Manisnya

1080 Kata
Aku hanya menganggukkan kepala saat Hiro pamit ke kamarnya sendiri. Rasanya jantungku masih nggak mau berhenti deg-degan. Perkataan Hiro benar-benar buat aku nggak kuat nahan godaan untuk bilang Hiro kamu manis banget. Dan sialnya semua itu memang aku ungkapkan. Astaga! Kebayang nggak sih seberapa malunya diriku setelah mulut kurang ajar ku ini dengan terang-terangan bilang itu ke Hiro. Kalau aja kakiku nggak kayak jeli saat lihat senyuman Hiro, mungkin lari adalah pilihan yang tepat. Tapi masalahnya Hiro malah pamer senyum setelah aku memujinya. Kalau Hiro terus-terusan begini, aku percaya akan ada kekacauan ke depannya. Ya, aku nggak sebodoh itu untuk mengartikan getaran aneh ini. Telapak tanganku meremas ujung bajuku sendiri. Rasanya ingin sekali aku menyumpahi detakan yang menggila ini. "Nggak Litia! Kamu jangan aneh-aneh!" Sampai pagi menjelang, aku masih merasa gugup. Tapi karena hari ini adalah hari terakhir aku dan Hiro di Kota ini, maka ekting kami harus maksimal. Aku sudah bersiap-siap sejak tadi tapi si Hiro belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah kemana orang itu. "Telpon nggak ya?" Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. "Biasanya jam segini udah rusuh di depan pintu." Jarum jam menunjukan pukul Delapan lewat Tiga Puluh menit. Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Hiro. Di dering pertama, yang aku dengarkan hanya suara operator. Pun, di dering selanjutnya, masih sama. Mendadak aku jadi dongkol karenanya. "Ke mana sih?" kesal juga kan jadinya. Serius, ini bukan karena aku khawatir sama dia, ya. Tapi sebagai seorang lelaki, seharusnya Hiro menepati janjinya. Bukan malah bikin orang kepikiran kayak gini. Nah! Aku mengetuk kepalaku sendiri. "Ishh labil banget sih! Tadi katanya nggak khawatir tapi sekarang malah bilang kepikiran!" rutukku. Ku buka pintu kamarku demi menuju ke kamar Hiro. Lebih dari Sepuluh kali ku ketuk pintunya tapi nggak ada sahutan dari sana. Dia ke mana sih? Bodoh amat! Aku lapar. Lebih baik ku isi dulu perutku. Mikirin Hiro mah nggak bakalan kenyang kali. Maka dengan cepat aku melangkah menuju restoran di bawah. Setelah pesan makanan, aku coba menghubungi Hiro. Tetap nggak bisa dihubungi. "Katanya hari ini mau bikin scandal yang bikin orang iri sama hubungan ini. Tapi dianya ngilang gitu aja!" "Ini sebenarnya yang butuh siapa sih?" "Tau gini mending aku pergi sendiri. Lanjutin liburan gratisku sendirian." Wajar dong kalau aku menggerutu sejak tadi. Hiro benar-benar membangunkan ibu singa yang sedang tidur. Tau sendiri kan gimana cewek kalau lagi PMS? Bawaannya mau marah mulu. "Kenapa? Rindu sama Abang gue?" aku menolehkan kepala ke sumber suara. Ah siapa lagi kalau bukan Badu? Dia memang suka muncul tiba-tiba. Dan apa katanya tadi? Rindu sama Abangnya? Yang benar aja! Siapa juga yang rindu sama Abangnya itu, yang ada aku kesel banget sama Hiro. "Mending kamu pergi dari sini!" ketusku. Bodoh amat dah kalau Badu mikir aku nggak sopan dan nggak layak jadi kakak iparnya. Eh? Nah, kenapa jadi bahas kakak ipar segala sih? Kayaknya pas pulang ke kampung halaman nanti aku harus periksa ke rumah sakit dulu. Mulai nggak bener ini pikiran. "Calon kakak ipar nggak mau tau Hiro di mana?" Badu sengaja ini mengabaikan keketusanku. Dia malah ikut-ikutan nyebut kakak ipar. Kan aku jadi tersipu. Oh my God! Kenapa aku jadi gini sih? Murah amat. "Di mana dia?" pekikku kesal. Ampun deh. Lain di mulut lain di hati ini mah. Rindu aku tuh. Astaga!!! Aku jadi geleng-geleng kepala gara-gara pikiran konyolku beberapa detik lalu. Badu terkekeh. "Makanya nggak usah sok jual mahal!" aku melotot. Siapa yang jual mahal? Jelas-jelas dari tadi aku tuh nyariin Hiro. Dianya aja yang nggak peduli. "Nggak usah sok sedih juga kali!" ujarnya. Makin nggak suka aku sama si Badu. Maunya apa sih? Gangguin orang PMS aja. Aku menelungkupkan wajah ke lipatan tanganku. Mau nangis tapi malu. Tiba-tiba ada yang ngusap kepalaku. Lembut banget. Senyumku terkembang. Ku angkat wajah dan ku lihat dia di sana. "Hiro," astaga aku merengek! Bukannya ilfeel, si Hiro malah terkekeh. "Maaf," katanya. Aku jadi salah tingkah. Dia ini minta maaf buat apa ya? Gara-gara nggak ngabarin aku?? Ih manisnya.  "Udah pesan makan, sayang?" pertanyaan Hiro membuatku menganggukkan kepala. Dia tadi panggil aku sayang, kan? Manisnya. Aku mengikuti pergerakan Hiro. Dia duduk tepat di sampingku. "Masih marah?" tanyanya. Aku diam. Sumpah, bukan karena aku marah tapi masih bingung sama sikap lembutnya beserta sikap santainya ini. "Nggak," jawabku. Dan yang dia lakukan selanjutnya berhasil bikin jantungku mau lompat dari tempat ternyamannya. "Kamu cium kening aku?" dengan bodohnya aku bertanya. Astaga! Ini kenapa sih? Hiro tersenyum. "Manis," pujiannya bikin pipiku berubah jadi merah mudah. Ya Allah Hiro, kamu kenapa bisa bikin jantungku maraton melulu sih? Nggak kuat aku tuh. Kenapa bersikap semanis ini kalau pada akhirnya kita hanya berpura-pura? Ah, mendadak drama ala-ala Drakor muncul di kepalaku. Aku menggeleng. Sudahlah, nikmati yang ada dulu. Waras Litia! Kalau memang sudah saatnya mengakhiri kepura-puraan ini aku ikhlas kok. Toh, emang dari awal aku sama Hiro tuh orang lain. Kita nggak pernah kenal sebelumnya. Dan aku pikir, mudah aja lupain dia. Duh, aku gampang banget ngomongnya tapi kenapa air mata malah mau keluar gini? Apa lagi Hiro dari tadi natap mataku kayak orang yang lagi jatuh cinta gitu. Aku terharu. "Asyik banget kayaknya pacaran, lupa kalau masih ada orang di sini!" celetukan Badu menarik diriku dari pesona mata Hiro. Ah, apa tadi aku baru aja bilang kalau aku terpesona sama Hiro? "Tapi nggak apa-apa, gue udah dapat foto kalian berdua. Cukuplah bikin orang-orang di luar sana percaya kalau kalian saling cinta." Perkataan Badu kembali menarik diriku. Ah, ya, semuanya pura-pura. Termasuk yang tadi. Aku terkekeh, bisa-bisanya berpikiran kalau Hiro suka sama aku. "Jangan terlalu berharap di saat kamu sendiri belum bisa move on dari masa lalu, Litia!" hatiku tuh kadang suka bener. Kenapa juga aku mikir kemungkinan aku mulai tertarik sama Hiro, padahal aku aja masih merasa ketakutan begini. "Kenapa?" pertanyaan Hiro menyadarkanku. Ku berikan gelengan kepala sebagai jawaban. "Aku udah pernah bilang belum, ya?" Hiro mengernyit. "Kamu makin cantik kalau lagi diam gini. Tapi kayaknya aku lebih suka kamu yang berisik, suka melotot dan kesal sama aku," lanjutnya. Kali ini aku kehabisan kata-kata. Gimana mungkin Hiro bisa semanis ini? Degup jantungku jadi makin nggak terkendali hanya karena dia ngomong kayak gitu. Duh, boleh nggak sih kalau aku mau bersikap masa bodoh sama semua ini? Mau berpura-pura kek atau beneran juga nggak apa-apa, yang penting sekarang di nikmati aja dulu. "Sayang?" Aku tatap mata Hiro. "Ah manisnya," "Iya?" jawabku. "Nikah sama aku, mau?" setelahnya, ku dapati diriku mengangguk. Ah, entahlah, sejauh mana permainan ini berlangsung, yang pasti diantara kami akan ada hati yang terluka lagi. . . TBC.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN