Ada Keyakinan dan Iman

1615 Kata
Kapal kecil itu tengah membelah laut di siang terik. Angin sepoi- sepoi menghembus para penumpang kapal itu, meniupkan kesejukan. “Aku tahu jugalah sedikit- sedikit mengenai Tuan Putri Syahidah ini,” kata salah seorang kawannya suatu kali. “Ayahku dahulunya adalah saudagar kain, sebelum ada di pokok pemerintahan ini. Seringlah beliau mengajakku di masa kecil berkunjung ke Sepinang untuk maksud perdagangan. Ayahku pernah berkata, bahwa putri Raja Syamsir Alam Syah ini bukan main elok rupa dan pandainya. Beliau bersama saudara- saudaranya menuntut ilmu pada Syaikh dari Persia.” “Saudara- saudaranya?” ulang Hamid Yusuf. Saud menganggukkan kepala dan ikut bercakap. “Beliau berabang dan beradik satu, lelaki.” Hamid Yusuf pun paham. “Nah, mari kita perbandingkan sedikit ketekunan engkau dengan Tuan Putri,” kata Saud tergelak. “Beliau tak sekadar baik hati, tapi rajin pula. Tak kuragukan beliau bisa menjadi wanita paling bijaksana seantero negeri Sepinang. Sedang engkau? He, belajar dengan Tuanku Guru saja kau mangkir, Yusuf.” Yusuf tersenyum pada kawannya itu. “Bukan mangkirlah, Saud. Aku heran kenapa banyak orang yang mengatakan aku suka sekali tidak mendatangi pelajaran dengan Tuan Guru. Aku kala itu terlambat sahaja, sebab kala itu kita terlalu terbuai menghabiskan waktu untuk berlayar. Aku alpa. Lagipun, ilmu juga banyak kita peroleh dalam perjalanan, kau tahu.” “Ha, jangan engkau persalahkan pula aku dan yang lain perkara keterlambatan engkau,” kata Saud sambil tertawa- tawa. “Bila engkau memang bersungguh- sungguh dengan Tuan Putri Syahidah, baiklah engkau mulai belajar pula bersungguh- sungguh semacam beliau, agar kalian berdua nanti sepadan. Tuan Putri pun takkan mau menikahi pemuda yang bodoh, meski ia putra raja sekalipun.” “Tentu,” kata Hamid Yusuf. “Tanpa disebabkarenakan Tuan Putri pun, aku memang berazam hendak belajar sungguh- sungguh. Mengenai pemerintahan, kerajaan, perang. Kemarin dulu Baginda Ayah terpikir untuk menanyaiku tentang pelajaran bersama Tuan Guru. Persis seperti engkau pula, menyangka aku ini sering tak menghadiri pelajaran. Aku hendak membuktikan pada Ayah bahwa aku memang bersungguh- sungguh dan berhak mewarisi Seperca ini.” Zaid dan yang lainnya tersenyum memuji. “Bagus sekali niat engkau, Yusuf. Moga Tuhan Allah mudahkan engkau,” dukung Zaid. “Terima kasih, kawan.” Bahu Hamid Yusuf ditepuk oleh temannya yang lain. “Engkau sungguh beruntung, Yusuf, jika beroleh cinta Tuan Putri. Tak biasa wanita terkemuka macam beliau keluar dan berjalan- jalan di dermaga. Engkau? Sudah dua kali bertemu dan sudah pula mengirimi beliau surat beserta kain tenun.” “Memang benar. Engkau beruntung, Yusuf,” kata Saud pula. “Terlebih lagi bila Tuan Putri juga menyukai engkau! Amboi! Engkau berdua sajalah yang mempunyai dunia ini!” Zaid beserta kawan- kawan lain tertawa mendengar gurauan Saud. Yusuf hanya tersenyum tenang. “Nah, kau rasa keberuntunganku ini tak mungkin akan berpanjang- panjang lagi. Aku tak yakin beliau akan ada di dermaga lagi sekarang, setelah dua hari berturut- turut aku menjumpainya.” “Engkau merasa tak yakin pula sekarang?” tanya Saud. “Tapi sudah separuh laut yang kita tempuh! Engkau berniat untuk balik lagi ke Seperca?” “Tak apa, tak apa,” kata Zaid menenangkan kawan- kawannya. “Lebih baik kita teruskan perjalanan ini dulu. Jikalau pun Tuan Putri tak ada, tak ada salahnya kita di sana, bukan? Menukar pemandangan, sehabis itu pulang.” Yusuf dan yang lain mengangguk mengiyakan. “Benar perkataan engkau, Zaid, Marilah, kita bersama- sama kesana.” *** Selepas Zuhur ini, Syahidah tampak duduk dengan perasaan bingung dan gelisah di kamarnya. Ingin sekali rasanya ia kembali keluar dan bertemu Hamid Yusuf di dermaga. Benarkah hatinya telah terpaut pada pemuda tegap berkulit sawo matang itu? Jika memang begitu, sungguh ia tak sanggup sekali- dua pertemuan telah membuatnya lupa diri. Biasanya Syahidah yang suka belajar dan keterampilan baru di saat- saat siang, kini semua kesukaan itu memudar sejenak. Ingin sekali ia menurutkan kehendak hatinya menunggu lagi pemuda itu di dermaga, tapi apa sebutan orang baginya nanti, menunggui setengah hari demi seorang lelaki? Bukan sahaja tentang sebutan orang padanya yang menjadi masalah, tapi lubuk hati Syahidah pun membisikkan ia bahwa perbuatannya tak cukup pantas. Mengapa ia jadi bertindak begitu rendah, mencari- cari seorang pemuda hingga lupa menuntut ilmu? Bahkan kala sembahyang tadi pun hatinya tak lagi khusyuk. Tapi, sekarang pun Syahidah tak bisa memusatkan pikirannya untuk membaca untuk membuat dirinya melupakan pemuda itu sejenak. Ia ingin ke suatu tempat, menenangkan diri. Apakah baik baginya mengelilingi negeri barang sejenak? Syahidah mempertimbangkannya dan berjalan keluar dari kamar, mendekati Dayang Nilam yang tengah menunggunya. “Engku Putri,” hormat Dayang Nilam, “Hendak melakukan apakah Engku hari ini? Biar saya temankan.” “Tak usah, Nilam,” kata Putri Syahidah seraya mengangkat tangannya. “Aku ingin berjalan- jalan sebentar ke sebalik negeri, memutari kampung. Kau beristirahat saja di sini dulu. Nanti jika aku butuhkan engkau, kau akan segera kupanggil.” “Benarkah, Engku? Engku yakin tidak ingin saya temani sekarang saja? Tidakkah Engku membutuhkan apa- apa?” “Tidak,” sahut Syahidah seraya berterima kasih. “Aku pergi hanya sekejap saja. Tunggulah di sini dulu, ya? Istirahatlah, dan lakukan apa yang kau suka,” kata Syahidah. Beliau melambai sambil tersenyum, meninggalkan Nilam yang bingung. *** Syahidah memang benar- benar berusaha mengalihkan pikirannya dengan berjalan kaki mengitari negeri Sepinang yang kecil itu. Ia tak berjalan jauh, masih di dekat- dekat istana juga. Ia berjalan lambat- lambat, sibuk mengamati pekerjaan orang- orang negeri di siang itu. Semua orang yang tengah bekerja segera mengenali Tuanku Putri. Mereka memberi penghormatan, membungkuk pada Tuanku Putri yang ia balas dengan anggukan. Sekali- dua, Syahidah berhenti di dekat emak- emak yang asyik mengurusi anaknya, atau tengah menjemur padi. Syahidah mengajak mereka berbincang mengenai hidup mereka, atau adakah masalah yang perlu ia ketahui sebagai anggota kerajaan agar nanti bisa ia sampaikan pada Yazid Alam dan Badruddin. Suatu kali, Syahidah berhenti di dekat sebuah rumah kecil nan baru selesai diramu. Rumah cantik itu dari kayu- kayu kokoh, atapnya nampak baru. Nampaknya penghuni rumah hendak melakukan hajatan sebagai rasa syukur atas selesainya rumah baru mereka, sebab beberapa orang lelaki tampak menyembelih ayam. Syahidah memperhatikan semua itu dengan tersenyum, namun sesaat kemudian alisnya berkerut heran. Lelaki itu tampak mengumpulkan darah ayam, menaburinya ke sekeliling rumah sembari berkomat- kamit membaca sesuatu. Syahidah pun segera mendekati para lelaki tua itu. “Paktua,” panggil Putri Syahidah. Lelaki- lelaki tua itu menoleh dan segera menghormat mendapati putri raja di hadapan mereka. “Tuanku Putri,” kata salah satu dari mereka. “Sungguh hamba mendapat kehormatan berbicara berhadapan- hadapan dengan Tuanku.” Syahidah tersenyum sekilas, lalu ia bertanya, “Baru menegakkan rumahkah, Paktua ini?” “Benar, Tuanku. Kami pun hendak pula mengundang orang sekeliling untuk berdoa.” “Bagus sekali,” kata Syahidah. “Tapi bolehkah saya tahu, untuk apa bagi Paktua menaburkan darah ayam di sekeliling rumah itu? Maaf saya tadi melihat Paktua melakukannya.” Bapak itu menghormat lagi. “Tak perlu Tuanku Putri meminta maaf. Kami memang memberi sekeliling rumah ini darah ayam, untuk penjagaan.” “Penjagaan apakah itu?” “Kami berdoa pada Tuhan Allah agar diberi penjagaan di sekeliling rumah, dan oleh karenanya kami mempersembahkan darah ayam ini untuk sesajian dan penanda batas penjagaan rumah, Tuanku Putri. Supaya nenek moyang kami juga ikut menjaga rumah ini.” Syahidah mengerutkan wajahnya. “Maafkan saya yang banyak berkata- kata ini, Paktua. Tapi setahu saya, tak bolehlah kita memanjatkan doa dengan memberi sesembahan macam begitu, terlebih lagi darah. Tuhan Allah tak membutuhkan segala sesajian, tapi cukuplah Paktua berdoa saja. Setiap hari, siang- malam, meminta perlindungan. Terlebih Paktua meminta pada Tuhan agar nenek moyang juga menjaga rumah ini,” kata Syahidah menggeleng, “Itu memang kebiasaan kita dahulu. Tapi semenjak kita memeluk Islam, tak ada lagi kita menyembah dan mengagungkan nenek moyang. Hanya satu yang patut disembah dan diagungkan, Tuhan Allah semata.” Paktua itu dan para lelaki lain mendengarkan penjelasan Putri Syahidah dan memafhumkannya. “Astaghfirullah, apa yang kami perbuat sudah salah, Tuanku. Terima kasih telah mengingatkan kami dan meluruskan kembali apa yang menyimpang.” “Tak apa. Saya pun senang membantu,” sahut Syahidah sambil tersenyum. “Paktua pun tak benar- benar salah. Baru sejak zaman Inyik saya, Malik Alam Syah, kita baru memeluk Islam. Banyak hal tentang pokok- pokok agama yang belum kita ketahui lagi. Paktua bisa belajar, karena saya pun juga masih belajar. Bersama- sama kita belajar. Bila ada masa, datanglah Paktua dan yang lain ke surau. Tanyakan pada Syaikh kita apa yang kita kurang dan apalagi yang belum kita lakukan dalam agama ini.” “Ada, Tuanku Putri. Kami memang selalu datang ke surau tiap –tiap Subuh dan Maghrib.” “Bagus sekali,” kata Syahidah. “Mungkin, nanti saya bisa mengusulkan pada syaikh untuk membuka waktu bertanya bagi bapak dan emak di Sepinang, bila ada masalah yang kalian ragu. Saya rasa saya juga akan meminta syaikh untuk memberi tambahan pengajian selepas Ashar juga.” “Terima kasih, Tuanku Putri. Terima kasih,” kata bapak itu sekali lagi menghormat, diikuti para lelaki lain. “Semoga Allah merahmati serta memudahkan jalan hidup Tuanku Putri.” *** Sudah puas hati Syahidah mengelilingi negeri. Ia bermaksud kembali ke istana sekarang, tapi ia hendak singgah dulu ke rumah Syaikh El Beheira. Rumah beliau masih di sekitar lingkungan istana. Sebab kedudukan beliau sebagai pemuka agama –beserta alim ulama lainnya—beliau ditempatkan di rumah kemuliaan khusus yang diberikan oleh Raja Syamsir Alam Syah. Tak hanya alim ulama saja. Cerdik pandai, pemuka negeri, beserta menteri dan keluarganya juga mendapat hak yang sama. Syahidah bermaksud menemui syaikh untuk menjelaskan perkara yang ia temui selama berkeliling negeri tadi. Selain itu ia juga ingin menanyakan masalah kegelisahan hatinya, yang bukannya makin memudar setelah berjalan- jalan, tetapi malah semakin menggebu- gebu saja rasa bimbang gelisah itu. Putri Syahidah menghirup napas dalam- dalam, lalu melangkah mendekati rumah Syaikh El Beheira.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN