Mencari- Cari

2002 Kata
Kenal dirimu hai anak jamu Jangan kau lupa akan diri kamu Ilmu hakikat yogya kau ramu Supaya terkenal akan dirimu … Mencari dunia berkawan- kawan Oleh nafsu khabits badan tertawan Nafsumu itu yogya kau lawan Maka sampai engkau bangsawan (Syair Sidang Fakir – Hamzah Fansuri)   Sudah beberapa hari ini berlalu sejak Hamid Yusuf belajar sendiri dari perpustakaan istana. Ia habiskan waktunya belajar dari buku- buku serat kayu yang sudah lama dan acap tanggal pengikatnya. Atau sudah tak berurut lagi halamannya. Namun dengan ketekunan, Hamid Yusuf mengelokkan buku- buku itu lagi dan menyusunnya dengan hati- hati pada rak. Ada setengah hari ia habiskan untuk mengerjakan itu sebelum benar- benar ia mulai belajarnya, sebab tiada senang juga rasa hati Yusuf bila tempat ia belajar berkarut- marut macam begitu. Lagipun, ia tiada bersemangat bila berlatih pelajaran yang melibatkan gerak badan –semacam renang, kuda, bersilat, berpedang –hanya sendirian sahaja. Hendak mengajak beberapa tentera istana pun tiada berniat, karena kemampuan Yusuf bukanlah tandingan mereka. Dapat saja ia mengajak panglima ikut serta dalam latihannya, tapi pemuda itu tidak ingin pula menggaduh pekerjaan utama panglima. Jadi ia berpikir lebih baik menunggu Tuan Guru sembuh benar dulu sebelum melakukan latihan itu. “Apa yang engkau lakukan di sini, Yusuf?” tanya Zafan yang tampak mengintip- tengok dekat pintu ruang pustaka. Hamid Yusuf tersenyum seraya menganggukkan kepalanya sopan. “Hanya ini, Pamanda. Aku merapikan semua buku- buku ini terlebih dahulu sebelum dibaca.” “Engkau tidak bersama Tuan Gurukah?” “Tidak, Pamanda. Tuanku Guru merasa kurang sehat sejak tiga- empat hari lalu. Tabib berkata, ada mungkinnya beliau akan berehat selama seminggu.” “Ah,” erang Zafan dalam gumaman. “Sungguh tak beruntung kita ini! Sakit apakah beliau, kiranya?” Rona Yusuf bermuram sedikit. “Beliau semacam terkena demam tinggi, Pamanda. Namun tabib bercakap, ada racun yang termakan olehnya.” “Racun?” ulang Zafan dengan matanya yang terbeliak. “Bagaimana beliau dapat termakan racun?” “Kurasa ada yang sengaja memasukkan racun ke dalam sesuatu yang dimakan Guru. Atau, pada sesuatu yang digunakan beliau. Aku juga sudah bertekad mencari tahu siapa yang keji sekali berbuat begini, Pamanda. Namun tiada nampak jejak laku yang dapat kutelusuri.” Wajah Zafan mengerut- ngerut marah. “Astaga, buruk laku benar orang ini, sampai tega melakukan perbuatan keji semacam itu! Bagaimana keadaan beliau sekarang?” “Alhamdulillah sudah mulai agak baik, Pamanda. Untunglah racun itu tak terlalu berbahaya, dan cepat pula dikeluarkan. Tapi saya kira memang beliau perlu juga istirahat agak panjang, ada kira- kira beberapa hari lagi.” “Tentu, tentu,” kata Zafan mengiyakan. “Semoga Allah segera limpahkan beliau kepulihan. Dan bila memang Tuan Guru baru benar- benar sehat beberapa hari, memang patutlah kita beri beliau waktu supaya engkau pun dapat belajar tanpa mencemaskan suatu apapun.” Hamid Yusuf membenarkan dan mengaminkan doa Zafan Nazhim. Adik Asyfan itu pun pamit diri, sebab ia tidak ingin berlama- lama mengganggu Yusuf. Setelah disalami pemuda itu, Zafan pun pergilah. Di sepanjang lorong istana yang panjang mulai dari petak pustaka hingga ke bangunan utama, Zafan tampak berpikir- pikir. Namun bila dilihat benar, ada sedikit tersungging senyum di bibirnya, di balik kumis lebat dan wajah liatnya itu. Ia hampir saja bertemu muka dengan orang lain bila saja orang itu tak langsung memperingatkannya. “Janganlah melamun saat sedang di jalan, Kasihku!” jeritnya tertahan. Zafan terkejut. “Aziya?” Ia memang sudah berjarak dua- tiga lengan dari Permaisuri, dan Permaisuri Aziya menatapnya heran dengan wajahnya yang halus lagi cantik. “Mengapa Zafan? Apa yang tengah engkau sibukkan dalam kepala, sampai- sampai tak melihatku di depan?” Zafan mengedarkan penglihatannya ke sekeliling. Di sana kosong dan sepi. Kemudian, wajahnya  nan tadi mengetat penuh kerut kini licin penuh kelegaan. “Aku takkan berlama- lama berbincang denganmu di luar seperti ini, Aziya, sebelum  ada yang memperhatikan kita. Tapi karena kita sudah terlanjur berjumpa di sini dan tak satupun yang melihat: katakanlah, apa engkau ada hubungannya dengan ketidakhadiran Tuan Guru?” Mendengar soalan itu, mata sang permaisuri melotot. Ia mengangkat tangannya yang kecil mungil dan menempelkan telunjuk ke bibir Zafan, sebelum dengan sigap kembali menarik tangannya ke dalam selendang. “Aku tidak akan mengatakan apa- apa lagi.” Zafan mengangguk. “Berarti aku benar.” Aziya memperhatikan pula sekeliling mereka berdua. Ia pun berbisik. “Aku sudah melakukan tugasku sebagaimana janji kita, engkau ingat, Kasihku? Sekarang kewajiban engkau untuk melakukan apa yang perlu.” “Terimakasih, Aziya. Engkau memang satu- satunya yang bisa aku harapkan. Tak sia- sia aku menginginkan engkau dalam hidupku.” Menyemu merahlah raut muka permaisuri itu hingga tampak makin cantiklah ia, walaupun umurnya sudah melanjut tak muda lagi. “Aku tahu, ketidakhadiran Tuan Guru takkan berapa lama. Jadi cepat- cepatlah engkau mencari cara lain untuk membuat Baginda Raja berubah pikiran tentang pewarisan tahtanya pada Hamid Yusuf. Buatlah perkawinan anak selir itu tertunda lebih lama lagi.” “Aku janji padamu, Aziya. Tapi biar begitu, ada hal yang ingin kutanyakan padamu.” “Apakah gerangan itu?” “Kudengar Tuan Guru memang butuh beberapa saat lagi sebelum beliau benar- benar sehat,” ujarnya seraya menurunkan suara. “Apakah yang terjadi bilamana –hanya bila –racun itu tidak cukup cepat dikeluarkan? Apakah yang akan terjadi?” Permaisuri Aziya mengatup- ngatupkan bibirnya sedikit, pertanda apa yang akan ia sampaikan sungguhlah rahasia. Ia tutupi mulutnya setengah dengan punggung tangan, seakan tak ingin ada yang tiba- tiba mendekat dan mendengar perkataannya. “Racun itu sungguh cepat benar dikeluarkan dari badan Tuan Guru,” mulai permaisuri tua itu. “Bila Tuan Guru masih mengabaikan kesehatannya hingga menjelang Zuhur di hari itu, besar dugaan waktu istirahatnya akan sampai berbulan- bulan lagi.” Mulut Zafan serta mulutnya berjengit. “Bayangkan kalau ia menyadarinya kala itu! Banyak sekali kemenangan yang bisa kudapatkan! Lalu, apa yang terjadi bila ia menyadarinya sudah lepas Zuhur? Atau sudah di waktu Ashar?” Lagi- lagi Aziya melotot. Kepalanya menggeleng cepat. “Itu tidak mungkin! Tuan Guru pasti langsung tahu di siang hari bahwa ada yang terasa tidak betul dalam badannya. Tapi jika memang begitu yang terjadi –,” wajahnya berubah was- was, “Engkau tidak akan dapat membayangkannya, Zafan! Kau takkan mampu memikirkan seberapa buruknya keadaan Tuan Guru.” *** Senang betul hati Zafan tatkala ia melangkah keluar dari istana. Langkah- langkahnya ringan, sebab ia punya waktu beberapa hari lagi –entah- entah sekitar seminggu –untuk memikirkan cara agar perkawinan Hamid Yusuf ini dapat ia tunda. Bila urusan pajak tambahan tiada mampu menggoyahkan singgasana Asyfan, maka bukannya hal yang lain juga tak dapat. Hari ini, ia bermaksud pergi ke Sepinang untuk melihat- lihat, mencari benda yang dapat ia jadikan titik tumpu akal bulusnya. Setelah bertukar pakaian bagai orang jelata, Zafan pun pergi mengayuh perahu kecil ditemani seorang pelayan. Kedatangan Zafan hari itu tepat sekali saat keramaian Sepinang tengah dilangsungkan –yaitu gelanggang negeri. Namun bukannya orang berkumpul di suatu tempat, ia malah mendapati penduduk yang berduyun- duyun pulang kembali ke rumah masing- masing. Hatinya ragu sejenak untuk menanyai mereka, tapi ada juga ia lihat orang- orang yang berkerumun tak jauh dari dermaga. Dari tampilan baju dan cara mereka bertutur, Zafan menduga- duga kalau kerumunan orang ini tak lain adalah para pedagang yang sering berkunjung ke Sepinang. Roman mereka tampak sungguh- sungguh sekali memperbincangkan sesuatu, seakan hal yang genting telah terjadi. Zafan pun menghampiri. “Tuan- Tuan,” sapa Zafan dengan merendah. Ia tersenyum dan memberi salam sesopan mungkin, memberi kesan agar ia disangka hanya penduduk biasa yang hanya lalu- lalang. Dan bagusnya, mereka menyambut Zafan dengan tangan terbuka. “Hamba baru saja kembali dari Seperca, dan tiada tahu- menahu tentang apa yang terjadi di sini. Dapatkah Tuan tolong menceritakan kepada saya, agar lepas juga kebingungan hamba yang bodoh ini?” Salah satu dari mereka –yang berparas Melayu –menjawab. “Tuan tentu tahu, bahwa Sepinang setiap tahun melangsungkan pertandingan di gelanggang untuk semua pemuda mereka? Nah, hari ini Tuan datang tepat ketika gelanggang berlangsung.” Zafan manggut- manggut, namun saat ia hendak buka suara, seorang pedagang berturban memotongnya. Tampaknya ia seorang saudagar dari India. “Tapi sayang, Tuan. Hari ini tiada yang berjalan baik. Saya dengar dari beberapa warga kampung, bahwa baru satu pertandingan yang diadakan, yaitu sepak raga. Itu pun baru pembukaan sepak raga oleh tentara istana. Namun tiba- tiba saja Baginda menghentikan pertandingan dan berniat melanjutkannya esok. Beliau juga menitahkan agar semua rakyat berdiam diri di rumah masing- masing hingga datang waktu pertandingan esok dimulai.” Kawan- kawannya mengangguk membenarkan. “Ganjil benar kedengarannya,” cakap Zafan. “Namun terima kasih hamba haturkan pada Tuan- Tuan saudagar ini yang telah memberitahukan saya yang tiada berpengetahuan ini.” Zafan merukuk- rukuk memberi penghormatan. “Tidak mengapa,” sahut salah seorang yang lain. Ia tampaknya sangat berbangga, hidungnya kembang kempis. Yang lain pun sama halnya. Mereka berebut sekali membicarakan hal itu dengan Zafan, seakan ingin mendapat pujian- pujian tinggi dari mulut Zafan sekali lagi. Heboh sekali suara para pedagang itu yang dengan lagak penting menyampaikan pendapat masing- masing. “Dan itu terjadi tak lain setelah seorang hulubalang –bukan hulubalang yang sering mengawal di istana itu –“ “Ah, engkau dungu! Ia bukan pengawal melainkan penjaga batas!” “Betul, betul! Penjaga batas tiba- tiba saja berlari ke panggung raja dengan pakaian yang kotor! Dan begitu ia datang, Raja menghentikan pertandingan. Ganjil, bukan?” “Atau mungkinkah ia bukan penjaga batas, melainkan orang berpangkat yang bertindak- tanduk seakan sebagai penjaga?” “Ya, engkau benar! Tapi terbit pula dugaanku kalau- kalau ia memang penjaga, mestilah ia menyampaikan kabar buruk kala itu, yang membuat Raja berwaspada dan menyuruh orang Sepinang berdiam di rumah.” “Tapi kabar buruk apa?” “Perompak? Atau –“ Tak habis- habis orang- orang itu bercakap sebagaikan burung pipit yang mencericit, sementara Zafan tampak tak berselera lagi hatinya mendengarkan omongan mereka. Ia melengkungkan bibir, lalu diam- diam pergi dari sana dan berjalan ke arah dermaga. Dan ada yang menarik perhatian Zafan, melebihi pasal gelanggang negeri Sepinang. Nun jauh di ujung dermaga, ia dapat melihat gelondongan kayu besar- besar terletak di sana. Agak tersembunyi tempat kayu- kayu itu, atau memang sengaja disembunyikan sebab sebagian besarnya tertutupi oleh hutan bakau dan tanaman liar yang biasa tumbuh di tepi laut. Hanya ujung gelondongan itulah yang tampak dari tempat Zafan berdiri, itupun jika ada orang yang memiliki mata seawas matanya. Ia langsung menyipit memperhatikan. Ada dua- tiga orang yang berlalu- lalang tepat dekat tumpukan kayu, lalu ada pula beberapa lagi yang menjaga sepal jauhnya dari mereka. Dapatlah adik Asyfan mengira- ngira kalau mereka sepasukan kecil prajurit yang diperintahkan mengawasi  kayu- kayu itu, dan mereka yang berada di jarak satu pal mesti bertugas menghalau orang- orang yang mencurigakan untuk pergi jauh- jauh dari sana. Tapi ia perlu memastikan. Cepat- cepat Zafan pergi mendekat ke arah dermaga, lalu ia lumuri tubuhnya dengan pasir lembab. Ia tanggalkan selopnya, kemudian ia taruh di pinggir dekat bebatuan. Lalu kakinya ia lemaskan, berpura- pura sempoyongan berjalan ke arah pasukan kecil yang menjaga di bagian paling luar. Ia merepet sendiri, bergumam tak berketentuan lalu merintih pula. “Hei! Siapa kau?” bentak prajurit terluar tadi. “Pergi!” “Kelihatannya ia gelandangan,” kata kawannya yang tak jauh dari situ bersorak. “Dan kurang waras pula! Usirlah dia jauh- jauh!” “Pergi kau, pengemis! Kau tak boleh ke sini!” hardik prajurit yang pertama tadi, seraya mendorong punggung Zafan. Zafan pun menangis meraung- raung. “Aduh, engkau ini kasar benar,” kata kawannya tadi. “Suruh dia pergi dengan baik- baik.” Prajurit pertama tampak serba salah. Wajahnya tak enak, dan dengan dilembut- lembutkan ia rangkul Zafan seraya membawanya ke arah dermaga lagi. Zafan masih saja berurai air mata dengan memegangi kepala, seperti orang yang sudah kehilangan akal. Namun sudut matanya ada memperhatikan barang yang ia perkirakan tadi, dan memang benar adanya. Ia tahu betul, tak ada yang akan menumpuk kayu- kayu besar dan bermutu elok semacam itu jika bukan untuk satu tujuan : kapal. Dan bisa akan raksasa rupanya, bila ia tengok ukuran tiap- tiap kayu itu. Ini baru kuanggap kabar penting, pikir Zafan sambil terus menangis lihai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN