Perkara Tak Terelak

1469 Kata
Syahidah mengetuk rumah syaikh beberapa kali dan menunggu. Sejurus kemudian, terdengarlah langkah kaki mendekati pintu dan suara membuka pasak. Tampaklah Syaikh El Beheira tersenyum kepada Putri Syahidah. Ia berperawakan ramping dan kurus. Meski beliau sudah lanjut usia dan janggutnya sudah memutih, beliau tampak masih bertenaga dan banyak semangat hidup. Wajahnya seolah memancarkan cahaya kesejukan, membuat orang merasa damai bilamana berada di dekat beliau. “Anakku, Syahidah,” sapa beliau dengan logat Persia yang sangat terasa. “Duduklah, duduklah, Nak,” kata beliau mempersilakan Syahidah duduk di pelantar depan rumahnya. “Terima kasih, Tuanku Syaikh,” kata Syahidah menghormat. “Sama- sama,” sahut beliau lembut. “Sehatkah keadaan Anakku?” “Baik, Tuanku Syaikh. Bagaimana kabar Tuanku Syaikh? Ada baikkah?” “Alhamdulillah, dengan rahmat Allah jugalah, aku sehat dan baik. Ada apa ini, anakku datang kemari? Tak semacam biasanya.” Syahidah yang sedari tadi menunduk, mulai mengangkat kepalanya. “Syaikh, Syahidah bermaksud meminta Syaikh –jika berkenan –untuk menambah beberapa waktu lagi pengajian untuk masyarakat negeri.” Syaikh El Beheira mendengarkan Syahidah secara saksama. “Siang ini, Syahidah berjalan mengelilingi kampung ini, Tuan Syaikh, untuk melepas penat. Begitu Syahidah jalani negeri ini, banyaklah rupanya penduduk yang masih mencampur- adukkan kepercayaan lama dengan Islam. Tak hanya satu- dua, tapi ada cukup banyak.  Ada yang masih memohon perlindungan pada nenek moyang, membawa sesajian yang mereka katakan diperuntukkan untuk Tuhan Allah. Mereka tak tahu kalau yang mereka perbuat itu salah. Mereka sudah tahu sembahyang dan mengaji, tapi masih banyaklah dari perbuatan mereka itu yang –tanpa mereka sadar –mempersekutukan Tuhan.” Syaikh El Beheira mengangguk- angguk mengerti. Syahidah begitu senang bercerita kepada beliau, mendapati beliau mendengarkan perkataannya dengan sungguh- sungguh, ditambah wajah bening nan menenteramkan itu. “Aku mafhum dengan semua yang membuat hati Ananda susah ini. Ya, memang, perlu waktu yang cukup panjang untuk mengubah sedikit- demi- sedikit kebiasaan lama. Meski Sepinang sudah berpuluh tahun memeluk Islam, tapi tetaplah termasuk baru dan mentah. Banyak lagi yang mesti masyarakat Sepinang pelajari untuk memeluk Islam secara utuh.” Syahidah mengangguk. “Syahidah sepakat dengan perkataan Tuanku Syaikh. Sebab itulah, Syahidah meminta pertolongan Tuanku Syaikh untuk menyampaikan kepada Ayahanda Syamsir Alam Syah, untuk menambah waktu pengajian di surau dan langgar. Seperti selepas Ashar.” Syaikh El Beheira tersenyum. “Usulmu itu bagus sekali, Nak. Tapi kita mesti memikirkan pula apatah selepas Ashar itu waktu yang tepat atau tidak. Sebab, orang- orang belum habis berkegiatan lagi pada waktu itu. Para pedagang masih banyak yang melanjutkan perdagangannya, petani pun belum selesai lagi dengan sawahnya, begitupun dengan yang perempuan. Tentu pada waktu itu mereka juga tengah sibuk mengurusi rumah dan memasak di dapur.” Dalam hati, Syahidah membenarkan pertimbangan syaikh ini. “Memang pertambahan waktu ini kita butuhkan sekarang, tapi mestilah waktu yang dipilih tepat, sehingga banyak orang- orang yang bisa menghadirinya, Anakku. Ah, biarlah, nanti aku rembukkan dengan Ayahmu kapan waktu nan elok untuk pertambahan kaji ini.” Syahidah mengangguk senang. “Terima kasih, Syaikh.” Ia terlihat ragu sejenak, hendak berdiri atau tetap duduk di situ. Apakah ia akan menyampaikan tentang masalahnya pada syaikh? “Keluarkan saja semua isi hati dan kegelisahanmu, Nak. Nampak bagiku, masih ada sesuatu yang engkau resahkan, namun engkau ragu hendak menanyakan padaku.” Pelan- pelan Syahidah mengangguk. “Syahidah... tak tahu apakah ini tepat untuk ditanyakan atau tidak.” “Kau tak akan pernah benar- benar tahu sampai engkau menanyakannya, Anakku. Tanyakanlah,” kata Syaikh El Beheira dengan bijaksana. Syahidah menekurkan kepalanya, malu. “Sebenarnya, beberapa hari ini, Syahidah mulai memikirkan seseorang, Syaikh. Seorang pemuda. Pertama kali kami bertemu, Syahidah rasa jatuh hati kepadanya.” Syaikh El Beheira tersenyum. Putri Syahidah lalu melanjutkan, “Sudah beberapa hari ini pula, Syahidah tak mampu memusatkan pikiran pada apa yang Syahidah lakukan. Sembahyang pun tak khusyuk lagi. Rasanya... ingin tiap hari bertemu dengannya, dan sekali tak bertemu membuat Syahidah pusing dan gelisah,” kata Syahidah. Wajahnya bersemu merah. “Apa yang mesti Syahidah perbuat, Tuanku Syaikh? Rasa suka ini terlalu berat buat Syahidah. Alangkah lebih baik jika Syahidah tidak bertemu dengannya awal- awal.” Syaikh El Beheira memandang wajah gadis muda itu, yang sudah ia anggap bagai anaknya sendiri. Anak yang sempat ia asuh bersama Kakek Syahidah dulu –Malik Alam Syah –kini mulai dewasa dan merasakan suka. Beliau menghirup napas dalam- dalam. “Pertama, Syahidah anakku, engkau mesti tahu dulu bagaimana Tuhan Allah menciptakan manusia. Ia ciptakan manusia itu berpasang- pasangan, dan memang itulah fitrah sejadi kita. Ia tumbuhkan dalam diri kita rasa tertarik pada lawan jenis, memang begitulah Dia menciptakan kita. Tak perlu engkau ingin rasa suka itu dicabut, dihilangkan, sebab itu menentang apa yang Tuhan Allah takdirkan. Tak apa, tak ada yang salah jika engkau menyukainya. Pahamkah engkau, Syahidah?” Syahidah mengangguk. “Ya, Syaikh. Syahidah paham.” “Nah, kita masuk pada hal kedua, yang mesti engkau paham. Apa yang tengah engkau rasakan sekarang, tak lebih merupakan hasrat, disebabkan kecintaan itu. Jika engkau pernah mendengar orang yang merasa mabuk karena seorang gadis, atau ia tergila- gila, itulah asal- muasalnya. Orang, siapapun itu, saat merasakan masa ini, tak ada yang lebih ia pikirkan daripada orang kesukaannya. Sebagaimana engkau pun, Nak, bahkan salat pun tak khusyuk. Tak bisa jika tak bertemu dalam sehari. Di sinilah engkau berpijak, dan disinilah engkau mesti berhati- hati.” Kepala Syahidah yang sedari tadi tepekur, perlahan ia angkat. Sungguh ia ingin mendengar penjelasan lebih lanjut syaikh. “Ketiga, tentang bagaimana engkau menyelesaikannya. Seperti yang aku katakan tadi, rasa suka tak mesti dipersalahkan, tapi bukan pula engkau mesti mabuk terhanyut di dalamnya. Bagaimana? Pastikan rasa cinta engkau pada pemuda itu tidaklah lebih besar dari cinta anakku pada Tuhan Allah.” “Bagaimanakah maksud Tuanku Syaikh?” “Engkau tentu tahu. Baik pemuda itu, aku, dan engkau sendiri, Nak, adalah ciptaan Tuhan sarwa alam. Kita hanya makhluk-Nya. Banyaklah berdoa kepada-Nya, pintalah agar tak ada cinta yang melebihi cinta kepada-Nya. Cobalah, jika engkau mampu, untuk sembahyang dua rakaat di tengah malam. Mintalah petunjuk. Sebab, jika engkau terhanyut begitu dalam pada kecintaan akan makhluk melebihi kepada-Nya, tak ada yang akan engkau dapat melainkan asap saja. Kesia- siaan. Engkau akan kecewa. Sebaliknya, jika engkau mendahulukan Tuhan Allah melebihi cinta pada pemuda itu, Allah akan meridhai langkahmu. Jika Dia berkenan, ia akan mudahkan pertemuan kalian berdua suatu hari nanti. Jika engkau dan dia tidak dipersatukan, engkau tak rugi apa- apa. Sebab anakku Syahidah nan pandai dan bijaksana ini tahu, bila Allah tidak menakdirkan dia untukmu, tentu Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Lagipun, selama ini pikiranmu tertuju pada kesenangan dan keridhaan Allah semata, bukan pada kesenangan dan keridhaan makhluk.” Perlahan kegundahan di hati Syahidah berangsur menghilang. Ia mulai paham penjelasan Syaikh, dan apa yang mesti ia lakukan. “Akan tetapi, Syaikh, apa yang mesti Syahidah lakukan agar kekhusyuan kala sembahyang itu kembali?” Wajah yang tenteram dan damai itu menatap Syahidah dengan lembut. “Tepat ketika engkau memulai sembahyang, mintalah perlindungan Tuhan Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Syaitan ini memang suka sekali membuat manusia tidak khusyuk dalam ibadahnya. Ia akan menghembuskan was-wasa, kegelisahan dan pikiran akan keduniaan yang kita tinggalkan sejenak selama sembahyang. Apakah itu tentang pekerjaan, kealpaan, akan ia buat kita teringat akan berbagai macam hal selama kita berusaha untuk menetapkan pikiran dalam ibadah. Termasuk pula bayang- bayang pemuda dan rasa suka ini.” Syahidah mengangguk. Syaikh El Beheira melanjutkan, “Tahukah engkau, Anakku, apa yang engkau baca pertama kali setelah engkau berniat sembahyang?” “Allahu Akbar.” “Benar. Maksudnya ialah ‘Allah Maha Besar’. Ingatlah makna ini. Begitu engkau mengucapkan ‘Allahu Akbar’, ucapkan pula dalam hatimu. Ingatkan hatimu bahwa tiada hal yang patut engkau ingat saat itu karena Tuhan Allah Maha Besar. Tiada pula yang patut engkau sembah daripada selain Dia. Dialah yang berhak engkau ingat saat sembahyang, sebab Ialah satu- satunya yang Maha Akbar, Besar melebihi segala urusan dunia kita. Maha Mendengar pula dan Maha Melihat, serta mampu mengetahui isi hati kita.” Kerut- kerut berlipat di kening Syahidah melicin. Wajahnya cerah. Senang benar ia mendengar petuah dari Syaikh El Beheira, saat belajar ataupun saat senggang- senggang semacam ini. “Sudah mengertikah Anakku perkara yang engkau tanyakan ini?” “Sudah, Tuanku Syaikh.” “Bagus. Jika suatu kali nanti engkau bertemu lagi dengan pemuda itu, ajaklah ia kemari. Berbincang dengan syaikh.” Wajah Syahidah merah padam mendengar ini, dan syaikh pun tertawa melihat perubahan muka Syahidah. “Kita mesti meluruskan apa yang kurang lurus, Anakku. Aku akan mencari tahu bagaimana pemuda ini, sesuaikah ia denganmu atau tidak. Jika dirasa sesuai, nanti akan aku bincangkan dengan Ayah engkau. Tentu Anakku tahu, tak elok terus- terusan berdua dengan lawan jenis dalam perkara tiada berguna. Lagipula hatimu telah terpaut pula dengannya.” Syahidah mengangguk lagi. “Terima kasih banyak atas bantuan dan petuah Tuanku Syaikh.” “Sama- sama, Nak. Semoga Tuhan Allah selalu meridhai setiap langkahmu.”   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN