Raja Asyfan Nazhim baru saja menyelesaikan pertemuannya dengan para menteri dan penasihat. Kini baginda sudah melangkah menuju selasar utama, hendak beristirahat sejenak bersama permaisurinya.
"Oh, Kakanda!" seru Permaisuri Aziya nan sudah terlebih dulu duduk di selasar. Dia ditemani oleh beberapa dayang. Ada minuman dan beberapa penganan ringan di dekatnya. Tepat saat Baginda duduk di kursi kemuliaan, dayang- dayang tadi pun memberi penghormatan dan pergilah.
"Lancarkah pertemuan Kakanda tadi?" tanya permaisuri dengan lemah lembut.
"Cukup baik, Adinda. Tak banyak masalah dalam pemerintahan, hanya perkara- perkara kecil saja. Seluruhnya pun sudah diselesaikan tadi." Ia lalu mengambil kue pulut dari nampan berukir.
"Baguslah," kata permasuri. Ia memperhatikan baginda yang tengah menikmati makanan ringannya sampai habis. Aziya pun cepat- cepat menuangkan teh ke dalam piala minum baginda.
"Kakanda," panggil permaisuri lagi.
"Ya, Aziya?" sahut Asyfan menoleh.
"Sebenarnya, ada sesuatu yang hendak adinda bicarakan dengan Kanda."
Raja Asyfan Nazhim meneguk sedikit minumannya seraya berkata, "Katakanlah, Adinda. Perihal apakah itu?"
Permaisuri menarik napasnya sejenak, barulah ia berbicara. "Aku ingin membicarakan mengenai Hamid Yusuf, Kakanda."
Baginda Seperca itu hanya mengangguk- angguk. "Teruskanlah."
Dengan agak ragu, permaisuri meneruskan penjelasannya. "Adinda hanya ingin meminta Baginda mempertimbangkan untuk memberi kesempatan pada adik Zafan memerintah nantinya, sebelum Baginda menurunkan tahta kepada Hamid Yusuf. Adinda rasa, umur Yusuf ini masih kecil lagi, belum merasai bermacam pengalaman. Memang, Adinda sangat mengharapkan Kakanda bisa berumur panjang dan memerintah kerajaan ini sampai bila hari. Namun, Adinda rasa, kurang bijak jika Kakanda langsung mewarisi Yusuf tahta sementara ia pun belum mengecap rasa pemerintahan lagi."
Penjelasan itu terdengar masuk akal bagi Asfyan Nazhim. "Pemikiran kau itu ada benarnya, Aziya."
Wajah Permaisuri Aziya terlihat berseri- seri begitu ia mendengar perkataan Baginda Asyfan. Ia pun melanjutkan, "Maka dari itu, akan lebih bijak jika Kakanda memberi kesempatan untuk Tuanku Zafan terlebih dahulu sebelum tahta ini sampai pada Hamid Yusuf. Dia bisa Kakanda tempatkan menjadi penasihat atau setingkat menteri dahulu. Dengan begitu, ia bisa belajar tentang seluk- beluk masalah di kementerian, sebelum ia masuk ke dalam lingkupan nan luas semacam kerajaan," jelas Aziya hati- hati. "Adinda tidak bermaksud menggurui Kakanda tentang bagaimana mengajar Yusuf. Tapi, Adinda hanya inginkan kebaikan bagi penerus kerajaan ini. Meskipun Hamid Yusuf bukan anak yang terlahir dari rahim Adinda," katanya sambil menunduk, "Akan tetapi, tak dapatlah Adinda lukiskan besarnya rasa cinta dan sayang Adinda padanya, sebagaimana anak sendiri. Adinda mohon ampun dan maaf jika Adinda telah banyak berkata, dan jika kata- kata Adinda ini lancang serta kurang berkenan di hati Kakanda." Permaisuri pun menundukkan kepalanya sedikit ke arah suaminya itu.
Demi melihat itu, Asyfan Nazhim pun tersenyum penuh kasih. Ia mengelus rambut permaisuri nan hitam lagi halus itu. "Tak apa, Aziyaku. Mengapa pula engkau meminta maaf? Aku senang, kau mau memberi masukan- masukan semacam begini. Engkau permaisuriku nan baik dan cerdas," puji Baginda seraya tersenyum.
Seketika pipi permaisuri bersemu merah begitu mendengar pujian yang baginda lontarkan.
"Tetapi adindaku sayang, aku tidak bisa setuju dengan kesemua permintaan engkau," kata Raja Asyfan Nazhim. Perrmaisuri menatap Baginda heran, keningnya berkerut.
Sementara itu, Raja Asyfan dengan tenang meminum kembali dari cangkirnya sebelum berkata- kata.
"Kakanda tetap akan mewarisi mahkota ini langsung kepada Hamid Yusuf. Aku ingin masalah tahta ini tak diubah- ubah, sesuai dengan surat wasiat yang pernah kutuliskan. Tetap Hamid Yusuf. Memang, perkara Yusuf yang masih mentah dengan pengalaman ini benar adanya. Ia masih muda. Butuh banyak belajar, mengecap ilmu, menitikkan keringat untuk tahu kerasnya kerja yang menantinya di kemudian hari. Untuk itulah, Aziya, aku berniat meningkatkan masa belajar Yusuf bersama Tuanku Guru dan memberinya posisi di pemerintahan mulai dari sekarang. Tentu, kuawali dari posisi paling bawah. Jadi engkau tak perlu cemas. Aku akan sedikit demi sedikit mengajarinya sampai pandai. Sampai ia bisa kunaikkan ke tingkat yang lebih tinggi, begitulah seterusnya."
Permaisuri Aziya terkejut mendengar keputusan baginda. "Tetapi, apa alasan Kakanda menolak untuk memberi tahta sementara kepada Zafan? Bukankah dengan begitu, kerajaan jadi lebih terjamin? Zafan sudah berpuluh tahun bersama Kakanda menjalani pengaturan negeri ini, tentu adik Zafan nanti akan lebih pandai dan bijaksana dalam mengambil keputusan."
"Memang benar," kata Raja Asyfan Nazhim mengiyakan permaisurinya. "Tapi aku sengaja menghindarkan kemungkinan ini, semata- mata demi kerajaan ini jua."
"Maksud kakanda?"
"Aku tak menginginkan nantinya ada perselisihan dalam lingkungan kerajaan. Apabila aku memberi tahta ini kepada Zafan, ini tentu membuat anggota keluarga kerjaan terpecah, sebab nantinya kepada siapa tahta selanjutnya mesti diwariskan? Kepada putra Zafankah atau putraku, Yusuf? Bukan tak mungkin jika perseteruan ini akan memicu pertumpahan darah, yang berujung pada kehancuran Negeri Seperca. Lalu, tentu bukannya tidak mungkin pula bila keadaan dalam negeri yang memburuk membuat kita mudah diserang Pulau Besar, dan kembali dikuasai Pulau Besar lagi," jelas baginda berpanjang lebar. "Kita semua sudah bersusah- susah mendaulatkan diri dari kekuasaan Pulau Besar , mengorbankan banyak orang di masa dahulu. Dan aku tidak ingin membawa negeri ini pada masa itu. Banyak hal kecil di dalam kerajaan ini, Aziya, yang awalnya memantik api kecil, tapi ianya makin ganas dan besar, lalu melalap seluruh negeri ini."
Permaisuri Aziya diam mendengarkan penjelasan Raja Asyfan Nazhim. Dengan memberanikan diri ia bertanya, "Lalu, menurut Baginda kemungkinan pemberian tahta pada Zafan adalah api kecil yang nantinya akan menghancurkan sekalian sarwa Seperca?"
Baginda menggeleng tenang. "Tidak satu- satunya api kecil, Aziya. Ia hanya satu di antaranya."
***
Hamid Yusuf beserta kawan- kawannya tengah berjalan- jalan memutari pasar besar Seperca. Hari ini adalah hari pasar, sehingga demikian ramailah negeri itu lebih dari biasanya. Yusuf mengajak kawan- kawan karibnya itu menuju tempat- tempat penjualan kain, pakaian, dan perhiasan. Memang, Seperca terkenal hebat dengan kainnya yang bagus dan beragam corak nan indah.
"He, Yusuf! Suka benar engkau ini, ya, memutar dekat tempat pakaian dan perhiasan," kata Saud sambil melihat- lihat segala anting dan kalung cantik bermanik- manik. "Sudah berapa kali kita lewat kesini, tetap engkau tak merasa puas. Sudah pula engkau beli perhiasan satu- dua. Apalagi?"
"Memang. Sudah menjadi kegemaranku pula saban hari ini, Saud, mengelilingi tempat pakaian dan perhiasan. Puas saja rasanya hatiku tiap melewatinya" sahut Yusuf seraya menyentuh perhiasan dari kerang laut.
Dahi Saud berkerut- kerut. "Apa hal ini? Apakah engkau sedang suka pada seorang gadis, Yusuf? Apa engkau terniat memberikannya pada gadis yang engkau suka?"
Hamid Yusuf hanya terdiam, sampai rombongan mereka akhirnya melalui tempat- tempat pemintalan benang. Tak jauh dari sana, ada pula tempat menenun berderet- deret, termasuk pula tempat tenun Mak Karimah. Tampak beberapa pekerja tengah mengangkat dan menarik belebas dengan sigap, menarik benang ke dalam perkakas tenun, lalu merapatkan belebas mereka lagi.
Tiba- tiba Hamid berhenti dan berbalik, menghadapkan muka pada seluruh temannya.
"Memang, Saud. Kata- katamu benar."
Saud memandang tak percaya, begitu pula kawan- kawannya yang lain. "Mengenai apakah itu? Engkau suka seorang gadis?"
Hamid Yusuf tak menjawab, melainkan terus berjalan kembali. "Sungguhkah engkau ini?" tanya Saud yang ingin tahu. Ia menoleh pada Zaid untuk mendapatkan keyakinan, "Benarkah itu, Zaid? Tahukah engkau perihal Yusuf ini, atau Yusuf hanya sekedar memperolok- olokkan kita?"
"Memang benar," kata Zaid tenang. Ia tersenyum sedikit. "Bahkan Yusuf sudah memberi beliau tanda mata berupa kain tenun terbaik sekalian Seperca."
"Beliau?" ulang Saud.
"Benar. Gadis yang Yusuf suka adalah putri Raja Sepinang, Tuanku Putri Syahidah."
"Amboi!" seru Saud senang sekaligus terkejut. "Tak kusangka ternyata kawan kita ini menyukai putri raja! Memanglah sepadan dengan engkau, Yusuf! Bila kami dapat berjumpa dengan beliau? Bilakah engkau hendak bertemu Tuan Putri lagi?"
"Engkau tunggulah agak beberapa jam," kata Yusuf seraya tersenyum. Matanya penuh semangat meluap- luap, meski ia tampak tenang di luar. "Hari ini aku berniat kembali ke Sepinang, dan tentu kuajak engkau sekalian. Harap- harap,Tuan Putri kembali ke dermaga hari ini."