Kemarahan

1530 Kata
Rapat di istana Seperca itu pun usai, dan para menteri beserta pejabat negeri kembali ke pekerjaan mereka masing- masing. Namun tidak dengan Tuanku Aminuddin. Ia malah berbelok ke jalan pulang kembali ke rumahnya, mulutnya tak henti- henti mengoceh dan mengumpat hingga pintu depan rumahnya yang gagah lagi besar. Kekesalan Tuanku Aminuddin itu jelas terbaca di raut muka, dan istrinya pun dapat segera paham. Diajaknya suaminya itu duduk di kursi ruang tamunya yang mewah berukir itu dengan baik- baik, hingga suaminya itu bercerita panjang lebar. Saud anaknya, yang tiada sengaja melintas dekat emak ayahnya, ikut pula duduk di kursi mendengarkan apa yang sudah terjadi. “Titah Raja kita itu!” seru Aminuddin gusar, “Apa yang sangat ia junjung tentang persahabatannya dengan orang Sepinang itu, he? Sukakah ia melihat orang kita hidup kekurangan daripada tetangga baiknya itu yang hidup kekurangan?” Sang istri ikut- ikutan panik. “Lalu bagaimana ini, Kakanda? Bila pungutan barang dari Sepinang dikurangi, tentu akan ada pula aturan baru tertulis dari Raja Asyfan tentang besaran yang harus dikutip dari barang dagangan yang masuk?” Saud ikut mengernyitkan kening memikirkan ini, namun wajah ibunya menunjukkan kebencian. “Itulah!” seru Aminuddin lagi. “Aku biasa mengutip biaya masuk dari mereka dan kita selalu dapat imbalan tambahan. Sekarang apa yang bisa aku perbuat lagi? Bila Baginda nanti mengeluarkan aturannya untuk tetapan besaran biaya masuk dan ini juga menyangkut hubungan kita dengan Sepinang serta Pulau Besar, tentu masuk akal bila nanti beliau juga mempekerjakan orang- orang tambahan untuk memastikan peraturannya terlaksana,” ungkap si menteri itu panjang- lebar. “Dan dalam bayanganku, memanglah beliau akan menambah orang- orang yang mengawasi bandar, sebab aturan ini masih baru lagi. Semua orang yang berdagang perlu tahu, sehingga Baginda akan awas benar dengan kegiatan di bandar sekarang. Aku tak akan dapat meminta biaya tambahan dati mereka. Engkau paham? Tiada lagi bagian untuk kita! Padahal kita mendapat cukup banyak dari sana, jadi apa yang sekarang tersisa untuk kita?” “Ayah,” panggil Saud yang tiba- tiba buka mulut. Wajahnya tampak ragu- ragu. “Tidakkah mungkin bila Baginda sudah mengetahui bahwa Ayah meminta biaya masuk lebih dari yang semestinya? Tidakkah karena itu Baginda menitahkan aturan itu sebab beliau tahu dan ingin membuat jera sebelum Ayah bertindak lebih jauh?” Aminuddin menggeleng. “Tidak, Saud. Menurut Ayah, Baginda jelas hanya terpengaruh akibat kejadian pemungutan pajak tambahan mendadak dari Pulau Besar itu, dan pengurangan biaya masuk terkhusus barang Sepinang semata- mata hanya untuk meringankan saudara sesama Melayu kita.” Aminuddin mencibirkan mulutnya tatkala mengucap ‘saudara sesama Melayu’. Wajah istrinya beserta sang putra –Saud –terang sekali menunjukkan kekesalan yang amat sangat. Mereka tiada pelak lagi memendam rasa benci pada Baginda, nan berusaha merampas koin- koin emas yang telah mereka dapat dengan mudah selama ini. “Keterlaluan!” bisik istrinya dalam kemarahan. “Lalu apa yang akan engkau lakukan, Kakanda? Apa yang bisa kita perbuat sekarang?” Aminuddin duduk bersandar di kursinya, diamati oleh anak istrinya yang menunggu jawaban. “Tak satupun,” katanya datar. “Kita perlu menunggu apa siasat yang hendak dilakukan Raja Asyfan mengenai tindakan Sri Raja Pulau Besar itu. Bila nanti setelah aturan ini dikerjakan di seisi bandar Seperca dan Raja memberi perintah lain, kita bisa mencari celah dari sana.” “Dan kalaupun tidak,” kata Aminuddin mengisap rokok daunnya, “Kita sendiri yang akan menggoyahkan pemerintahan Raja Asyfan yang hebat itu, Biarlah dia tahu rasa apa yang telah dia perbuat demi kasih dermawannya pada jirannya itu.” *** Bunyi besi bertemu besi berdentingan keras memekak telinga –berulang kali. Bunyi logam tajam itu diiringi suara terengah- engah dari pemuda berkulit sawo matang, sebab ia berusaha benar menangkis serangan pedang orang di depannya. Lawannya, tiada sedikitpun tampak sesak napas sebagaikan dirinya, melainkan dengan tenang mencari- cari titik lemah si pemuda dan menusukkan pedangnya kesana. Treng! Belum, Hamid Yusuf belumlah kalah. Tusukan pedang itu cepat ia elakkan dari pinggang dengan sigap. Penat badannya sebab pedang terus diarahkan padanya berkali- kali tanpa henti, sementara titik lemah lawannya belum juga ketemu. Peluhnya sudah bercucuran, matanya sudah tak siaga lagi, tapi dia kuat- kuatkan juga hati dan tubuhnya sebab ini bukan hanya untuk dirinya sendiri. Ini untuk kerajaan ayahnya, terutama untuk Syahidah. Gadis yang sudah beberapa lama ini tiada sanggup ia temui dengan kepala dan kemampuan kosong. Gadis cantik berpembawaan tenang, cerdas, yang telah menawan hatinya dengan sikap malu- malunya itu. Sekejap perut Hamid Yusuf terasa bergolak oleh kenangan kasih hatinya itu, tepat saat sebuah sayatan dangkal mengiris perih lengan kanannya bagian atas –dekat ke bahu. “Ah!” erang Hamid Yusuf sambil menjatuhkan pedang. Darah mengalir cepat membasahi kain baju pemuda yang tegap itu. Sementara itu, sang lawan hanya menatap Hamid Yusuf tenang, dan serta- merta memasukkan pedangnya sendiri ke dalam sarung. “Apa ini, Yusuf?” tanya lawannya itu dengan nada tinggi. “Engkau lengah!” “Ampunkan saya, Tuan Guru,” ujar Hamid Yusuf menundukkan kepala dengan rasa bersalah yang teramat sangat. “Saya memang lengah sedikit tadi.” “Bila kau sedang mempertahankan diri, tiada waktu untuk memikirkan yang lain!” tegasnya lagi, seakan- akan bisa menebak isi kepala Hamid Yusuf. “Kau harus memusatkan perhatian pada lawan di depanmu, bukannya asyik berangan! Terlebih aku tiada melihat usaha menyerang darimu. Kalau engkau sedang melawan orang lain, tidak cukup bagimu hanya bertahan dan mengelak seperti itu. Sampai kapan engkau akan bertahan? Engkau ini sedang tidak main- main!” Hamid Yusuf terdiam mendengar perkataan gurunya itu. Tidaklah ia membantah, sebab ia sendiri tahu bahwa dirinya salah. “Aku memang sengaja menyayat lengan atasmu sedikit sebagai hukuman untuk kealpaanmu,” ujar lelaki yang dipanggil Tuan Guru. "Bebatlah lukamu dan istirahatlah sebentar. Sebelum Zuhur menjelang, engkau kembali lagi ke sini, sebab aku akan membicarakan beberapa titik lemah pertahanan engkau barusan. Kita lanjut dengan penggunaan serangan selepas sembahyang nanti.” Hamid Yusuf mematuhinya, lagi memberi salam hormat. Ia masuk kembali ke istana dan meminta kain pembalut dari pelayan. Si pelayan menawarkan diri untuk membantunya, akan tetapi ia menolak. Dengan susah payah pemuda sawo matang itu bertukar baju yang sudah bergelimang darah dari lukanya dengan baju bersih, kemudian ia kembali ke sisi halaman istana –tempat ia belajar tadi. Namun siapa sangka bahwa ia tiada menemui Tuan Gurunya di sana –melainkan kawan- kawannya. “Ha, Yusuf!” sapa salah satu dari mereka sembari melambaikan tangan. “Akhirnya bersua muka juga aku dengan kau! Susah benar tampaknya hendak bertemu denganmu!” “Kelihatannya Yusuf sedang sibuk dengan urusan istana,” kata Saud. Senyumnya tersungging agak miring. “Putra Mahkota, eh? Jadi mestilah ia mempelajari banyak hal dari Baginda Asyfan mulai dari sekarang.” Hamid Yusuf tertawa mendengarnya, lalu dengan santai ia menjawab, “Jangan engkau sebut- sebut lagi aku ini Putra Mahkota. Meski itu benar adanya, pasti ada orang- orang dengki yang ingin menghajarku kalau mereka tahu pasal itu langsung dari kawan karibku sendiri. Apa yang bisa kulakukan bila tiba- tiba ada orang menculik di tengah malam?” Semua kawannya ikut tertawa –kecuali Saud. “Jadi memang betul engkau sibuk belajar pemerintahan di istana.” “Bukan sekadar ilmu pemerintahan saja,” sahut Yusuf. “Segala ilmu yang patut aku pelajari supaya usia mudaku tak terbuang.” “Amboi bijak benar kawan kita ini,” kata temannya yang lain. “Hebat benar Tuanku Putri Syahidah mengubahnya dalam sekejap mata.” Yusuf membantah perkataan itu, sebab ia tak dapat menyanggah kebenaran dalam kata- kata kawannya. “Jadi kau memang sungguh- sungguh belajar?” tanya Zaid, ikut berbicara. “Benar sekali, Zaid. Aku hendak menebus hari- hariku yang sudah terbuang.” “Benar- benar kawan kita ini!” celetuk yang lain. “Itukah sebabnya engkau jarang terlihat di dermaga? Tidak lagi bermain- main di pasar dan melantah perahu ke laut lepas?” Hamid Yusuf tersenyum. “Menurut Tuan Guru, banyak sekali ketertinggalanku dan aku perlu mengejarnya secepat mungkin. Nanti bila beliau merasa aku sudah tahu cukup banyak dan mengembalikan jadwalku seperti biasa, insya Allah dapatlah aku sesekali berlayar lagi dengan kalian.” “Wah, hebat sekali tekadmu sekali ini kulihat,” puji Zaid seraya memandangi pemuda karibnya itu dari atas hingga bawah. “Dan memang aku lihat kau juga banyak berubah, Yusuf. Dalam tabiatmu, perawakanmu pun terlihat berbeda!” “Ha, betul katamu Zaid! Lihat bahunya, kekar sekali! Sudah seperti Panglima kita!” Semua –kecuali Saud –asyik menepuk otot- otot Yusuf dengan gelak tawa, akan tetapi Yusuf tiba- tiba mengaduh. “Jangan engkau tepuk keras lengan kananku! Aku baru saja dilukai Tuan Guru karena tidak memperhatikan kala pelajaran tadi.” “Oh, maaf! Kami tidak sengaja!” Yusuf mengangguk, mengurut sedikit bebat lukanya itu. “Jadi,” kata Saud yang terdiam sudah sekian lama, “Hari ini kau tidak akan ikut bersama kami? Tidak ingin berlayar lagi?” “Tentu bukan selamanya, Saud! Aku ada perlu sebentar ke Sepinang hari Selasa, dan aku akan berlayar ke sana nanti. Tapi hanya itulah, belum tahu lagi aku kapan aku akan berlayar selanjutnya.” “Ada perlu apa?” Hamid Yusuf merasa detak jantungnya lebih terasa begitu mengingat tujuan hatinya ke Sepinang, namun ia juga belum ingin bercerita banyak pada teman- temannya ini. “Tidak mengapa,” sahutnya. “Hanya ingin bertemu seorang Syaikh Persia di sana.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN