4 – Nona Angkuh yang Keras Kepala
Tak peduli betapa pun kau membencinya
Misi adalah misi
Brianna sama sekali tak menyangka Brian akan melakukan itu. Dia tampak sangat serius ketika menghadapi ranjau tadi. Apa dia pikir NDA akan menanam ranjau sungguhan di dalam gedung? Yah, mungkin petasan, tapi mengingat banyaknya agen yang masih sering terjebak dengan ranjau, opsi itu dibuang. Lagipula, penggunaan ranjau juga dilarang. Meski begitu, masih banyak organisasi atau negara tertentu yang tetap menggunakan ranjau.
Tapi bahkan meskipun kini para agen sudah mulai bisa mengenali keberadaan ranjau di bawah kakinya, NDA tetap tidak menggunakan ledakan untuk ranjau itu. Terlalu riskan memasang ledakan ketika para agen bahkan tak pernah bisa membebaskan diri dari semburan air itu.
Sejauh ini, cara Brian tadi adalah cara yang paling baik yang dilihat Brianna dalam menghadapi ledakan ranjau. Tapi tetap saja, Brian akan melukai tangannya. Meskipun dia benar juga. Bagi mereka, selama kaki mereka masih bisa bergerak, mereka masih bisa bertahan hidup, bagaimanapun caranya. Brianna juga cukup terkejut karena Brian mengorbankan tangannya demi menyelamatkan kaki Joe. Saat mereka pertama bertemu, ia tak tampak seperti orang yang akan melakukan itu.
Dibanding dengan jebakan di lift tadi, Brian menghadapi jebakan ranjau itu dengan jauh lebih baik. Sikap tenangnya saat menghadapi situasi tadi ...
“Kurasa kau memang memerlukan pakaian ganti,” Brianna mendengar Joe berkata.
Brianna menatap lurus ke depan, ke arah dinding kaca yang memantulkan dua pria tinggi di belakangnya itu. Joe mengamati pakaian Brian yang basah, bahkan hingga kemejanya. Yah, para agen NDA yang sudah mengantisipasi ranjau itu bahkan menyiapkan pakaian ganti sendiri.
Brianna mengamati jas hitam Brian tersampir di bahunya, sementara kemeja putihnya yang basah menempel di tubuhnya, menampakkan segalanya. Brianna segera mengalihkan tatapannya ketika menyadari Brian juga menatapnya dari dinding kaca di depan sana. Brianna merasakan wajahnya memerah. Tampaknya Brian tahu ke mana arah tatapan Brianna barusan.
Tapi astaga, Brianna harus mengakui, Brian benar-benar memiliki tubuh yang bagus.
“Selain jaga mulutmu, jaga juga pandanganmu, Nona,” sinis Brian di belakangnya.
Brianna berdehem. “Kurasa aku tahu kenapa kau menolak tawaran pakaian ganti dariku.”
Brian mengangkat alis. Kini Brianna hanya berani menatap mata pria itu, khawatir jika ia menatap ke bawah, wajahnya akan kembali memerah dan Brian pasti akan meledeknya tanpa ampun.
“Kau ingin memamerkan tubuhmu yang ... ehm, tidak terlalu buruk itu, kan?” sinis Brianna. “Kau ingin menunjukkan betapa kau sering berlatih dan bertugas di luar sana? Dasar tukang pamer,” lanjutnya dalam desisan.
Di sebelah Brian, Joe sudah tertawa. “Kau benar-benar serius menawarinya pakaian ganti?” tanya Joe kemudian.
Brianna menghentikan langkahnya untuk berbalik. “Tentu saja,” sahutnya tegas. Memangnya ia hanya bercanda menawarkan pakaian ganti? Bagaimanapun, memasang jebakan seperti itu, mereka bukannya tidak menyiapkan pakaian ganti untuk agen baru yang tidak membawa pakaian ganti.
“Yah, kau tidak terdengar serius tadi,” Joe melanjutkan.
Brianna mengerutkan kening. Begitukah? “Tidak, aku serius. Kami juga menyiapkan pakaian ganti untuk para agen. Mereka tidak membawa pakaian ganti di hari pertama mereka bekerja, sama seperti kalian hari ini.”
Joe mengangguk. “Akan lebih baik jika Brian bisa mendapatkan pakaian ganti. Seperti yang kau lihat, pemandangan dirinya dengan pakaiannya saat ini sangat mengganggu, kan?”
Brianna bisa merasakan wajahnya memerah, maka buru-buru ia berbalik. “Aku akan mengambilkan pakaian ganti setelah mengantar kalian ke ruangan kalian,” katanya dengan terlalu cepat.
Dari kaca di depan sana, Brianna bisa melihat Joe tersenyum geli, membuat Brianna mengumpat dalam hati. Sekarang ia mengerti apa peran mereka satu sama lain. Di saat yang satu serius, maka yang lain akan menjadi menyebalkan. Sekarang ia tahu kenapa Joe dan Brian disebut sebagai partner yang sempurna bagi satu sama lain. Ia bisa melihatnya sekarang.
“Omong-omong, saat tes masuk NDA, jebakan ranjau itu ...”
“Tidak ada,” Brianna menyela kalimat Joe. “Ranjaunya dinonaktifkan saat tes masuk karena jika diaktifkan, akan ada terlalu banyak agen yang gagal. Ranjau itu memiliki pengendali, jadi bisa dinonaktifkan. Lagipula, itu hanya jebakan dengan sistem kerja dibuat mirip dengan ranjau.”
Joe mengangguk-angguk. “Bagaimana denganmu?”
“Beberapa kali aku harus mengganti pakaianku karena ranjau itu,” desah Brianna pasrah. “Tapi setelah aku lebih teliti mengamati titik ranjaunya, aku tidak pernah lagi terkena ranjau.”
“Kau bisa mengenali ranjau di bawah lantai?” Joe terdengar tak percaya.
“Perbedaan tinggi lantai,” Brian angkat bicara. “Jika kau teliti dengan itu, kau bisa menghindari ranjaunya. Di titik ranjau ada perbedaan tinggi lantai sekitar satu atau dua mili,” beritahunya.
Brianna tak dapat mencegah dirinya untuk menoleh dan menatap Brian dengan kaget. Dia baru sekali melihat ranjau itu. Bagaimana dia ...?
“Jika aku tidak bisa mengenali ranjau di lapangan, aku pasti tidak akan berada di sini saat ini,” terang Brian dingin, menanggapi tatapan kaget Brianna.
Yah, sepertinya bukan hanya Brian yang terlalu meremehkan lawan. Brianna baru saja melakukannya dan jika ia tidak berhati-hati, dua pria itu akan mengalahkannya dengan terlalu mudah.
***
“Ini ruangan kalian, atau lebih tepatnya, ruangan yang segera akan ditempati oleh tim kita untuk misi SOS, spy of the spy kita. Gading dan Rega akan segera bergabung dengan kita. Sementara kalian melihat-lihat ruangan ini, aku akan mengambilkan pakaian ganti untuk Brian,” urai Brianna yang kemudian meninggalkan ruangan itu.
Brian menatap ruangan itu cukup puas. Di sisi ruangan itu ada kamar mandi, loker, dan bahkan ada sofa yang tampak nyaman. Selain meja kerja, meja untuk rapat, tiga monitor besar di sisi lain ruangan dan lemari-lemari arsip, ada televisi kabel yang menghadap sofa. Ditambah pemandangan gedung-gedung pencakar langit berlatar langit dan awan yang tampak di dinding kaca di sisi ruangan lainnya, sejauh ini, ruangan ini adalah tempat favorit Brian.
“Di ruangan seperti ini, rasanya tidak mungkin mereka memasang jebakan,” kata Brian penuh keyakinan seraya berjalan ke arah salah satu kursi yang terletak di depan dinding kaca. “Kurasa aku menyukai tempat ini,” kata Brian seraya menoleh ke arah Joe. “Tempat ini ... Sial!” umpatan Brian terlontar tatkala kakinya tersandung sesuatu, membuatnya jatuh terjerembab ke lantai ruangan itu.
Joe meringis seraya berjalan ke tempat Brian, tapi rekannya itu mengangkat tangan, menahannya. Brian mengeluarkan pisau lipatnya dan dengan satu gerakan mulus, ia menebas udara kosong di depan kakinya. Dan akhirnya Joe bisa melihat bahwa bukan hanya udara kosong yang ada di sana, melainkan sebuah tali yang luar biasa tipis tapi sangat kuat hingga membuat orang terjungkal saat menabraknya.
Brian belum sempat berdiri, ketika pintu ruangan terbuka dan seorang pria yang dikenali Brian sebagai Gading, masuk. Pria itu berhenti di pintu, berjongkok dan menatap sekeliling lantai.
“Sepertinya ruangan ini aman dari ranjau,” ucap Gading. Ia kembali berdiri dan menatap Brian. “Tersandung tali?” tebak Gading seraya meringis.
Brian mengangguk seraya berdiri.
“Ada cukup banyak tali di sini, tapi begitu Rega datang, kurasa dia akan membereskan semuanya,” katanya enteng seraya menepi dari pintu masuk dan bersandar di sebelah pintu. “Dia berada tak jauh di belakangku tadi. Jika dia selamat dari ranjau di depan sana, dia akan menghadapi jebakan panah, lalu dia akan mencari jebakan tali dan melompatinya. Dia juga akan berlari untuk menghindari semprotan gas tidur, itu berarti ... sepuluh, sembilan ...”
Gading menghitung hingga tiba di angka satu, lalu pintu ruangan kembali terbuka dan berdirilah di sana seorang pria yang tersengal mengatur napasnya. “Aku Rega,” pria itu menyebutkan namanya tanpa menatap siapa pun di ruangan itu. Saat ini, ia sedang sibuk mengamati ruangan itu, dan setelahnya baru menatap Brian yang masih membawa pisaunya.
“Boleh kupinjam pisaumu?” tanya Rega.
Brian melipat pisaunya dan melemparnya ke arah Rega. Setelah mendapatkan pisau itu, Rega berjalan ke empat titik berbeda di ruangan itu untuk memutus tali yang nyaris tak nampak di sana.
“Rega suka menghadapi jebakannya daripada menghindarinya,” beritahu Gading.
“Tapi aku tidak terlalu suka jika ada jebakan seperti ini di ruang kerjaku,” aku Rega. “Orang-orang itu tampaknya tak tahu kapan dan di mana harus memasang jebakan.”
Gading mengangguk mantap.
“Aku penasaran,” celetuk Brian seraya berdiri. “Di gedung ini, adakah tempat yang bebas dari jebakan?”
Gading tersenyum geli sementara Rega mendengus pelan.
“Kau bahkan harus berhati-hati di kamar mandi jika tidak ingin terkunci di dalam, atau ditembak dari bilik sebelahmu,” urai Gading.
Brian dan Joe saling bertukar pandang, sebelum perhatian mereka berganti pada seseorang yang baru masuk ke dalam ruangan itu.
“Apa itu?” Brian tak dapat menahan pertanyaannya ketika melihat setelan pakaian training berwarna hijau yang dibawa Brianna.
“Pakaian gantimu,” sahut Brianna pendek seraya mengawasi sekeliling ruangan. “Siapa yang memutus talinya?” ia bertanya tanpa menatap siapa pun.
“Agen baru itu memutuskan satu, dan sisanya dibereskan Rega,” jawab Gading riang.
“Kupikir kau suka jebakan,” Brianna mencibir ke arah Rega.
“Tidak di ruang kerjaku, Brian,” jawab Rega seraya berjalan ke meja yang paling dekat dengan pintu.
“Tidak bisakah kau memanggilnya dengan namanya?” Brian yang merasa terganggu berkomentar.
Rega mengangkat alis ketika menatap Brian. “Tapi itu namanya.”
“Namanya Brianna Jocelyn,” kata Brian tajam. “Kau bisa memanggilnya Brianna atau Jocelyn, tapi tidak dengan Brian.”
“Dan sejak kapan kau berhak memutuskan namaku?” sengit Brianna seraya menghampiri Brian.
“Kau tidak akan berada dalam tim ini jika kau berkeras ...”
“Kau tidak akan mendapatkan informasi apa pun jika aku tidak berada di sini,” sela Brianna angkuh.
Brian mendengus seraya maju selangkah, memperpendek jarak antara dirinya dengan Brianna. “Aku tidak mengatakan ini pada ayahmu, tapi perlu kau tahu, mencari informasi seperti ini bukan hal yang sulit bagiku. Apalagi mencuri informasi yang kau punya itu. Jika sang Mata Kegelapan bisa melakukannya, tidak ada keraguan bahwa aku juga bisa,” kata Brian dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan, sehingga hanya Brianna dan Joe yang berada paling dekat dengannya yang bisa mendengarnya.
Brianna menyipitkan mata. “Aku tidak akan meninggalkan tim ini,” desis gadis itu kemudian, tampak marah.
“Kalau begitu bekerjasamalah,” balas Brian seraya mundur dan memberi jarak. “Jadi, kau tidak keberatan kan, jika kami memanggilmu Brianna?”
Brianna menyahut ketus, “Terserah kalian,” lalu menyorongkan pakaian training hijau di tangannya ke tangan Brian. Di belakang Brianna, Joe tersenyum geli. Joe tahu Brian tidak serius dengan kata-katanya. Memang mereka bisa melakukan apa yang dikatakan Brian pada Brianna tadi, tapi itu juga akan memakan waktu, dan mereka sudah membicarakan tentang ini semalam.
“Dan sekarang aku tahu kenapa orang-orang lebih suka membawa pakaian ganti sendiri,” komentar Brian ketika memeriksa pakaian gantinya.
“Aku sudah menawarkan yang terbaik yang bisa kuberikan.” Brianna mengedikkan bahu santai.
Brian mendesis kesal, kemudian dia melempar pakaian training itu ke meja, lalu dengan cuek, membuka satu-persatu kancing kemejanya.
“Apa yang kau lakukan?!” bentak Brianna, tapi tak menghentikan Brian.
“Berganti pakaian,” sahut Brian cuek.
“Tidak bisakah kau pergi ke kamar mandi?” sengit gadis itu lagi.
“Dengan kemungkinan aku terkunci di dalam, atau bahkan tertembak di dalam ...”
“Tidak ada jebakan di dalam sana!” bentak Brianna tak sabar. “Jebakan itu hanya ada di kamar mandi di luar, bukan di sini!”
“Begitukah?” gumam Brian santai seraya melepas kemejanya.
Brianna melotot kaget sebelum berbalik dengan cepat. “Kau benar-benar tukang pamer,” desis gadis itu kesal seraya berjalan meninggalkan ruangan itu.
“Kenapa dia bertingkah seolah ini pertama kalinya melihat pria telanjang di depannya?” Gading menoleh ke luar ruangan. Menembus dinding kaca, tatapannya mengikuti Brianna hingga gadis itu tak terlihat.
“Mereka bisa salah paham dengan kata-katamu itu,” Rega berkomentar.
“Oh, maksudku ... dia tumbuh di sarang penyamun, di tengah para pria. Dia bekerja dengan para pria. Dan kurasa, dia sudah terbiasa juga melihat rekan-rekannya berganti pakaian di depannya,” terang Gading.
Joe mendengus geli. “Bukan salahnya,” katanya membela Brianna. “Brian yang berkeras bahwa menatap tubuhnya adalah dosa besar bagi Brianna.”
Gading tertawa geli mendengarnya. “Para pria di sini nyaris tidak ingat jika dia adalah perempuan. Terkadang, mereka memperlakukan Brianna layaknya rekan pria mereka saat menjalankan misi. Dan tampaknya Brianna tak sedikit pun keberatan dengan itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Brianna tidak terlalu suka dengan kenyataan bahwa dia adalah ... eh, perempuan.” Gading meringis.
Brian kembali bertukar pandang dengan Joe. Secanggih apa pun gedung ini, ternyata ada terlalu banyak kasus di sini.
***
Jika Brian mengancam akan mencuri informasi itu darinya saat makan malam kemarin malam, Brianna pasti tidak akan percaya sedikit pun pria itu bisa melakukannya. Tapi terakhir kali dia meremehkan Brian, dia nyaris menempatkan dirinya sendiri dalam bahaya. Sedikit saja salah melangkah, dia bisa kalah.
Karena itu, Brianna memutuskan untuk bersabar dan berhati-hati menghadapi kedua orang itu. Bagaimanapun, sekarang ia bisa mempercayai sepenuhnya informasi yang ia dapat tentang mereka. Mereka adalah agen SIA dengan kerjasama tim paling baik. Dan mereka tidak pernah gagal dalam misi apa pun.
Brianna sudah membiarkan dirinya lengah semalam, dan ia berharap kelengahannya semalam tidak berakibat fatal. Ia harus berhati-hati mulai saat ini. Menghadapi Brian dan Joe, Brianna tidak bisa hanya mengkhawatirkan nama ataupun harga dirinya. Saat ini, ia tidak sedang menghadapi agen biasa. Ia menghadapi agen SIA.
Setelah mengambil beberapa berkas yang ia butuhkan, Brianna meninggalkan ruang kerjanya sendiri untuk kembali ke ruangan timnya. Tapi beberapa meter sebelum tiba di pintu ruangan timnya, Brianna menghentikan langkah. Ia menarik napas dalam. Sesuatu mendadak mengganggu pikirannya.
“Sial, kenapa dia bisa punya tubuh sebagus itu?” umpat Brianna kesal seraya kembali melanjutkan langkahnya. “Pantas saja dia sangat suka pamer.”
***