Memang Benar

1942 Kata
Yazid, Panglima Gafar Ali, Alif dan segerombol prajurit lainnya belum jauh lagi menghilang dari pandangan mata. Syahidah tahu kalau mereka mesti hendak ke hilir sungai sekarang, menurutkan langkah hulubalang penjaga batas tadi, dan hanya ada satu sungai yang mengalir di Sepinang –ia membelah Sepinang di daratan menjadi satu bagian besar dan satu lagi bagian kecil. Dan kesanalah putri raja beserta dayangnya itu pergi. Kelompok Yazid berjalan ke arah hutan di pinggir Sepinang, menerabas rumput- rumput liar dan gulma setinggi lutut. Syahidah dan Nilam sudah melihat titik- titik kelompok Yazid, dan tak seberapa jauh dari mereka. Keduanya berjalan dengan halus dan pelan di belakang, bersembunyi di antara pepohonan sambil kesusahan berjalan di antara rumput yang menjerat kaki. Mereka tidaklah semudah para lelaki yang membawa pedang di sarung pinggang lalu memutus jerat- jerat rumput yang menjalar dan duri yang menusuk badan. Untunglah sebelum Syahidah masuk ke hutan tadi, ia sudah melipat dan menyimpan selendang suteranya. Ketika mereka tak begitu jauh lagi dari para lelaki, Syahidah mulai dapat menangkap pembicaraan mereka sedikit- sedikit. “Apa dia berseragam lengkap angkatan muda?” “Tidak pakaian latihan, Tuanku. Namun dia mengenakan pakaian istirahat.” “Kapan engkau temukan tubuh itu?” “Tepat  sebelum saya melapor pada Tuanku Yazid. Saya dan teman saya tengah berkeliling di sekitar sungai saat ada sesuatu yang tampak mengapung di sungai. Sesuatu yang besar. Kami mendekatinya, dan saya melihat punggung, yakinlah saya kalau itu jasad manusia. Teman saya sudah mengira- ngira kalau ia baru dibunuh semalam, baru beberapa waktu. Lewat tengah malam namun sebelum Subuh.” “Dibunuh? Bagaimana engkau tahu ia dibunuh? Dan darahnya tampak masih menempel di pakaianmu. Bukankah bila ia terhanyut di sungai, darah itu sudah bersih tercuci air?” tanya Badruddin yang ikut buka suara pula. “Saya akan jelaskan Tuanku. Ketika kami menemukan jasad itu, ia memang sudah berat akibat terminum air. Dan lukanya jelas menganga –ada yang menyáyat nadi lehernya. Ketika kami mencari- cari terlebih dahulu jejak- jejak lain, kami menemukan sebuah selimut tebal yang masih berbercak dárah dan masih kental lagi. Tampaknya pemuda ini ditikam ketika masih tidur, lalu dibawa ke sini beserta selimutnya.” Syahidah dan Nilam yang mendengarkan dengan teliti tak jauh di belakang, terkesiap dengan kekejaman pembunuhan pemuda itu. Mereka serentak menutup mulut, sebelum jerit sempat keluar. Rupa keduanya mulai memucat, tapi tetap mereka ikuti juga para lelaki hingga dekat ke sungai. Penjaga batasnya pun mendekati kawannya yang berdiri di dekat tubuh nan telah terbujur kaku itu. “Ini dia, Tuanku,” kata si penjaga batas seraya menunjukkan pada semua orang. Yazid Alam dan Alif Samudera sontak terkejut dalam keterpanaan, sedangkan Gafar Ali menatap mereka penuh ingin tahu. Hanya satu yang terlihat biasa –Badruddin. “Kalian berdua tahu siapa pemuda ini? Benarkah ia angkatan muda kita?” tanya panglima. “Benar, Ayah,” sahut Alif. Matanya masih membelalak tak percaya. “Dia bernama Zainal.” Yazid manggut- manggut. “Aku memang tahu tentang perangainya yang tak begitu baik, walau sebenarnya ia mempunyai daya kemampuan untuk jadi prajurit yang luar biasa. Engkau tentu ingat saat pelatihan berjalan dalam air dengan pakaian perang lengkap itu, Alif?” Alif membenarkan. “Ya, Tuanku Yazid. Dia bertabiat buruk dan congkak, namun dalam pelatihan berat itu, dialah yang paling gesit dan mampu bertahan.” “Rupa- rupanya tabiat buruk itu membawanya pada masalah dengan orang- orang buruk pula, sehingga ia dibunuh,” ujar Gafar Ali sembari mengelus- elus jenggot putihnya. Sementara itu, di sebalik pohon randu alas yang besar, Syahidah dapat melihat Nilam menegang, lalu wajahnya semakin pucat. “Tidak apa- apakah kau, Nilam? Kau terlihat tidak sehat.” bisik Syahidah. Ia memegangi kedua bahu kawannya itu, memapahnya sebab Nilam tampak seperti akan pingsan. Nilam menggeleng memegangi kepalanya. “Saya… saya… nama itu…” “Apa engkau kenal pemuda itu?” “Ya, Engku,” sahut Nilam. Ia juga ingat bagaimana raut pucat Zainal yang terbelalak menelentang di atas tanah, dikelilingi oleh para lelaki. “Dia itu teman saya, Zainal.” “Yakinkah engkau bahwa Zainal ini dan teman engkau adalah orang yang sama?” “Yakin sekali, Engku. Saya tahu benar wajahnya ,sebab kami sudah saling mengenal sejak kecil lagi.” Syahidah tampak gundah. “Mari, Nilam. Tak baik bila kita terus di sini, terutama engkau. Sungguh ini sangat membuat siapapun bisa terguncang hatinya.” Nilam mengangguk patuh, membiarkan saja badannya dipapah oleh Syahidah. Ia memang merasa sangat lemas, kakinya berat sekali untuk berjalan. Samar- samar, terdengar Yazid menggumamkan sesuatu bersama salah seorang prajurit yang ikut bersamanya tadi. Sang prajurit itu mengangkat tangan Zainal, memeriksa tiap jari- jemarinya, dan memeriksa jempol. “Benar ini, Tuanku. Ini ada luka yang separuh sembuh di jempolnya.” Yazid menatap Zainal dingin, namun Panglima Gafar Ali melihat padanya bingung. “Kenapa, Yazid? Luka apa itu?” Putra tertua Raja itu pun menceritakan duduk perkaranya, penyelidikan tentang pelaku pembakar gudang, hingga kepastian yang kemarin malam ia peroleh. Sekilas ia melirik pada rona Badruddin adiknya yang ia tahan sedemikian rupa hingga terlihat datar sekali, seakan tidak ingin menunjukkan perasaannya pada orang- orang. “Tepat saat aku dan prajurit akan menangkapnya hari ini, ia malah ditemukan mati terbunuh,” kata Yazid Alam. “Aneh benar,” Panglima Gafar Ali mengerutkan kening. “Ini semestinya bukan kebetulan, karena memang pasti ada yang ingin membuatnya tutup mulut tentang kebakaran gudang.” Tatkala mendengar itu, Syahidah membeku sesaat. Tangan Syahidah yang memegangi lengan Nilam malah mengencang kuat, sehingga Nilam mengerang kesakitan. “Ah, maafkan aku, Nilam! Aku tiada sengaja!” Namun terlambat. Suara erangan Nilam dan pintaan maaf Syahidah yang agak keras telah membuat para lelaki yang mengitari mayat Zainal menoleh ke arah suara. Panglima Gafar Ali mengenali sosok yang sudah ia anggap anak itu tengah memapah dayangnya. “Anakku Syahidah?” Gadis itu terpaksa berhenti, berbalik dengan muka bersemu malu. Yazid Alam berlari mendekati mereka berdua. “Mengapa engkau kemari, Syahidah? Lalu apa yang terjadi dengan dayangmu?” Dengan rasa bersalah, Syahidah lalu mengisahkan keinginannya untuk ikut sampai kemari hingga keadaan Nilam nan melemah. “Aku akan memerintahkan dua prajuritku membawakan tandu bagi Nilam kembali ke istana,” ujar Yazid tegas. “Seharusnya engkau tidak berada di sini, Syahidah. Tempat ini rawan bahaya, dan jika kita berselisih jalan, kepada siapa engkau akan meminta tolong?” “Maafkan adikmu, Kakanda Yazid,” pinta Syahidah yang menundukkan kepalanya. “Aku berjanji tidak akan mengulangi hal serupa. Sungguh, takkan kuulangi.” “Ya, bagaimana lagi. Kau pun sudah di sini. Lagipun, aku ingin membincangkan sesuatu dengan engkau sedikit,” kata Yazid tiba- tiba dengan suara yang ia kecilkan hingga menjadi bisikan. “Engkau tentu ingat dugaan pikiranmu tentang keterlibatan Badruddin dengan kebakaran gudang? Dan engkau juga baru saja telah mendapati si pelaku pembakar mati tepat saat kami ingin menangkapnya,” sambung Yazid dengan geliat resah, “Dan dapatkah engkau melihat bagaimana sikap rupa Badruddin dari kejauhan tadi saat kami menemukan mayat Zainal?” Syahidah mengangguk dalam. Sepertinya ia berbagi pikiran yang sama dengan kakaknya. “Aku juga mulai punya perasaan kalau Badruddin ada kait- mengaitnya dengan hal ini, Syahidah,” ujarnya. “Namun ia sempat menutup mulut Zainal sebelum kami berhasil mengetahui kalau ialah menyuruh  Zainal melakukan pembakaran.” Jantung Syahidah sebagaikan berhenti berdegup satu- dua saat. “Apa Kakanda merasa bahwa –adinda Badruddin-lah yang meminta agar seseorang membunuh Zainal semalam?” Yazid mengiyakan. “Benar. Ini baru dugaanku saja, Syahidah. Tapi bila ini memang benar suatu saat, maka aku ingin memperingatkanmu untuk selalu berhati- hati mulai dari sekarang. Aku juga akan mawas dengan sekitarku, sementara juga memperhatikan tindak- tanduk Badruddin. Bila ia mampu menghilangkan satu nyawa, ia tentu tak akan segan menghilangkan beberapa nyawa lagi demi mencapai tujuannya.” *** Syahidah dan Nilam tidak perlu menunggu keretanya dengan lama, sebab prajurit suruhan Yazid tadi sudah kembali dalam waktu singkat dengan dua kereta. Satu digunakan bagi Syahidah dan dayangnya pulang, sedang yang satu lagi berisi perlengkapan penguburan si mayat. Tanpa membuang masa, mayat Zainal itu segera dibersihkan dan dibawa ke dekat langgar. Syaikh El- Beheira pun dipanggil untuk menjadi imam shalat jenazah, dan semuanya dilakukan dengan sigap dan serahasia mungkin. Panglima Gafar Ali berpendapat bahwa semakin sedikit yang tahu, semakin sedikit pula kekhawatiran yang menyebar nantinya, sebab kejadian ini dapat menggemparkan seluruh isi Sepinang. Usai shalat jenazah, mayat Zainal ditandu dalam keranda menuju tempat penguburan milik keluarganya. Mereka jatuh tersedu- sedu mendapati anak mereka yang kembali dalam keadaan terbujur tak bergerak lagi. Mereka telah diberitahu saat mayat tengah dimandikan tadi, supaya kubur cepat digali. Mayat Zainal pun diturunkan ke liang lahat dengan tangisan dan upacara penghormatan untuk angkatan prajurit muda itu. Kubur kembali ditutup dengan tanah, menampakkan tanah merah yang segar. Usai doa- doa, semua orang pun bubarlah. *** Semua lelaki itu tampak lelah letih usai penguburan Zainal. Matahari hampir mencapai ubun- ubun, tanda waktu Zuhur akan datang sebentar lagi. Panglima dan putranya berniat kembali ke rumahnya –begitu pula dengan Yazid, Badruddin, dan para prajurit –tapi tampaknya Alif ingin menahan Yazid sebentar. Ia meminta ayahnya terlebih dulu pulang, dan ia pun takkan lama lagi menyusul. “Tunggu sekejap, Tuanku Yazid,” kata Alif mengangkat tangannya dengan sopan. “Ada apa gerangan, Alif?” Alif menangkupkan tangannya. “Saya meminta maaf telah menahan Tuanku Yazid hingga harus berbincang dulu denganku di sini. Mungkin waktunya kurang tepat pula sebab kita baru saja menguburkan seorang anggota prajurit kita, dan rasa- rasanya agak tak patut saya menanyakan perkara ini usai kedukaan  begini.” “Tidak mengapa. Bila ada yang terasa di hatimu, katakanlah.” Alif melihat sekilas pada wajah Yazid dengan rona cemas, penuh kekhawatiran. “Tuanku tentu ingat tatkala Ayah saya memanggil Syahidah beserta dayangnya, dan kemudian Tuanku berbincang dengannya?” “Ya. Adikku itu,” kata Yazid tersenyum, “Dia benar- benar ingin tahu apa yang terjadi hingga menurutkan kita sampai ke sini.” “Adakah ia baik- baik saja? Sebab saya lihat wajahnya sungguh pucat, dan mereka berdua saling memapah,” ujarnya, masih dengan keresahan yang nyata. “Saya takut kalau- kalau Syahidah sedang jatuh sakit.” Senyum Yazid makin lebar, sedang tangannya menepuk pundak Alif yang bidang. “Jangan engkau risau. Syahidah baik- baik saja, hanya Nilam dayangnya yang agak kurang sehat tadi. Keduanya memang pucat, sebab mereka sama terkejutnya dengan kita tatkala menemukan mayat Zainal, terlebih dayang adikku mengenali pemuda prajurit muda itu.” Alif menghembuskan napas leganya, lalu menghaturkan terimakasihnya dengan sangat pada Yazid Alam. “Sama- sama. Aku tahu engkau sangat mencemaskan adikku. Dan aku tahu bagaimana perasaan engkau padanya.” Muka Alif melembut sekejap sebelum kembali tenang sebagai biasa. Tapi suara pemuda yang bergetar jelas sekali menyampaikan isi hatinya. “Saya, saya –“ Putra tertua Syamsir Alam tergelak melihat pemuda yang tergeragap itu. “Syahidah baik- baik saja. Dan sungguh, aku senang mendengar kau sangat mencemaskan adikku. Apa engkau sempat berbincang sesuatu hal dengan Syaikh El- Beheira?” “Tidak, Tuanku. Mengapa halnya?” tanya Alif bingung. “Tidak,” kata Yazid. Ia mengatupkan bibirnya dengan tidak enak. “Aku hanya ingin mengatakan padamu untuk—nah, lebih baik Syahidah atau Syaikh sendiri yang mengatakan langsung pada engkau. Tapi bila engkau merasa susah tentang suatu hal, engkau bisa melupakannya sedikit demi sedikit dengan memusatkan perhatian pada pelatihan prajurit. Engkau prajurit yang taatm setia lagi kuat bukan main. Istana sangat membutuhkanmu, apalagi hari- hari ini.” Alif masih tampak tak paham dengan jalan perbincangan Yazid. “Maaf Tuanku Yazid, saya masih belum mengerti benar maksud Tuanku.” Kini giliran Yazid yang menghembus napas. Tangannya sekali lagi menepuk pundak Alif. “Sudah, tidak mengapa kalau kau tidak paham sekarang. Engkau ini pemuda yang baik, Alif. Aku bahkan merasa engkau ini adik lelakiku sendiri melebihi Badruddin yang sedarah sekandung denganku. Kudoakan semoga keberuntungan selalu menyertai engkau.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN