Benarlah dugaan kedua gadis itu. Banyak pencalang –kapal yang digunakan untuk berdagang –dan kapal nelayan tengah menepi di dermaga. Tepian itu tampak sibuk benar, penuh orang- orang yang kian kemari mengangkut dagangan dan hasil laut.
“Engku,” kata Dayang Nilam tiba- tiba, “Tak apakah Engku berada di tempat sesak macam ini? Jikalau Engku Putri merasa tak nyaman, baiklah kita kembali saja ke istana. Maklum Engku, ini hari pasar, dermaga mestilah lebih sesak dan ramai dari biasa.”
Tuanku Putri Syahidah mengangkat tangannya dengan anggun. “Tak apa, Nilam. Memang yang beginilah aku hendak lihat. Kalau aku pergi tidak di hari pasar, mana mungkin aku bisa melihat keramaian seperti ini? Peluh, sesak, panas tak jadi masalah untukku.”
Dayang Nilam berjalan mengikuti Tuanku Putri Syahidah yang sudah mendahuluinya menuju dermaga. Tampak beberapa kapal asing sudah menepi, dengan macam ragam bentuk kapal yang memesonakan Syahidah.
“Hati- hati, Engku,” kata Dayang Nilam mengingatkan. Ia sudah cemas saja dengan keramaian yang bisa membuat Syahidah terdorong kian- kemari, sebab sesaknya perdagangan. Orang- orang di sana tentulah tak mengenali Tuanku Putri, sebab tiap- tiap mereka sibuk dengan urusannya. Apalagi Syahidah bersengaja memakai pakaian sederhana, tak mencolok mata, sehingga tak akan ada yang tahu beliau ini putri dari Baginda, dan tentu tak ada yang akan memberi jalan begitu saja pada beliau.
“Ya, Nilam. Aku hanya berdiri di pinggir saja.” Syahidah bergerak agak ke pinggir, mencari tempat yang agak kosong dan sepi. “Aku hanya ingin melihat kapal- kapal asing ini saja. Biar terpuaskan hatiku.”
Syahidah tersenyum. “Bilamana aku bisa, ingin sangat hatiku belajar mengendalikan kapal ini. Menjadi nakhoda. Atau membuat kapal- kapal yang bentuknya aneh macam yang kita lihat sekarang,” kata Syahidah berangan- angan. “Banyak yang ingin kupelajari, tapi sayang, aku tak mampu.”
Dayang Nilam menggeleng sambil tertawa. “Mungkin Baginda mau mengizinkan Engku belajar itu bila Engku ini laki- laki. Tak ingatkah Engku dulu, saat Engku memakai pakaian Tuanku Badruddin agar Engku Putri diajari belajar pedang oleh Panglima Gafar Ali?”
Syahidah tertawa riang, tawa yang jarang ia tampakkan pada siapapun bahkan pada keluarganya. “Senang benar kau ini mengingatkanku pada masa itu, ya, Nilam? Tapi memang umurku terpaut setahun saja dengan Adinda Badruddin, rupa kami masa kecil itu sama- sama pulalah. Panglima Gafar Ali tak tahu bagaimana hendak bedakan wajah kami berdua.”
“Tapi Engku akhirnya mengaku juga, saat Panglima menyerang Engku dan tak tahu cara serangan balik,” gelak Dayang Nilam. “Panglima hanya tertawa, tapi Baginda marah besar pada Engku.”
“Ya, sayang sekali. Padahal aku ingin lanjut belajar. Ya, serupa pulalah dengan perkara kapal- mengapal ini.”
“Janganlah Engku bersedih hati,” hibur Dayang Nilam. “Banyak lagi yang bisa Engku pelajari selain ini. Lagipun, saya yakin Baginda juga takkan memberi izin pada Tuanku Yazid dan Tuanku Badruddin untuk belajar mengendalikan kapal. Baginda mesti mendahulukan agar kedua Tuan diajari pedang dan siasat oleh Panglima. Kapal pun, siapa saja bisa mengajarkan, tak mesti diatur Baginda.”
Wajah Syahidah berseri- seri. “Suka sekali aku bersamamu dan menjadi temanmu, Nilam. Sangat suka.” Ia berbalik dan menghadap pada dayangnya itu dengan setulus hati. “Berjanjilah untuk menjadi temanku sampai maut pisahkan kita, ya?”
***
Kapal menengah itu bergerak terombang- ambing di lautan. Ia bergerak tenang, dihembus angin petang tepat di layar- layarnya. Beberapa pemuda tampak berdiri di geladak, melihat ke sekitaran, yang seorang mengendalikan roda kemudi kapal, yang lain asyik bergelak tawa.
“Engkau ini, Yusuf,” kata salah seorang dari mereka pada sosok pemuda yang masih tergelak. “Kau anggap hidup ini macam gelak tawa saja, he? Kau tak henti- henti melawakkan apa yang kau temui. Tak takutkah engkau suatu kali kapal kita karam dilamun ombak?”
Pemuda yang tertawa itu segera reda gelaknya, lalu ia menjawab, “Apa yang mesti aku susahkan saat tak ada yang kesusahan di depanku, Zaid? Kau ingin aku berduka lara saja? Ya, memang baik mengenang mati, tapi hidupku takkanlah kubawa untuk tahu mati saja. Kita ini masih muda, banyak lagi laut kita tualang, banyak jalan bisa kita tempuh. Tak inginkah engkau mencari pengalaman hidupmu dulu sebelum kau mati?”
Pemuda lainnya menyahut, “Zaid inilah, memang kawan kita yang paling alim. Tak maukah engkau sejenak beri kita waktu menghirup napas, menikmati perjalanan kita ini? Sebentar lagi kita sampai di Seperca! Banyak gadis- gadis cantik di sana, Zaid!”
Yang bernama Zaid pun menyahut, “Yaaa, memang baik itu kalau engkau melihat gadis cantik, lalu engkau pinang sekali. Tapi aku tak melihat rupa engkau hendak berniat baik dengan mereka nanti, itu yang aku takutkan, Saud!”
“Ah, sudah, sudah,” lerai Tuanku Hamid Yusuf. “Kita ke Seperca ini untuk dapat pengalaman baru, melihat tempat dan wajah baru. Aku janjikan engkau, Zaid, kalau Saud ini merayu gadis- gadis, akan kutarik telinganya kembali ke kapal. Ke laut sekalian.”
Zaid memandang teman dekatnya itu dengan senyum. “Memang engkau ini bijak, Yusuf, tapi aku tak akan habis- habisnya mengingatkan engkau, Saud, dan yang lain. Kalianlah teman- teman dekatku, tak akan kubiarkan engkau semua ini lupa barang sejenak saja pada Tuhan. Kita ini di laut-Nya. Kita bisa saja digoncangkan gempa dan dimakan gejolak laut. Badai datang dipermulai laut tenang.”
Hamid Yusuf menangkupkan kedua telapak tangannya, membungkuk. “Mohon ampun hamba pada Tuanku Zaid. Kami berjanji akan mendengar perkataan engkau.”
Yang lainnya tergelak mencemoohkan, namun Hamid Yusuf segera berdiri dan berkata dengan suara keras yang mengalahkan ombak di depan mereka, “He, pemuda! Aku ini berazamkan dari hati, tahu! Kau jangan sekali- kali mencemoohkan aku dan Zaid temanku ini!”
Keberadaan Tuanku Hamid Yusuf tampak berpengaruh besar, sebab seketika teman- temannya yang lain terdiam tanpa suara.
“Nah, kawanku Zaid,” kata Hamid Yusuf, “Ingatkanlah kami apa yang terlupa.”
Zaid mengangguk. “Sudahkah engkau membaca doa sebelum perjalanan?”
“Kita sudah hampir sampai di Seperca, Zaidku! Doa apa lagi yang mesti kita baca?”
“Tak apa,” jawab Zaid tenang. “Tak apa terlambat membaca doa sekalipun. Engkau terlupa, tapi Tuhan Allah ingat dan tahu engkau lupa.”
Hamid Yusuf mengangkat tangannya, diikuti pemuda- pemuda lainnya. Begitu ia selesai berdoa dan menurunkan tangannya, pemuda lain pun melirik Hamid Yusuf dari ekor mata, dan serta- merta pula menurunkan tangan.
“Apa lagi yang aku lupakan, Zaid?”
Yang ditanya, tersenyum sekali lagi. Senang sekali ia dengan kawannya yang satu ini. Biarpun kadang kawannya Hamid Yusuf ini pongah perangainya, suka hiburan, tapi ia punya berlapang hati bila diingatkan. Ia mengaku salah bila disadarkan.
“Kenapa engkau tak meminta kepada Tuhan Allah apa yang paling kauimpikan? Kau tahu, doa mudah terkabul saat engkau dalam perjalanan.”
“Benarkah?” tanya Hamid Yusuf tertarik. Ia menarik lengan Zaid ke pinggir geladak, bersama berdiri melihat laut dalam. Hamid Yusuf berbisik, “Bolehkah aku meminta doa tentang cintaku, Zaid?”
Zaid tergelak. “Tentu engkau bisa, Yusuf! Pintalah.”
Hamid Yusuf menengok sekilas pada kawannya itu, lalu berbisik pada gelombang laut yang memukul- mukul pinggir kapal. “Tuhan, semoga engkau pertemukan aku dengan gadis yang baik untukku. Amin.”
Zaid belum reda tawanya, dan berusaha juga ia bertanya. “Sungguh- sungguhkah engkau, Yusuf?”
Hamid Yusuf hanya melihat laut lepas jauh di depan matanya. “Entahlah, Zaid. Apa mungkin Tuhan kabulkan doaku? Doa anak selir?”
Zaid menggeleng. “Tuhan tidak melihat engkau ini siapa. Kalau kau tulus, Ia akan beri engkau yang engkau mau. Bisa sekarang, bisa nanti. Insya Allah.”
***
Beberapa kapal baru tampak mendekati dermaga Pulau Seperca. Salah satunya tampak lebih besar dan megah dari kapal- kapal lain. Hati Syahidah tergerak ingin mendekat.
“Lihatlah, Nilam,” serunya senang, “Kau lihat rupa kapal itu? Elok benar kulihat! Tak bisakah kita mendekat ke pencalang itu, Nilam?”
Belum lagi Nilam menjawab, Syahidah sudah berjalan dengan cepat ke arah keramaian. Ia menunggu tepat di dekat kapal paling besar itu berhenti. Dengan sabar, Dayang Nilam berlari menyusul Syahidah.
Saat kapal- kapal itu tampak makin mendekati dermaga, Syahidah sudah berada di pinggir dekat gerombolan pedagang dan pembawa beban. Jelas tampak rasa senang di wajahnya. Ia menoleh pada Dayang Nilam yang baru saja sampai di sisinya. “Kau lihat itu, Nilam? Pencalang asal Arabkah itu? Aku tak tahu cara membaca tulisannya. Tapi, macam Persia pulakah ia?”
Dayang Nilam hanya menggeleng terpana, Ia pun ikut senang, karena jarang- jarang pula melihat kapal sebesar dan seindah itu. Perlahan iring- iringan kapal yang dipimpin kapal besar itu berhenti di dekat dermaga, layar- layar dinaikkan.
“Nilam, boleh aku ikut melihat pencalang itu? Mendekat sedikit lagi saja? Sebentar lagi pedagangnya turun. Dan saat mereka membongkar barang, aku bisa naik agak sekejap kesana untuk sekedar menengok, Nilam!”
Dayang Nilam heran. “Ada apa ini, dengan Engku Putri? Engku melihat dan mencoba hal baru pun, Engku lihat sekilas dan Engku pikirkan dulu sebelum bertindak. Tak biasanya Engku tertarik sebesar ini!”
“Aku tak tahu, Nilam! Sungguh, pencalang- pencalang itu sangat memesonakan hatiku. Pencalang sebesar ini tak pernah datang ke sini di hari pasar bilamana aku ke dermaga! Dan tiba- tiba besar keinginanku bisa mengelilingi dunia, meski hanya dengan melihat kapal ini saja!”
Dayang Nilam tak punya kuasa pula untuk mencegah Tuanku Putri Syahidah. Ia mengikuti Syahidah yang sudah bergerak mendekat. Gerombolan keramaian bertambah, karena penumpang kapal kecil juga sudah banyak yang turun. Tapi tak sedikit pun surut hati Syahidah untuk melihat ke dalam kapal itu. Rasa penasarannya besar sekali.
Beberapa saat kemudian kapal itu berhasil ditambatkan. Sebuah papan besar dan kokoh untuk penyeberangan dikembangkan, membentangi kapal dan dermaga. Keluarlah beberapa pedagang asing dari kapal itu, disambut pembawa beban yang berebut mengambil barang bawaan pada saudagar.
Dengan berani Syahidah melangkah di papan itu, tepat ketika suara teriakan pembawa beban yang begitu keras di belakangnya menyorakkan, “Mari!”
Syahidah terkejut, tapi ia tak sadar bahwa ia tengah berada di pinggir jembatan kecil itu. Sepatunya terasa licin dan menggelincir ke pinggiran papan kayu itu. Syahidah terhuyung, dan menyadari bahwa ia tengah menuju bahaya kedalaman laut.
Tapi tangannya segera ditangkap sebuah tangan lain, yang memeganginya dengan kuat. Jantung Syahidah berdetak cepat karena rasa takut akan tenggelam, meski lega sedikit sebab tangannya berhasil diraih seseorang di sana.
Syahidah tak menyadari siapa yang menarik lengannya sampai Syahidah benar- benar berada kembali ke pinggir dermaga. Samar- samar ia mendengar suara Dayang Nilam, meski tak sedikit pun kata- kata Nilam yang masuk ke kepalanya. Darahnya seakan surut hingga ke kaki, membuat tubuhnya bergetar.
Begitu ia sampai di pinggir dermaga dengan wajah pucat, Syahidah tetap juga berusaha menengadah, melihat siapa yang menolongnya.
“Elok- eloklah Puan meniti titian,” kata orang itu. Wajahnya agak buram dibayangi sinar matahari petang di belakang. “Jangan sering- sering bermain di kapal yang tengah memuat dan bongkar barang, Puan. Bahaya sekali.”
Syahidah memutar sedikit, melihat wajah itu seakan baru saja tersenyum. Matanya mulai menyesuaikan dengan terang redup senja, dan melihat sesosok pemuda di depannya tengah mengalihkan pandangan ke arah lain. Bulu mata pemuda itu agak panjang, dan kulitnya sawo matang. Ia tampak ragu untuk melihat lagi ke arah Syahidah.
Alih- alih ia berkata, “Hindarilah bahaya, Puan. Saya doakan semoga Puan selamat selalu.”