KERIBUTAN

1385 Kata
 Denallie membawa Arfeen kembali ke hutan. Mereka kembali ke tempat mereka semula di mana menurut Denallie Arfeen membuat salah satu Althaia yang mendekatinya itu menjadi batu seperti dua Kasdeya.   “Kau sudah membuatnya tenang?” tanya Varoon segera kepada Denallie, putra mahkota Marven itu menatap Arfeen yang diam saja. “Oy, Arfeen, kau sudah baik-baik saja? Tidak perlu takut dan jangan terlalu merasa bersalah atas apa yang kau perbuat karena semua ini salah Derwin.”  “Daripada membuatku kesal, kenapa tidak membantu mencari jalan keluar?” ujar Derwin, dia juga mendekat ke arah Arfeen yang kini sudah menatap Althaia yang berubah menjadi batu itu. “Kau sudah tenang, Arfeen Tierra? Maaf karena membuatmu terkejut dan ketakutan, sejujurnya aku tidak menyangka kau akan menggunakan sihir batumu karena seperti apa yang kau katakan sebelumnya di saat kau merubah dua Kasdeya itu menjadi batu, kau mengatakan bahwa pemilik sihir itu bukan dirimu. Hah, meskipun disayangkan karena salah satu anakku menjadi korban, kami akhirnya bisa mengetahui bagaimana sihir batu itu bekerja tanpa lagi meragukan siapa pemiliknya.”  “Ba-bagaimana cara membuat hewan itu kembali seperti semula?” tanya Arfeen. “Aku tidak ingin mendekat karena jika benar aku adalah pemilik sihir batu itu, tatapan keduaku bisa merubahnya menjadi abu.”  “Kami sedang mencari jalan keluarnya,” sela Isolde. “Kami sudah bisa mereka-reka kalau kau bisa saja merubah Althaia itu menjadi abu jika tatapan kalian kembali bertemu, karenanya selain mencari cara untuk mengembalikan keadaan Althaia itu, kami juga harus menemukan cara bagaimana kau mengontrol sihir batu itu.”  “Aku tidak membutuhkan cara untuk mengontrolnya, sihir ini sangat menakutkan jadi lebih baik kalau disegel saja,” usul Arfeen. “Meskipun dikontrol sekalipun, aku masih bisa melukai orang lain yang bukan musuhku atau sama halnya Althaia itu.. aku tidak ingin melakukannya.”  “Arfeen, di Niscala, sihir batumu sangat dibutuhkan untuk melawan musuh-musuh kuat kita meskipun kami juga tidak tahu sejauh dan selama apa sihir batumu itu bisa bertahan kepada makhluk-makhluk yang juga memiliki energi sihir yang sama besar,” jelas Derwin. “Untuk Kasdeya itu sendiri, meskipun mereka adalah monster kuat beracun, tetapi yang lolos hari itu adalah Kasdeya tingkat rendah. Mereka yang berhasil menguasai Marven dan masih bisa meloloskan Kasdeya tingkat rendah dari sihir Isolde bukanlah sembarang monster.”  “Apa yang ingin kau katakan sebenarnya?”   “Maksud Derwin adalah kami tidak tahu sihir batumu akan mempan atau tidak kepada Kasdeya tingkat menengah dan atas yang masih berada di dalam Marven dan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang kita,” ujar Varoon, menggantikan posisi Derwin untuk menjelaskan. “Althaia yang kau ubah menjadi batu itu sudah bertahan hampir tiga jam dan seperti yang kau lihat, perlahan-lahan batunya sudah mulai retak.”  “Ada di tingkat berapa dia?” tanya Arfeen, mengarah pada Althaia yang masih menjadi batu itu.  “Bawah,” jawab Derwin. “Meskipun aku tidak menyangka kau akan melawannya dengan membuatnya menjadi batu seperti itu, aku juga tidak cukup gila untuk membuat Althaia kelas tinggi melawanmu karena aku tidak ingin menanggung resiko kau terluka dan terbunuh ataupun sebaliknya. Jangan merasa tersinggung karena kau sendiri tahu, Arfeen, kami belum memahami kekuatan sihirmu dan apa spesialisasimu.”  “Mungkin membutuhkan waktu tetapi batu itu akan retak dan hancur dengan sendirinya jadi dia bisa kembali ke bentuknya yang semula,” ucap Isolde, dia tersenyum menenangkan kepada Arfeen. “Tentang Kasdeya kemarin, berutung kau menatap mata mereka dan membuat mereka hancur menjadi abu karena jika kita membiarkannya di udara, kemungkinan besar dia akan bereaksi sama seperti Althaia itu.”  “Yang artinya sihir batumu belum sempurna,” ucap Varoon, menyimpulkan.   “Jadi selain mencari cara untuk mengontrolnya, kita juga harus mencari cara untuk menguatkan sihir itu karena itu akan menjadi senjata terbesar kita ketika Kasdeya mulai memutuskan untuk melawan balik kita setelah dikurung selama puluhan tahun,” tambah Denallie. “Mereka adalah bom waktu.”  Lolongan Althaia tiba-tiba terdengar, Arfeen pikir ada Kasdeya yang kembali muncul tetapi ternyata lolongannya terdengar berbeda dengan yang kemarin-kemarin.  “Siapa di sana?” seru Isolde.  Derwin bersiul, dia membuat tumbuhan-tumbuhan sihir bergerak dan para Althaia juga melakukan hal yang sama. Hewan besar itu berlari dengan sangat cepat dan kemudian sudah membawa seorang manusia dengan cara menggigit bajunya dan melemparnya di hadapan mereka berlima.  “Siapa dia?” tanya Arfeen kepada Denallie. “Pakaiannya.. dia hanya rakyat biasa.”  “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Derwin, dia bertanya kepada laki-laki yang berusia sekitar awal empat puluh- oh, empat ratus tahun usia Niscala. “Hutan bagian ini bukanlah tempat yang bisa didatangi semua orang karena ada banyak Althaia dan tumbuhan sihir, lalu apa yang kau lakukan di sini, Tuan? Kenapa mengendap-endap seperti seorang pencuri?”  “Saya.. saya hanya sedang berburu-“  “Hutan yang menjadi tempat berburu berlawanan arah dengan tempat ini,” sela Varoon. “Lalu jika kau memang benar berburu, kenapa kau datang sendiri?”  Lolongan Althaia lagi-lagi terdengar, hewan itu kembali memberi tanda kedatangan seseorang dan benar saja, beberapa detik setelahnya Virendra hadir diantara kami dengan senyuman yang tidak pernah Arfeen dan Denallie sukai.  “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Denallie dengan nada tidak suka. “Ah.. apa dia orangmu?”  “Bisakah kau berhenti mencari masalah denganku, Marven?” decaknya. “Aku hanya sedang mencari seseorang setelah salah satu rakyat mengabarkan bahwa teman berburunya mengambil jalan yang salah dan malah menuju hutan yang dihuni Althaia setelah salah satu hewan buruan berlari ke arah sini.”  “Kebohongan menggelikan macam apa itu?” dengus Denallie.  “Sudahlah,” ujar Isolde, menengahi. “Jadi kau sedang mencari salah satu orang yang terpisah dengan teman-temannya? Kebetulan salah satu Althaia menemukannya dan membawanya kepada kami.”  “Baiklah, terima kasih kalau begitu, Isolde,” ucap Virendra dengan senyum manis. “Dia hanyalah pengguna kekuatan sihir tingkat rendah jadi belum bisa menggunakan sihir keberadaan. Aku akan membawanya, sekali lagi terima kasih.”   Setelah menyentuh bahu Om-om tadi, Virendra menghilang bersama orang itu, menyisakan dengusan kesal Denallie.  “Jelas dia berbohong kepada kita, kau juga merasakan itu, bukan?” tanyanya, meminta dukungan kepada Arfeen yang langsung mengangguk. “Dia pasti mengirim orang itu untuk mendengarkan pembicaraan kita. Tidak mungkin ada rakyat biasa yang mau mempertaruhkan nyawanya untuk datang ke hutan ini hanya karena seekor hewan buruan.”  “Memangnya kenapa?” tanya Arfeen. “Apa yang mereka takutkan? Apa yang membedakan hutan ini dengan hutan lainnya? Bukankah Althaia hanya akan menuruti Derwin?”  Derwin menatap Arfeen lelah, dia lelah harus menjelaskan banyak hal kepada keturunan Tierra itu. Dia pikir Arfeen hanya akan mengawasi diam-diam seperti yang biasa laki-laki itu lakukan di Saujana, faktanya.. dia lebih cerewet dari perempuan manapun karena rasa ingin tahunya yang cukup besar.  “Ada banyak jebakan di hutan ini dan Althaia mungkin tidak akan membunuh tetapi jika ada orang-orang yang tidak mereka kehendaki masuk ke wilayah mereka, mereka akan menjadi lebih agresif dari biasanya,” jelas Isolde dengan sabar. “Selain itu ada banyak tumbuhan sihir yang bisa membuat beberapa orang dengan kemampuan sihir dasar menjadi berhalusinasi setidaknya paling sebentar selama tiga hari.”  “Benarkah? Sudah seperti tumbuhan obat-obatan terlarang sampai membuat halusinasi segala, ya?” gumam Arfeen.  “Obat-obatan terlarang?” Isolde, Denallie dan Varoon memiringkan kepala mereka. “Apa ada yang seperti itu juga di Saujana?”  “Kalian tidak perlu tahu karena itu tidak penting,” sela Derwin. “Tumbuhan di sana berbeda dengan tumbuhan sihir kita. Lebih daripada itu, Arfeen Tierra, mulai besok kau harus bangun lebih pagi dan belajar sihir denganku.”  Arfeen hanya bisa mengangguk, mengiyakan semua perkataan Derwin karena sebenarnya dia sedikit takut dengan laki-laki pengendali hewan dan tumbuhan itu.  “Bukankah besok adalah jadwal belajar Arfeen denganku?” protes Varoon kesal. “Dia harus berlatih menggunakan pedang air bersamaku. Kau ini curang sekali, Derwin!”  “Sudahlah, mungkin dia hanya ingin dipanggil guru oleh Arfeen,” ujar Denallie, mulai menjadi kompor. “Tuan- tidak, kau harus mengalah padanya.”  “Benarkah?” Varoon terpancing perkataan teman satu kerajaannya itu. “Oy, Derwin? Kau ingin dipanggil guru oleh Arfeen, ya?”  “Berisik!”  Merasa berhasil membuat Derwin kesal, Denallie dan Varoon melakukan high-five. Sementara itu Arfeen hanya mengamati interaksi mereka bertiga sebelum tatapan matanya mengarah kepada Isolde yang kebetulan juga sedang menatapnya. Perempuan cantik yang sebaya dengannya itu tersenyum tulus, membuat pipi Arfeen memerah setelahnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN