi sekarang,” ucap Reynart kepada sang dokter yang menghadang di area pintu UGD. “Saya adalah dokter. Tugas saya adalah memastikan semua pasien tertangani dengan baik. Jika Anda pergi dan terjadi sesuatu yang lebih buruk di luar sana, maka rumah sakit akan terkena masalah. Status saya sebagai dokter juga akan mendapat masalah,” kata sang dokter. “Siapa yang membawa saya ke sini?” tanya Reynart. “Sepasang pria dan wanita. Mereka berada di luar. Sekarang saya minta Anda kembali ke atas ranjang. Ikuti prosedur rumah sakit kami,” perintah si dokter. Reynart mengembuskan napas berat, dia pun akhirnya mengalah dan kembali ke ranjang. Cila yang menunggu pria tadi pun terlihat lega ketika orang itu sudah kembali. “Ini. Ambillah. Sepertinya Anda kedinginan karena hujan di luar.” Orang tersebut memberikan minuman hangat kepada Cila. Cila pun menerimanya dengan tidak enak hati. “Terima kasih.” “Sama-sama. Apa dokter belum keluar?” Cila menggeleng sembari meminum miliknya. “Kamu tidak coba menghubungi keluarganya? Mungkin di ponsel itu ada nomor yang bisa dihubungi,” saran pria yang belum Cila ketahui namanya tersebut. “Ah iya, aku lupa. Sebentar aku cek.” Wanita ini pun mencari ponsel Reynart. Setelah menemukannya, dia mencoba menghidupkan ponsel tersebut, namun tidak hidup. “Sepertinya ponselnya matii karena tabrakan tadi,” ucapnya kemudian. “Mungkin. Semoga pria di dalam sana tidak mengalami hal yang cukup serius.” Cila mengangguk. Beberapa saat kemudian pintu terbuka, menampilkan visual sang dokter. Cila dan pria yang bersamanya pun segera menghampiri dokter tersebut. “Pasien sudah sadar. Apakah salah satu di antara kalian ada yang menjadi keluarganya?” Mereka berdua pun menggeleng. “sayang sekali. Jika ada keluarganya tolong katakan untuk tetap jaga pasien dan jangan biarkan dia kabur dari rumah sakit. Tadi saat penanganan, pasien sempat akan pergi. Lukanya masih harus diobati, jadi dia harus tetap tinggal di rumah sakit dalam beberapa hari ke depan.” Cila mengumpati Reynart dalam hati. Sedang sakit saja pria itu masih bisa bersikap menyebalkan. “Terima kasih, Dok untuk bantuannya. Kami akan menjaga pasien setelah ini sebelum keluarganya datang,” kata pria yang bersama Cila itu. Dokter mengangguk dan undur diri untuk pergi. “Sepertinya kita berdua sama-sama tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghubungi keluarganya. Satu-satunya jalan adalah menunggu pria itu bisa dijenguk.” Cila setuju dengan pria yang tak ia ketahui namanya itu. “Oh iya, kita belum saling mengenal. Perkenalkan, namaku Clif.” Cila menyambut dengan baik uluran tangan Clif. “Namaku Cila,” ucap wanita ini. Tidak beberapa lama suster ikut keluar. “Sus,” panggil Cila yang membuat suster itu berhenti melangkah. “Apa boleh kami menengok pasien?” tanyanya. Suster pun bergantian menatap Cila dan Clif di sana. “Boleh. Tapi jangan lama-lama karena pasien harus banyak istirahat untuk mengurangi traumanya.” Cila mengangguk paham. “Terima kasih, Sus.” “Sama-sama.” Suster pergi. “Bagaimana, Clif. Kamu mau masuk ke dalam?” tanya Cila saat itu. “Kamu mau masuk?” Cila mengangguk. Dia harus memastikan jika Reynart yang menyebalkan itu tidak matii sia-sia. Sungguh konyol. “Ya sudah aku akan ikut,” putus Clif. Cila membuka pintu, membuat Reynart yang tadinya akan istirahat pun langsung terjaga. Pria ini mengernyit ketika mendapat sosok office girl tersebut. “Kenapa kau ada di sini?” sembur Reynart secara langsung. Kalau bukan karena barang-barang Reynart yang masiha ada padanya, Cila tak mungkin sudi menemui pria ini. “Saya yang membawa Bapak ke rumah sakit,” ungkap Cila di sana. Reynart menatap curiga, kemudian dia menatap Cila dan Clif bergantian. “Saya juga yang membawa Anda ke sini bersama Cila. Tadi Anda mengalami kecelakaan di jalan, jadi saya ikut membantu,” jelas Clif dengan cepat agar tak jadi kesalahpahaman. “Ini dompet dan ponsel Bapak. Saya tadi hendak ingin menghubungi keluarga Anda, tetapi ponsel itu tidak mau hidup. Apa Bapak mau menghubungi keluarga? Saya bisa meminjamkan ponsel saya,” kata Cila sekaligus menawarkan kebaikan. Ya, siapa tau dengan dia bersikap seperti ini, Reynart tak membuatnya susah di kantor. “Tidak usah. Saya bisa melakukannya sendiri,” tolak Reynart mentah-mentah. Toh di ponsel pintarnya hanya ada nomor Elijah dan istri Elijah. Selebihnya Reynart tak menyimpan nomor siapa pun di ponsel itu. Cila yang mendapat penolakan itu pun sudah menduga jika Reynart ini memang tipe-tipe orang kaya yang menyebalkan. “Ya sudah kalau begitu karena urusan kami sudah selesai, saya dan Clif pamit pulang,” putus Cila. Reynart mengangguk dan membiarkan wanita itu pergi. Setelahnya tinggal Reynart seorang dalam ruang UGD. Reynart pun mengunci pintu lebih dulu agar tidak ada orang yang masuk. Dia harus mulai memusatkan pikirannya agar bisa menghubungi Wizard Berta dan meminta penjelasan lebih akan kabar yang di bawa oleh wizard tersebut. “Ibu, aku pulang.” Cila memasuki rumahnya dan tak lupa membuka alas kaki. Rumahnya tampak sepi, namun bau harum yang berasal dari dapur sudah menjelaskan semuanya. “Ibu di dapur, Nak,” teriak sang ibu. Cila pun menghampiri tempat ibunya. Dia mengisi air ke dalam gelas untuk minum. “Bagaimana dengan atasanmu? Apa dia baik-baik saja?” tanya wanita tua itu. Cila mengangguk. “Sudah, Bu. Oh iya, di mana Ajil?” “Sepertinya di kamar. Katanya untuk persiapan tampil, dia harus banyak berlatih. Kamu jangan ganggu adikmu ya, kasihan.” “Iya, Bu. Oh iya, Bu aku baru teringat sesuatu. Kita sudah berada di dunia manusia sejak lama. Dan kita cukup kesusahan dalam perekonomian, kenapa kita tidak menjual mutiara saja, Bu? Mutiara di dunia manusia ini dihargai cukup mahal loh, Bu.” Gerakan sang ibu yang sedang memotong sayuran pun terhenti. “Cila. Ibu sudah katakan jika kita tak akan melakukan itu. Jika kita terus-terusan menjual mutiara, itu pasti akan terlihat mencurigakan. Ibu tidak ingin identitas kita di ketahui oleh manusia. Jika mereka tau kita mermaid, maka nyawa kita bertiga terancam. Sudah ya, Ibu tidak ingin membahas hal ini lagi. Lebih baik kamu sekarang membersihkan diri dan segera bantu Ibu di dapur jika sudah.” Wanita ini pun berjalan dengan ogah-ogahan menuju ke dalam kamarnya. Dari dulu Cila memang sudah menyarankan ibunya untuk menjual mutiara saja, tetapi sang ibu menolak dengan alasan yang sama. Padahal itu mungkin akan jadi jalan terbaik untuk kehidupan mereka di dunia manusia. Hidup sebagai orang yang tak berkecukupan membuat Cila tampak sedikit tertekan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN