Hari Itu (2)

1337 Kata
Perjumpaan Yusuf dengan Syaikh dan keluarga Tuanku Putri Syahidah memanglah agak mengejutkan bagi pemuda itu, namun tiada sepelik yang ia lukiskan dalam kepala. Yusuf memang terkejut sebab keluarga Syahidah yang menemuinya tak hanya Raja Syamsir dan kedua putranya –sebagai yang disampaikan pengawal tadi –tapi juga beberapa karib kerabat Syahidah yang lelaki, walau umur mereka sudah sepuh dan tua. Seorang yang paling tua di antara merekalah yang awal mula menanyai Yusuf kemudian dilanjut dengan soalan- soalan dari Baginda Raja. Perjumpaan itu tiada pelik sebab kerana keluarga itu tiada menganggap Yusuf sebagai orang asing dan jauh. Mereka bercakap- cakap pasal keluarga Yusuf, serupa apakah keadaan Seperca, dan perihal awal perkawanannya dengan Syahidah. Yusuf agaknya bimbang ketika akan mengatakan bahwa ia hanyalah anak selir Baginda Asyfan, namun tampaknya keluarga Syahidah tak membesar- besarkan hal itu sama sekali. Yusuf pun tiada menyinggung pasal itu lagi dalam perkataan selanjutnya karena Baginda Raja pun tak menanyakannya balik perihal itu. Saat menutup percakapan, beliau hanya berkata bahwa bila ada masa yang tepat, ia beserta keluarganya ingin bertemu dengan Baginda Asyfan Nazhim di Seperca –agar rapat jua hubungan keduanya. Yusuf pun pamit dan keluar dari balai utama itu dengan beban yang terasa jauh berkurang di d**a. Senyum mengembang di wajahnya, karena apa kesulitan yang ia bayangkan tiada satupun yang wujud. Wajahnya ini tampak oleh Zaid, yang tengah menunggu di balai bendul. “Amboi! Manis benar wajah anak muda yang baru keluar ini!” gelaknya seraya menatap Yusuf dengan rasa ingin tahu. “Sudahkah perbincangan engkau dengan keluarga Tuanku Putri?” “Sudah, Zaid. Dan berjalan lancar pula, Alhamdulillah.” “Syukurlah kalau begitu. Dapat kuduga kau tak menemui halang rintangan apapun ketika aku lihat raut muka engkau yang berseri- seri itu!” Yusuf tak menjawab langsung, melainkan duduk sebentar di samping kawannya. “Ada lagikah urusan yang perlu kau lakukan di sini?” tanya Zaid. “Sebenarnya –aku teramat sangat ingin bersua dengan Syahidah. Ada harap hatiku melihat ia selintas lalu, tapi sepertinya aku takkan dapat mewujudkan itu. “Aku paham maksudmu.” Zaid manggut- manggut. “Sudah lama benar engkau tak berjumpa dengan beliau di dermaga. Nah, mengapa tak engkau tulis surat saja sekejap? Lalu titipkanlah pada orang yang bisa engkau percaya untuk menyampaikannya pada Tuanku Putri.” Kening Yusuf melicin. “Engkau memang bijaksana, Zaid! Tapi, tetap saja aku tak bisa bertemu muka dengannya, walau dapat saling berkirim surat.” “Tuanku Putri takkan dapat menemui engkau, dan kurasa beliau takkan mau pula. Menurutmu elokkah seorang putri Raja bertemu dengan lelaki yang ingin benar melamarnya dan berbincang sesuka hati di dalam istana? Beliau tahu benar adat kesopanan, dan baiknya keinginanmu untuk bertemu dengan beliau engkau urungkan saja. Kau tentu tiada ingin menyusahkan Tuanku Putri.” Hamid Yusuf menepuk keningnya. “Astaga! Dungu benar aku ini, tak pernah terpikirkan perihal itu! Baiklah, aku akan menulis sebuah surat untuk Syahidah, biar lepas juga rasa rinduku ini.” Yusuf tidaklah membawa kotak tinta ataupun kertas kulit kayu. Ia meminta tolong kepada pengawal dekat lorong menuju balai utama agar membawakannya kedua barang tersebut, dan sejurus panjang ia pun mulai menuliskan perasaan hatinya dalam suatu surat yang cukup panjang. Begitu Yusuf melipat surat dan hendak mengikatnya dengan seutas serat, tampaklah sekejap padanya seseorang yang sudah ia kenal betul raut mukanya. Yusuf beranjak dari samping Zaid, berbincang sebentar dengan pengawal yang memberinya tinta dan kertas tadi, lalu mendekati orang itu. “Maaf, Puan,” awal kata Yusuf. Ia masih memegang lipatan surat itu di tangan. “Maaf bila saya teramat lancang mencegat Puan di tengah jalan. Tapi sejauh ingatan saya, Puan ini dayangnya Tuan Putri Syahidah, kalau tidak salah?” Nilam terkejut benar tatkala Hamid Yusuf mendatanginya tiba- tiba dari depan. Ia baru saja hendak membawakan teh jahe untuk Syahidah dari arah dapur, dan bermaksud membawakan nampan berisi cangkir penuh itu pada Engku Putrinya. “Betul sekali, Tuan,” sahut Nilam. Ia merasa jantungnya berdebar cepat, sama cepatnya saat masa dulu pemuda berkulit sawo matang itu menolongnya di pasar. Namun tiada Yusuf meliaht tanda- tanda bahwa dayang di depannya itu tergeragap. “Bolehkah saya meminta tolong pada Puan?” tanya Yusuf. “Tentu saja boleh. Apa gerangan yang Tuan butuhkan?” Yusuf menunjukkan surat ia yang pegang. Ia kencangkan sedikit tali pengikatnya sebelum kertas itu ia serahkan pada Nilam. “Maukah Puan berkenan membawakan surat dari saya ini untuk Tuan Putri Syahidah? Dan tolong sampaikan padanya bahwa saya pulang petang ini juga dari Sepinang.” “Baik, Tuan. Tapi bila dapat, bisakah Tuan meletakkan suratnya di atas nampan di samping cangkir ini?” pinta Nilam dengan menundukkan kepala. “Sebab saya sedang memegang nampan ini dan sulit bagi saya untuk mengambilnya langsung. Saya mohon maaf sekali lagi.” “Tiada mengapa,” kata Yusuf. Ia langsung meletakkan surat di samping cangkir dengan hati- hati. “Tiada perlu bagi Puan meminta maaf. Sayalah yang semestinya berterima kasih, sebab sudah mau menolong saya. Terima kasih banyak.” "Tuanku," panggil Nilam tiba- tiba, ketika Yusuf hendak berbalik. "Saya mohon maaf. Tapi saya ingin bertanya sesuatu pada Tuan. Dapatkah saya?" "Tentu dapat. Apakah gerangan itu?" "Apakah -- apakah Tuan mengingat saya?" Yusuf tertawa. Sebaris gigi atasnya tampak, membuat pemuda itu tampak semakin tampan. Nilam bisa merasakan detak jantungnya makin terasa. "Bukankah saya sudah mengatakan kalau Puan ini dayang Tuan Putri Syahidah? Mengapa Puan bertanya lagi," kata Yusuf dengan lembut. Muka Nilam memerah. "Bukan itu maksud saya. Maksudnya -adakah Tuan kenal dengan saya sebelum perjumpaan Tuan dengan Engku Putri?" Yusuf memandang Nilam lekat- lekat. "Adakah kita berjumpa sebelumnya, Puan? Saya benar- benar minta maaf bila kita pernah saling kenal namun kealpaan membuat saya melupakan Puan." Nilam menggigit bagian dalam bibirnya, lalu menggeleng sekali. "Tidak, Tuan. Tuan tidak usah cemas sebagai begitu. Kita --tiada pernah bersua sebelumnya." "Baiklah. Sekali lagi saya berterima kasih atas bantuan Puan. Jangan segan- segan menyapa saya bila kita berpapasan di jalan atau tempat lain, ya?" Yusuf pun menganggukkan kepalanya pada Nilam, dan bersama Zaid ia pamit dari istana itu pada Nilam dan para penjaga yang berdiri dekat balai dan pintu. Keduanya melangkah menjauh. Tiada sempat ia perhatikan raut Nilam yang memandanginya dengan sedih. *** Gadis berpembawaan sedang itu menatap dua sosok yang kemudian menghilang di balik pintu besar istana di bagian depan. Ia memandang pada isi nampan yang ia bawa, lalu berbalik lagi ke arah dapur. Salah seorang penjaga memperhatikannya dengan bingung, dan Nilam hanya bergumam, “Ada sesuatu yang lupa aku bawa dari dapur.” Gadis itu lekas- lekas menuju dapur, dan kebetulan benar tempat itu lengang. Hanya ada beberapa orang pelayan di sisi lain, namun Nilam bisa memilih sisi yang sepi dan menyendiri sebentar di sana. Ia sudah tak sanggup lagi. Begitu duduk dan meletakkan nampan tadi di meja, tangisnya pun pecah. Nilam cepat menutup mulutnya dengan sapu tangan, agar tiada ada yang mendengar sedu- sedannya. Hatinya begitu sedih. Ia tahu bahwa Tuanku Hamid Yusuf amatlah mencintai Engku Putrinya dengan penuh kasih dan betapa ketetapan hati beliau ingin menikahi Engkunya itu, namun tiada ia dapat menolak kebenaran dalam dadánya bahwa hatinya juga telah begitu lama ia letakkan pada pemuda itu. Sudah begitu silam, sejak kali pertama mereka berjumpa. Walau Yusuf tiada menyedari bahwa gadis yang ia tolong dulu adalah Nilam, namun Nilam terus memperhatikannya setiap kali di pasar –sebab Yusuf acap benar bermain ke Pasar Induk Sepinang di hari- hari pasar. Ia hanya mampu mengamati dari kejauhan kala itu. Namun kini, ketika ia dapat bertemu muka dan mata dengan Tuanku Hamid Yusuf, rasa sakitnya melebihi cinta yang bertepuk sebelah tangan. Melebihi perasaan pungguk yang merindukan bulan, sebab jarak mereka yang makin menjauh. Memang bukan jarak secara zahirnya, namun secara batin –tak tampak, tak kasat mata. Gadis itu mengalihkan pandangnya pada nampan yang ia letakkan tadi. Teh jahe yang semestinya ia bawakan hangat pada Engku Putrinya, sudah dingin dan tiada enak lagi saking begitu lamanya ia duduk di situ. Ia menghapus bekas air mata, sebab tiada guna ia berlama- lama dalam kesedihan. Sekedar melepas rasa sesak di hatinya pun, cukuplah. Nilam pun mengambil cangkir lain dan membuatkan teh jahe yang baru untuk Syahidah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN