Dalam Berangan

1401 Kata
Rupa Syahidah masih agak pucat disebabkan kejadian tadi. Penglihatannya masih berkunang- kunang, kepalanya pening, dan jantungnya berdetak kencang. Tapi Tuanku Putri Syahidah mawas dengan pemuda di hadapan yang sudah menolongnya. Setelah tenang sedikit napasnya, Syahidah berkata, “Ya, terima kasih saya haturkan atas pertolongan Tuan.” Senyum Syahidah mengembang, kepalanya tertunduk. Pemuda berkulit sawo matang itu menjawab, “Sama- sama, Puan. Kalau begitu, saya hendak pergi dulu.” Ekor mata Syahidah dapat merasa kalau pemuda itu mengangguk sekilas padanya, sebelum ia berlalu ke arah ujung dermaga. Dari kejauhan kembali terdengar suara Nilam samar, semakin jelas saja di antara riuh- rendah keramaian dermaga. Syahidah menengok kesana –kemari, dan tampaklah Dayang Nilam menyeruak perlahan di antara dua orang pembawa beban, menyongsong Syahidah. Peluh bercucuran di wajahnya. “Engku!” jeritnya penuh kecemasan. “Saya lihat Engku dari kejauhan hampir saja tenggelam di laut lepas ini! Bagaimana keadaan Engku? Ada Engku terluka?” Syahidah tersenyum pada kawannya itu. “Aku baik, Nilam, terima kasih. Ada seorang pemuda tadi menolongku. Aku...” kata- kata Syahidah terhenti sejenak. Raut pucatnya sekejap berubah merona, seakan darah telah kembali mengaliri pembuluh syaraf wajahnya. “Aku tak tahu, perasaan apakah ini, Nilam? Memang pemuda itu telah berbaik hati menolongku tadi. Tapi apa ini? Bayang- bayangnya itu...tak kunjung hilang dari benakku.” Nilam yang semenjak beberapa saat lalu cemas bukan kepalang, seketika tersenyum senang sesudah mendengar perkataan Tuanku Putri. “Adakah Engku Putri sukakan pemuda itu?” Syahidah memandangi Nilam penuh keraguan. “Suka?” “Benar, Engku. Engku sudah memiliki rasa untuk pemuda itu. Beruntungnya ia!” kata Nilam menimpali. Syahidah tercenung, namun ia menggeleng sesaat. “Tidak Nilam, tidak. Aku tak akan memberi hatiku pada orang yang baru pertama kujumpai. Sekalipun ia gagah, Nilam. Aku tak tahu baik buruk perangainya. Akan kusingkirkan jauh- jauh rasa suka itu. Lagipula, aku tak memperhatikan benar rupanya tadi.” Nilam tetap saja tersenyum. “Sulit, Engku. Begitu sulit jika bibitnya sudah tersemai. Tak peduli semacam apapun rupa.” Sekali lagi Syahidah menggeleng. “Ah, sudahlah. Aku tak ingin membahas perkara suka- menyuka ini, Nilam. Pelik sekali. Baik kita pulang cepat sebelum gerbang istana tutup.” Syahidah sudah berjalan anggun mendahului dayangnya itu, secepat ia bisa. Namun, Dayang Nilam masih melihat sepulas kemerahan di wajah Syahidah, meskipun beliau menampiknya. Nilam yakin sekali, itu bukan disebabkan cahaya petang. *** Di ruang pertemuan, Baginda Syamsir Alam Syah tengah berembuk dengan dua putranya, Tuanku Yazid Alam dan Tuanku Badruddin. Mereka tengah membahas roda kegiatan kerajaan itu. Tak jauh di samping Raja, berdiri penasihat yang diam mendengarkan pembicaraan mereka. “Jadi apa yang hendak kau beritakan, Yazid?” tanya Baginda Raja pada anak tertuanya. Yazid, yang berbadan tegap dan besar, menghirup napas dalam- dalam. Ia memulai laporannya, “Pelatihan prajurit berjalan baik, Ayahanda. Pemuda- pemuda calon prajurit yang dipilih tahun ini sudah dilatih fisiknya beberapa minggu ini. Ada dugaan bisa berlanjut hingga minggu depan sebelum mereka naik tingkat. Untuk pertahanan, kapal perang sudah direncanakan sampai kertas gambar. Semoga kita bisa mengumpulkan bahan dan mulai merakit secepat mungkin.” “Bagus sekali. Lalu bagaimana dengan keamanan negeri?” “Baik, Ayahanda. Ada beberapa pencurian terkait pasokan pangan dan pengambilan uang negeri oleh menak yang juga menjabat kepala desa. Hamba rasa pencurian pasokan pangan semestinya menjadi pekerjaan Badruddin." Badruddin menjawab lantang, “Aku tak tahu- menahu sama sekali tentang pencurian itu awalnya, kakanda Yazid!” Badruddin memang tak bertubuh sebesar Yazid, tapi ia jauh lebih tegap dan ototnya lebih kuat, terlatih. “Mengapa Kakanda cepat saja mengambil alih masalah itu dari tanganku? Jikalau aku langsung tahu, tentu aku segerakan menindak pencuri- pencuri itu!” “Aku tak bisa menunggu pembawa pesan mengabarimu terlebih dahulu, Badruddin,” sahut Yazid Alam dengan tenang. “Kabar pencurian itu sudah berhembus kencang dan membesar di masyarakat, tak bisa  aku biarkan jikalau nanti- nanti ada yang berpendapat kalau pihak istana diam belaka, menyaksikan pencurian itu.” Badruddin memandangi sekejap kakaknya dengan gusar, lalu matanya beralih pada Baginda Syamsir Alam Syah. “Baginda Ayah, saya teringin sekali bisa mengurusi pasokan makanan beserta perkapalan sekali! Bisakah Baginda Ayah memberi izin?” tanyanya dengan wajah memohon. Baginda menggeleng tegas. “Tidak, Badruddin. Aku sudah tegaskan tentang pembagian kerjamu dan Yazid. Yazid bertugas menjaga keamanan dalam dan perbatasan serta membina pekerja istana dan para prajurit. Sedangkan engkau, bertugas memastikan alur pemerataan kesejahteraan masyarakat, termasuk makanan dan pakaian. Engkaulah yang memastikan kegiatan pencaharian negeri. Tidakkah menurutmu itu tugas yang sangat penting?” “Penting, Baginda Ayah, tapi tak pernah sepenting tugas Kakanda Yazid! Hamba lebih suka bekerja dengan menteri dan penasihat, memastikan kejayaan negeri! Itu tak bisa saya capai dengan menarik upeti atau mengawasi pasar induk, Baginda Ayah!” “Lebih elok kau jangan terlalu memaksakan kehendakmu pada Ayahanda,” tegur Yazid. “Engkau mesti banyak belajar dulu sebelum memasuki pemerintahan. Aku juga berada di posisimu dahulu sebelum sampai di sini, ingat itu.” “Aku meminta pada Baginda Ayah, bukan pada Kakanda,” sahut Badruddin dingin. Tapi jelas sekali darah panas sudah mendidik dalam dirinya, menguap dalam napasnya yang ia hembuskan kuat- kuat. “Kakanda ingat bagaimana ketika dulu ada penyelundup? Bahkan Kakanda Yazid sendiri tidak sadar keberadaannya sampai penyelundup itu melintas dekat gerbang istana, tepat di depan kedua biji mata kita!” “Diam!” teriak Baginda Raja. Kemarahannya memuncak, lebih mengerikan daripada kemarahan Badruddin. Matanya tajam menusuk kedua putranya, silih berganti. “Kalian berdua ingin menghabiskan waktuku mendengarkan bantah- bantahan ini? Hah?” Kedua pemuda itu terdiam dan menundukkan kepala mereka dalam- dalam. Mereka meminta maaf. “Kalian berdua adalah putraku, dan aku memberikan kedudukan sesuai kemampuan kalian sekarang. Tak ada gunanya engkau memperbandingkan pekerjaan yang satu dengan yang lain!” kata Baginda lagi tegas. “Aku tak ingin mendengarkan adu mulut sia- sia seperti ini lagi, kalau kalian tidak ingin dipecat dan kujadikan bagian prajurit menengah, atau rendah kalau kumau.” “Baik, Ayahanda. Kami pahamkan nasihat Ayahanda elok- elok.” “Baik, Baginda Ayah.” “Sudah,” ujar Baginda Raja mengakhiri pertemuan mereka, “Kita bertemu lagi esok. Banyak lagi yang hendak kuperbincangkan dengan kalian berdua, tapi kurasa lebih baik menunggu besok. Aku belum mendapat kabar dari menteri untuk menjelaskannya sekarang.” “Baik, Ayah,” sahut kedua putra raja itu serempak. Dengan pelan, mereka mundur memberi salam dan beranjak pergi, meninggalkan Baginda ditemani penasihatnya. *** Muka Hamid Yusuf berseri- seri semenjak persinggahan sebentarnya di Pulau Sepinang. Selama kapal mereka bertolak dari Sepinang lalu berbalik mengutas laut kembali ke Seperca, senyum tak luput dari wajahnya. Ia terus saja menatap laut lepas di pinggir geladak dengan hati riang. Dan ini sungguh membuat kawan- kawan mainnya heran bukan main. “Apa itu, Yusuf? Tak henti- henti senyum kau mengembang sejak tadi! Adakah engkau mendapat permainan bagus tadi? Ada yang menyenangkankah tadi tatkala engkau berkelana sendirian di dermaga?” tanya Saud. “Atau ada gadis cantikkah, yang engkau temui, ya Yusuf?” sahut temannya yang lain. Hamid Yusuf tidak mengacuhkan pertanyaan temannya itu. Ia masih saja menengok ke bawah, ke laut yang bergoyang, bergelombang, dan memukul- mukul dasar kapal mereka. Tapi bukan biru laut yang tampak dalam matanya, melainkan wajah gadis cantik jelita yang tadi telah ia tolong. Tiba- tiba saja seperti tersambar petir, Hamid Yusuf tersentak dari lamunannya lalu berbalik mendapati teman- temannya yang memandangi heran. “Hei, adakah kalian melihat Zaid?” “Zaid?” ulang salah seorang temannya. “Ada, dia sedang merenung pula macam engkau di sebelah sana,” tunjuknya ke arah geladak bagian ujung belakang kapal. “Tapi mesti aku yakin renung engkau dengan renungnya itu berbeda. Ia memang biasa menyendiri, sedang engkau? Kau macam ada sesuatu yang kau simpan dalam hati.” Telinga Hamid Yusuf sama sekali tidak menyimak protes kawannya itu. Ia berlari ke geladak ujung dan bergegas mendekati Zaid. “Zaid,” panggilnya. Zaid berbalik. “Ya, Yusuf?” “Aku hendak bertanya, tapi aku masih ragu.” “Engkau tanyakan saja, akan kudengarkan, kawan.” “Apa benar Tuhan mengabulkan doa kita jika kita memintanya dengan tulus?” “Tentu! Tapi bisa saja Dia mengabulkannya sekarang, atau esok. Kalau Dia tak mengabulkan, yakinlah Dia akan menggantinya dengan yang lebih baik,” jelas Zaid. “Mengapa engkau bertanya seperti itu?” Hamid Yusuf menyunggingkan senyum. “Entahlah. Aku hanya ingin diyakinkan saja. Aku tak tahu rencana Tuhan bagaimana, tapi sepertinya Dia telah mengabulkan doaku.” Wajah Zaid terkejut. “Sungguhkah? Doa kau tadi... cintamu?” Hamid Yusuf mengangguk. “Kurasa, hatiku telah jatuh pada seorang gadis.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN