TANPA PRADUGA

1378 Kata
 Mengajari Arfeen cara mengendalikan sihir batunya ternyata sangat sulit, berkali-kal lipat lebih sulit dari dugaan Derwin sebab keturunan Tierra itu sendiri juga tidak tahu cara menggunakannya kecuali di dalam keadaan yang terdesak.  “Pancing dirimu sendiri, buatlah semacam perasaan ingin melindungi dirimu atau orang lain lalu ubah tumbuhan yang aku sebut menjadi batu!” teriak Derwin, ini sudah tiga jam tetapi hasilnya nihil. “Arfeen Tierra, jika kau terus tidak ada perkembangan seperti ini, musuh-musuh kita akan menjadi sangat senang.”  “Siapa musuh kita?” tanya Arfeen, akhirnya dia juga mulai kesal. “Kau bukan guru yang baik, bagaimana aku bisa meraih hasil jika kau saja terlihat lesu begitu?!”  “Kau sudah mulai berani membantah rupanya. Kau sudah berbulan-bulan mempelajari sihir dan kemampuanmu hanya sebatas menguasai hawa keberadaan dan melempar batu-batu kecil, kau lupa gara-gara kehadiran siapa banyak Kasdeya yang terpancing keluar dan mulai menyerang kita setiap hari?” seru Derwin, enggan disalahkan. “Lagi, aku bukan guru yang baik? Varoon saja sudah menyerah mengajarimu sebulan yang lalu, begitu juga dengan Denallie-“  “Isolde tidak, tuh. Dia sangat sabar, tidak seperti Kakaknya dan asal kau tahu, Varoon dan Denallie belum menyerah terhadapku, mereka masih mengajariku, kau saja yang tidak tahu.”  “Arfeen!”  Sihir berwarna hijau mulai mendominasi tempat mereka berdua berdiri, membuat Arfeen menghela napas karena lagi-lagi kekesalan Derwin akan membuatnya kewalahan. Tetapi lebih dari itu, Arfeen mengakui bahwa kekuatan sihirnya tidak meningkat pesat bahkan setelah hampir lima bulan dia berada di negeri ini.  “Kau bahkan membutuhkan waktu dua bulan hanya untuk menguasai sihir hawa keberadaan, masih belum bisa memanah dengan benar selama hampir empat bulan dan kemampuan pedang airmu sangat payah!” teriak Derwin kesal. “Selain itu, kau yang tidak bisa mengontrol emosimu itu hampir kembali membuat salah satu anakku berubah menjadi batu. Jika begini tidak lama lagi seluruh Kasdeya akan menyerang kita dan kau masih begini-begini saja.”  “Kau tidak lihat perjuanganku?” balas Arfeen, dia juga berteriak. “Lebih dari itu, kau lupa menyebutkan bahwa sekarang aku juga sudah bisa mengontrol Althaia sekalipun aku bukanlah penyihir khusus yang mampu mengendalikan mereka. Kau lupa jika muridmu hampir menyaingi gurunya?”  Dalam jarak sepuluh meter dari tempat Arfeen dan Derwin saling menyerang dan berteriak kepada satu sama lain, ada Denallie dan Isolde yang duduk dan menikmati pemandangan itu.  “Apa kita harus melerai mereka?”usul Isolde.  “Kau ingin melakukannya?” tanya Denallie. “Aku tidak tahu bagaimana pendapatmu tetapi aku suka melihat mereka berdebat seperti itu, jika saja Varoon tidak salah makan dan sakit perut, akan lebih menyenangkan melihat mereka bertiga bertengkar seperti yang sudah-sudah.”  Isolde terkekeh. “Tidak terasa lima bulan sudah berlalu sejak kedatangan Arfeen, ya? Dia berhasil mengubah suasana dengan kehadirannya.”  “Tetapi dia juga membuat kita kewalahan karena hampir selalu ada Kasdeya yang lolos dari kungkungan esmu setiap harinya,” ujar Denallie. “Ini hanya firasatku, tetapi sepertinya akan terjadi perang tidak lama lagi.”  “Antara bangsa kita dan Kasdeya, ya?” tebak Isolde. “Aku juga berpikir begitu, kehadiran Arfeen menarik makhluk-makhluk itu, mereka pasti ingin menjadikan Arfeen sebagai santapan mereka untuk membuat mereka menjadi semakin kuat.”  “Tetapi apa kau juga salah makan, Isolde? Kau terlihat tidak sepeti biasanya hari ini.”  Isolde meringis. “Sebenarnya aku merasakan ada yang aneh belakangan ini, rasanya energi sihirku mulai melemah.”  “Apa maksudmu?” seru Denallie, dia terkejut. “Bagaimana bisa?”  “Entahlah, mungkin karena aku mencurahkan banyak energi sihirku untuk tetap menjaga Marven terlapisi es untuk mengurung Kasdeya dan karena akhir-akhir ini mereka sering menembusnya.. aku merasa ada yang aneh dengan diriku,” katanya, tetapi setelahnya Isolde tertawa pelan. “Jangan menatapku khawatir, aku tidak akan mati meskipun nantinya kekuatan sihirku menjadi habis.”  “Aku tahu kau undead, kau diberkati keabadian. Tetapi tetap saja.. ck, apa Derwin mengetahuinya?”  “Lebih baik kalau Kakak tidak tahu- yah, meskipun nanti dia juga akan menyadarinya. Tetapi biarkan saja, aku baik-baik saja sekarang dan aku masih kuat untuk memperkokoh lapisan es milikku,” Isolde menatap Denallie. “Kalian semua yang mengatakan kalau aku itu kuat, kau juga selalu mengatakan bahwa aku bukanlah gadis yang hanya bisa merengek. Karena itu tidak apa-apa, aku akan terus melindungi kalian untuk selamanya.”  “Isolde, kau salah,” Denallie tersenyum. “Lindungi dirimu sendiri, baru kau boleh melindungi kami. Lebih baik kau beristirahat selama beberapa hari dan tidak perlu keluar jika tidak ada hal yang begitu penting.”  “Apa yang kalian berdua lakukan di sana?” teriak Derwin, dia melambai ke arah Denallie dan Isolde. “Cepat ke sini dan gantikan aku melatih bocah ini!”  “Seperti yang kau katakan, Arfeen berhasil mengubah suasana,” Denallie terkekeh saat Isolde menatapnya tidak paham. “Setelah kehadirannya, Kakakmu berubah menjadi lebih ekspresif dari biasanya dan dia tidak segan untuk tertawa dan meladeni Varoon dengan lebih serius akhir-akhir ini.”  “Mungkin karena dia merasa bebannya terangkat?” Isolde mengedikkan bahu. “Terdengar kejam, tetapi seperti yang kita semua tahu, kehadiran Arfeen juga memiliki arti sebagai peralihan tanggung jawab. Mungkin karena itu Kakak mulai merasa tenang. Ah, perlu kau ketahui, dia memang sudah ekspresif sejak dulu, dia tidak berubah tetapi hanya kembali ke watak aslinya.”  Arfeen, seorang remaja SMA berumur tujuh belas tahun yang tiba-tiba dibawa ke Niscala oleh seorang penyihir tingkat tinggi bernama Derwin, meninggalkan dunia asalnya dan tinggal bersama para penyihir di negeri sihir jelas banyak membuat kepribadian pemuda itu berubah.  Jika dulunya dia adalah remaja yang mudah gemetar dan merasa takut pada banyak hal, sekarang langkahnya sudah menjadi lebih mantap dan berani. Tatapan matanya tidak lagi dipenuhi keraguan, latihan yang dilaluinya setiap hari juga banyak memberinya kekuatan dan juga teman-teman yang selalu mendukung perkembangannya.  “Varoon sendirian di sana?” tanya Derwin, dia membagikan buah yang didapatnya dari tumbuhan-tumbuhan di sekeliling mereka kepada Isolde dan Denallie. “Apa dia baik-baik saja? Aku tidak tahu kalau perutnya sepayah itu. Ckckck.”  “Kakak akhir-akhir ini sering sekali meledek Varoon. Ck, karena kalian berdua lah aku takut Arfeen juga akan terpengaruh.”  “Aku baik-baik saja,” sahut Arfeen, dia duduk di samping Isolde setelah mengambil buah sendiri karena Derwin tidak mau membagi buah dengannya. “Kau tenang saja, meskipun aku tidak pintar, tetapi aku juga tidak sebodoh dan senarsis mereka berdua.”  “Kau harus mempertahankan itu,” dukung Denallie. “Oh Tuhan, buahnya enak sekali.”  “Gantian aku yang bertanya, apa kau baik-baik saja, Isolde?” tanya Arfeen. “Akhir-akhir ini kau terlihat lebih lesu dari biasanya, apa ada masalah? Atau kau merasa kurang sehat?”  “Kau baik-baik saja, Adik?” tanya Derwin khawatir. “Aku pikir kau hanya merasa kurang enak badan karena akhir-akhir ini energi kita selalu digunakan secara terus-menerus. Tetapi diantara yang lain, kau yang paling lesu, apa benar ada masalah?”  “Aku baik-baik saja, Kakak, Arfeen,” ujar Isolde. “Hanya saja aku merasa energi sihirku mulai melemah. Apa karena Kasdeya terus-menerus berhasil meloloskan diri dari lapisan es ku.. aku tidak mengerti alasannya karena ini juga baru pertama kalinya untukku- ck, kalian seperti Denallie, tidak perlu khawatir karena bagaimana juga aku tidak akan mati.”  “Tetap saja kau harus menjaga kesehatanmu. Bukankah lebih baik kau istirahat saja, Isolde?” ujar Arfeen. “Kau tidak perlu turun jika ada Kasdeya yang berhasil lolos, aku akan langsung merubah mereka menjadi batu.”  “Cih..”  “Apa-apaan itu?” Arfeen melotot pada Derwin. “Kau mencibirku? Kau lupa kalau aku banyak mengambil peran besar?”  “Kau hanya bisa melawan Kasdeya saja tetapi tidak bisa mempraktekkannya saat aku meminta,” Derwin menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sebaiknya mulai besok kau belajar saja sendiri, aku akan merawat adikku saja.”  “Alasan.”  “Wah, kau benar-benar mulai berani kepadaku, ya?” Derwin menjentikkan jarinya dan detik selanjutnya Arfeen sudah bergelantungan di pohon berkat tumbuhan sihir yang melilit dua kakinya. “Rasakan itu!”  Isolde, Denallie dan Derwin tertawa di atas penderitaan Arfeen.   “Oh!” seru Arfeen, dia yang bergelantungan di pohon menunjuk ke arah lautan luas yang dilapisi oleh kekuatan es milik Isolde itu. “Racun berwarna ungu itu! Sepertinya ada banyak Kasdeya yang sedang mencoba keluar!”  Bersamaan dengan selesainya kalimat Arfeen, lolongan Althaia yang sangat nyaring terdengar.   Baiklah.. saatnya unjuk kekuatan! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN