Sebelum baca, jangan lupa tap love yaa *^^
Happy reading guys!
*M a t a h a r i*
Sepuluh soal fisika sudah ia garap dengan sangat baik, meskipun sang guru pengajar belum memasuki ruang kelas, seperti biasanya Keke sudah lebih dulu membuka buku dan mengerjakan soal-soal latihan yang disusun oleh tutornya. Namun, kali ini gadis itu meletakkan pulpen di tangannya ke atas meja. Menatap lembaran kertas penuh coretan angka dengan pikiran bercabang. Sekali lagi Keke menyentuh kerah seragam milik seorang siswi dari kelas sebelah yang sedang menjalankan pelajaran olahraga. Pikirannya benar-benar hanya tertuju pada sosok Ata.
Bagaimana mungkin gadis itu bisa mencuri seragam orang lain untuknya?
Dan lagi ....
"Aku nggak suka kamu ganggu orang-orang yang ada di dalam teritoriku."
Meski demikian ucapan Ata tersebut, tak pelak segaris senyum tak percaya terkembang di kedua sudut Keke. Masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Ata. Gadis itu selalu bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Ata selalu bisa mengabaikan ucapan orang-orang yang mengganggunya, bahkan sekali gadis itu mengambil tindakan. Ata tak pernah main-main.
Keke iri dengan kenyataan tersebut. Bahwa dirinya terlalu pecundang untuk sekedar membela diri sendiri, yang lebih buruk lagi. Keke begitu takut akan kemarahan mama. Sampai pada detik ini ia terus memendam semua perasaan yang tak jelas ujungnya. Terlalu banyak luka yang tertimbun rapi di dasar hati. Hingga seringkali gadis itu ingin sekali mengakhiri hidupnya di masa-masa tertentu.
Kembali lagi. Sayang bahwa Keke tak memiliki keberanian sebanyak itu.
Berbeda dengan raut sumringah yang tercipta di wajah Keke meski tak begitu ketara. Sejak pagi, Aya memasang raut mendung pada wajah manisnya. Gadis itu tak banyak bicara, tak seriang biasanya. Hal itu tentu saja membuat teman satu bangkunya terheran-heran.
"Kamu sakit, 'kah?" tanya Vivi menelengkan kepala ke samping untuk memastikan bahwa temannya itu sakit atau tidak.
Aya menggeleng lemah, tak berniat menjawab pertanyaan Vivi. Ia terlalu malas untuk sekedar bicara dengan orang lain hari ini. Jika saja keadaan rumah sedang baik-baik saja, sebelum sempat ia mengetahui fakta bahwa mama Anna bukan mama kandungnya. Bisa jadi hari ini Aya memilih untuk tidak ke sekolah. Sayangnya, berdiam diri di rumah tak lagi membuatnya merasa nyaman.
Akan tetapi, begitu ia melewati lorong menuju kelas. Aya sudah disuguhi pertunjukan Vella dan gengnya yang tengah mengganggu Keke. Teman satu kelasnya yang belakangan ini cukup mengusik Aya karena Keke dengan mudah mempunyai interaksi dengan Ata. Padahal keduanya sangat asing bukan?
Sedangkan dirinya? Saudara kembar Ata. Ia justru kesulitan untuk sekedar berbicara dengan gadis tersebut. Aya makin terluka menyaksikan bagaimana cara Ata menjaga Keke dari Vella. Meskipun ia juga berulang-kali diselamatkan oleh Ata. Namun, sekalipun tak pernah ia mendapat perlakuan semanis Ata pada Keke.
"Terus kenapa diem aja? Mau istirahat di UKS? Aku anter, ya." Vivi masih menawarkan. Membuat lamunan Aya buyar seketika.
Gadis itu menyentuh lengan Aya dengan melas. Sungguh tak nyaman berada dalam kondisi seperti ini, apalagi biasanya Aya adalah anak yang selalu ceria.
"Aku nggak apa-apa." Jawaban singkat dari Aya tersebut tentu membuat Vivi mengerti, bahwa temannya itu memang sedang tak ingin diganggu.
Cewek itu berbalik ke depan menatap lurus ke arah papan tulis yang masih bersih. Membiarkan Aya merebahkan kepalanya di atas meja. Setidaknya Vivi melihat gadis itu baik-baik saja dari segi fisik. Yah, setidaknya.
"Aku harus ngapain supaya kamu mau maafin aku, Ta?" batin Aya.
Jika usahanya untuk bicara dengan Ata kali ini gagal lagi. Aya tak tau harus berbuat apa. Gadis itu terlanjur mempunyai banyak kebencian, lagipula Aya juga sudah terlalu banyak memupuk luka dalam diri Ata dengan kebodohannya selama ini.
Di kelas lain, tepatnya di kelas Ata yang sedang ramai. Gadis itu tak acuh duduk di kursinya. Mengabaikan manusia yang berada di sana dan memilih untuk tetap diam seperti biasa. Entah kenapa ia sama sekali tak memiliki minat untuk bergabung bersama teman sebayanya. Tepat sejak Ata menapaki kaki di bangku SMP. Gadis itu kehilangan minat untuk bersosialisasi dengan sesama. Lagipula, sekali pun Ata ingin melakukannya, tak akan ada seorang pun yang akan bersedia menjadi teman Ata. Maklum, gadis itu sudah cukup lama menjadi sosok pendiam dan menimbulkan banyak masalah. Dicap sebagai trouble marker oleh para jajaran guru di sekolah.
Hanya beberapa menit setelah ia mengantarkan Keke ke kelas. Seorang siswa dari kelas lain muncul di depan kelas Ata dan berkata, "kamu dipanggil kepala sekolah sekarang."
Ata menghela napas pendek, ia tau hal ini akan terjadi setelah apa yang ia lakukan kepada Vella. Gadis itu berdiri dari kursi dan mengikuti langkah siswa yang sedari tadi berjalan di depannya untuk mengantarkan.
"Balik aja, aku bisa ke sana sendiri," ucap Ata membuat langkah siswa tersebut terhenti.
Ia menoleh sebentar pada Ata sebelum kemudian, meminta kepastian lewat tatapannya bahwa Ata tak akan kabur. Hal itu dibalas dengan kekehan tipis dari bibir Ata.
"Tenang aja, meskipun aku tukang bikin onar. Gak akan kabur," bisik Ata berjalan lurus melewati siswa yang menatapnya dengan ekspresi datar tersebut.
Ara berlalu menuju ruang kepala sekolah, bersiap mendengarkan ceramah seperti biasanya. Ah, sudah cukup lama Ata tak mendapat wejangan, gadis itu cukup rindu dinasehati untuk saat ini.
*M a t a h a r i*
Bayu berdiri dari kursinya, sekali lagi ia menjabat tangan pria berusia separuh abad dengan sebagian rambut yang sudah memutih di depannya. Sambil setengah membungkuk, Bayu pamit undur diri membawa beberapa berkas yang baru saja ditandatangani.
"Kamu bisa mulai besok," imbuh kepala sekolah.
"Baik, terima kasih banyak sebelumnya, Pak. Kalau begitu, saya permisi," balas Bayu ramah.
Cowok itu melenggang menuju pintu keluar untuk pulang. Saat itu juga Ata yang baru saja menyentuh knop pintu mundur selangkah melihat siapa yang saat ini berdiri di depannya menyuguhkan segaris senyum. Hanya beberapa detik, sebelum kemudian cowok itu melanjutkan langkah meninggalkan Ata yang membeo di tempat.
"Ngapain dia di sini?" batin Ata penasaran.
Namun, Ata tak ingin terlalu terpaku dengan apa yang baru saja ia lihat. Lagipula gadis itu sudah memutuskan untuk tidak lagi peduli pada orang-orang dari masa lalunya.
Gadis itu mengalihkan pandangan ke depan pintu yang sudah tertutup. Ia mengetuknya sebanyak tiga kali, sebelum kemudian mendengar perintah masuk. Gadis itu patuh.
"Duduk sini, Ta." Pak Kepala Sekolah dengan pembawaannya yang kalem mempersiapkan gadis berusia tujuh belas tahun itu duduk.
Ata menunduk di depan pintu, setelah menutupnya ia bergegas duduk di sana dengan patuh. Cukup lama, sekitar hampir lima menit ia duduk di sana mendengar helaan napas berat dari Pak Kepala Sekolah.
"Kamu pasti tau 'kan, kenapa saya panggil ke sini?" tanya Pak Kepala Sekolah.
Ata mengangguk sekilas. Menatap Pak Kepsek sebentar sebelum kemudian kembali melempar pandangannya ke seantero ruangan yang rapi tersebut. Banyak piala-piala berjejeran di sana. Beberapa milik Ata, sebagai juara paralel kelas dan sekolah. Ata tak berniat menyimpannya di rumah sebab tak ada yang ingin melihatnya juga. Selain Adit dan Bunda.
"Kenapa harus sama Vella? Kamu tau 'kan, siapa dia?" tanya Pak Kepsek tenang, "kalau sudah berurusan dengan Vella, bisa-bisa besok kamu yang keluar dari sekolah ini."
"Tapi, saya nggak salah."
"Bapak tau." Pak Dirgantara, nama kepala sekolah yang selaku bersikap adil tanpa membandingkan siapa pun. Selain Pak Salim, guru BK yang peduli pada Ata.
Pak Dirga juga salah satu pengajar sekaligus Kepala Sekolah yang mau berbicara dengan baik baik kepada Ata.
"Semua orang juga tau kalau Vella yang salah. Tapi bukan itu masalahnya, Ata." Beliau terlihat menghela napas pendek.
"Sesekali kita perlu mengalah meskipun kita nggak pernah salah. Minta maaf sama Vella, supaya hukuman kamu diringankan," pinta Pak Dirga.
Ata kontan melengos, diiringi tawa kecil. Gadis itu menatap Pak Dirga tak percaya. Bagaimana bisa orang tua, yang notabenenya sebagai seorang pengajar itu memintanya untuk minta maaf atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan?
"Nggak akan."
"Ata!"
"Sekalipun saya harus keluar dari sekolah ini, saya nggak mau minta maaf atas kesalahan yang nggak pernah saya lakukan," kata Ata, "kenapa sih, orang-orang lebih takut sama kekuasaan manusia ketimbang meluruskan mana yang harusnya diluruskan?"
Ata menghela napas, merasa terlalu berlebihan bereaksi. Ia tahu ini tidak sopan, tetapi mau sampai kapan semua orang menutupi kesalahan Vella? Mau seberapa banyak lagi siswa yang keluar dari sekolah karena tak tahan dibully oleh cewek tidak berakhlak tersebut? Selama Ata ada di sana, maka gadis itu jelas saja tak akan diam.
"Sebelumnya maaf, tapi kalau memang Bapak dan seluruh jajaran guru mau tetap menutup mata soal kasus perundungan kali ini, untuk yang kesekian kalinya lagi," tekan Ata, "silahkan. Tapi, saya nggak akan diam kali ini, Pak."
Sontak ucapan itu membuat Pak Dirga merasa serba salah, ia memijat pelipisnya yang pening. Sebenarnya ia juga sudah tau bahwa bicara dengan Ata sudah pasti tak akan ada gunanya, hanya saja Pak Dirga berharap bahwa Ata mengerti. Apa yang ia lakukan ini demi kebaikan Ata sendiri. Sebentar lagi ulangan kenaikan kelas akan dilaksanakan, gadis itu harus naik ke kelas dua belas dan menyelesaikan masa SMA-nya tanpa masalah.
"Bapak melakukan ini juga buat kebaikan kamu, Ata. Ulangan kenaikan kelas sebentar lagi, bapak nggak mau kamu dapat masalah lagi," ujarnya.
"Bapak nggak perlu khawatir. Saya bisa jaga diri saya sendiri baik-baik." Ata berdiri dari kursinya.
Sekali lagi menundukkan kepala sebelum pergi dari sana, "Saya permisi, Pak."
"Ata? Bapak belum selesai," ucap Pak Dirga menghela napas pendek.
Namun, bukan Ata jika secara tiba-tiba berbalik dan kembali duduk di kursi sesuai permintaan Pak Kepsek. Gadis itu terus saja berlalu menuju pintu hingga punggungnya lenyap di sana. Membuat Pak Dirga menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi seraya memejamkan mata frustrasi.
*M a t a h a r i*
Seorang siswi dengan pakaian berlumuran noda saos menangis di sepanjang koridor sekolah. Akan tetapi, tak satupun dari siswa yang melihatnya berani menolong. Karena kemarin lusa baru saja terjadi, seseorang yang mencoba membela gadis itu justru dikeluarkan dari sekolah karena masalah sepele. Hanya karena terlambat datang ke pelajaran olahraga, besoknya gadis itu tak pernah hadir lagi di sekolah.
Kajadian itu terus berulang, hingga korban tak berani lagi menapakkan kaki di SMA tersebut. Memilih lari dan memendam luka batinnya sendiri. Tak peduli jika ia tak mendapatkan kata maaf dari sang pelaku pembully, cukup tak terulang kejadian yang serupa saja ia sudah bersyukur. Meski berulang kali rasa takut membuatnya jengah setengah mati.
"Denger, ya! Siapa pun yang berani sama aku. Tandanya kalian juga udah berani buat keluar dari sekolah ini. Paham!" ucap Vella kala itu.
Saat Ata pertama kali mengikuti ospek di sekolah ini. Hanya Vella, siswi baru yang tak harus ikut berpanas-panasan, lari ke sana kemari mengikuti perintah senior. Justru sebaliknya, para senior yang harus menuruti keinginan Vella. Sejak awal masuk ke sekolah ini, Vella sudah menunjukkan sisi otoriter dan kekuasaannya sebagai anak pemilik yayasan. Maka dari itu pula tak ada satu orang pun yang berani melawan Vella.
Tidak. Kecuali Ata.
"Aku nggak akan kalah sama manusia pecundang kayak kamu," bisik Ata tertawa remeh.
Ia memang tak peduli sebelumnya, tetapi semakin ke sini gadis itu cukup merasa muak dengan tingkah Vella. Tepatnya saat Ata tau bahwa Vella mulai menyalakan bara di antara Aya dan Keke. Gadis itu tak akan membiarkan seorang pun berani menyentuh orang-orang yang berada dalam teritorinya.
*M a t a h a r i*
-B E R S A M B U N G!
Haii hai hai, Guys!
Apa kabar? Semoga kalian baik-baik di sana yah. Setelah baca cerita ini, jangan lupa tap love dan komen. Apa aja kekurangan dalam tulisan ku, aku selalu menerima kritik dan saran. Okke? So, jangan sungkan-sungkan.
Dan lagi, jangan lupa baca cerita ku yang lain yak.
TERIMA KASIH :*