Tak Sengaja

1046 Kata
Permaisuri Aziya baru sahaja kembali dari istana, tepatnya dari ruang istirahat Zafan Nazhim. Inilah kali kedua ia pergi kesana, dan walau kadang perasaannya was- was juga, namun ia berhasil pergi dari sana saat pertama kali dulu tanpa diketahui orang banyak. Saat itu Permaisuri Aziya mengendap- endap keluar dari ruang istirahat Zafan, lalu ketika keadaan terasa sepi, ia pun berbelok menuju selasar utama. Ia mondar- mandir di situ seolah- olah  memang di sanalah ia semenjak tadi. Barulah usai mondar- mandir sekali dua kali, ia beranjak menuju biliknya sendiri. Namun kali itu perjumpaannya dengan Zafan Nazhim agak menyenangkan. Atau lebih cocok dikatakan, tabiat Zafan-lah nan jauh lebih menyenangkan dari biasa. Mereka tiada bercakap hal yang penting benar, namun keriangan hati Zafan ada juga kiranya membuat Aziya ingin tahu. Kala ia menanyakan perihal tersebut, Zafan hanya menjawab, ‘Perkara hal yang kusampaikan dululah yang membuat hatiku senang selalu, Aziya’, begitulah cakapnya. Walau Aziya sudah tahu apa perkara yang dimaksudkan, namun tetaplah permaisuri yang tua itu tak paham bagaimana mungkin hal itu dapat mengubah seluruh diri Zafan dalam sekejap. Di persuaan mereka yang pertama kali di ruang istirahat Zafan, mereka memang ada membincangkan tentang siasat untuk mengacaukan pemerintahan Baginda Asyfan. Walau kala itu mereka belumlah menemukan titik tumpu untuk memulai tindakan, namun Zafan menyebut- nyebut hal yang berkait dengan Sepinang –negeri jiran mereka –yang akan membawa keuntungan bagi mereka berdua. Dan kala itu pula, Zafan pun menjawab dengan bangga, bahwa hal yang ia maksud tak lain ialah gelondongan kayu di ujung dermaga, yang tampaknya akan dipergunakan untuk pembinaan kapal baru. Permaisuri Aziya mengerutkan kening sembari berjalan selangkah- selangkah dari ruang peristirahatan Zafan. Ia terus saja berpikir : hal apa di sebalik kabar itu yang membuat Zafan bersuka hati hingga sekarang? Dan apabila memang kabar itu sungguh menguntungkan, mengapa Zafan belum jua menggunakannya saat ini? Pelik benar pemikiran Permaisuri Aziya saat itu, hingga tiada ia perhatikan sesiapa saja yang berlalu- lalang dan berpapasan dengannya. “Ibunda Ratu?” panggil seseorang dari arah depan Permaisuri Aziya, yang serta- merta juga mengejutkan permaisuri itu hingga ia menjerit tertahan. Tampaklah sosok Hamid Yusuf yang mengepit kitab- kitab di hadapannya. “Maafkan aku, Ibunda,” hatur Hamid Yusuf membungkukkan badan. Ia dapat melihat bahwa panggilannya barusan telah membuat ibu tirinya takut. “Aku tiada hendak menyapa Ibunda dengan maksud membuat takut, tapi kulihat Ibunda berpikir- pikir sendiri di jalan. Itu sangatlah berbahaya Ibunda, apalagi nanti sampai tertarung sesuatu di jalan.” “Oh? Tentu, tentu, Yusuf. Engkau benar sekali. Ibulah yang semestinya meminta maaf, sebab ini kesalahan ibu juga.” Yusuf mengangguk. “Tiada mengapa, Ibunda,” sahutnya seraya melihat arah kedatangan Permaisuri Aziya. “Darimanakah Ibunda gerangan?” Wajah Aziya nampak takut. Ia merasa gugup, namun ia usahakan menyingkirkan perasaan itu jauh- jauh, sebab tak ingin mengundang kecurigaan dari Hamid Yusuf. “Hanya dari taman, Anakku Yusuf,” ujarnya setelah menenangkan raut parasnya. Ia berdiri sambil memiringkan kepalanya sedikit ke arah taman yang dimaksud –yang tak berapa jauh dari kediaman Zafan, hanyalah dibatasi sebuah jalan kayu. Sebenarnya kediaman Zafan dan istana utama masihlah satu atap juga, tapi tempat Zafan berada beserta beberapa tempat lain –termasuk rumah kebesaran Permaisuri Aziya, hanya dipisahkan dengan ruang lepas dengan jalan kecil atau jalan setapak dari kayu yang ditinggikan. Di sisi kiri, ia berhubungan dengan kediaman Zafan dan beberapa orang tetua Seperca yang lelaki yang masih karib keluarga Raja, sedang di sisi kanannya istana, ada pula jalan setapak lain yang menghubungkan dengan rumah kebesaran permaisuri beserta rumah kebesaran para tetua perempuan. “Aku baru saja dari taman itu, Yusuf. Ada mawar- mawar kesukaanku yang tumbuh di sana, dan kulihat pertumbuhan mereka tidak begitu bagus, “kata Permaisuri Aziya, pura- pura mengeluh. “Engkau tentu dapat melihat dari kejauhan sini, daun- daunnya yang mulai membayang kuning? Kembang mawar itu pun kurang elok bentuknya, tak segar sebagai biasa. Aku akan meminta pelayanku untuk menyuruh pengurus tanaman istana supaya merawat mereka dengan sebaik mungkin dan bersungguh- sungguh. Aku tak dapat melihat keelokan bunga- bunga yang menghiasi istana, harus lenyap dan rusák oleh orang- orang yang tak pandai mengurus taman.” Yusuf merenung sejenak sambil menunduk, lalu ia ikut mengangguk mengiyakan. “Aku sangat bersetuju sekali dengan pendapat Ibunda. Hal- hal kecil semacam ini patut juga kita perhatikan. Sebab bila kita lalai dengan hal kecil, bagaimana orang akan mempercayakan kita untuk perkara yang lebih besar.” Permaisuri Aziya nampak cerah mukanya, sebab keluhan yang ia buat- buat itu ada termakan oleh Yusuf. “Engkau benar sekali, Nak. Engkau sendiri darimana?” tanya Aziya. Matanya sejurus pandang mengamati setumpuk kitab yang dikepit Hamid Yusuf dalam lengan. “Apatah engkau baru saja belajar bersama Tuan Guru?” “Benar sekali, Ibunda. Saya memang baru dari Tuan Guru.” “Janganlah engkau bercapai- capai benar, Yusuf. Engkau tampak begitu giat belajar, sampai- sampai kulihat kau tak pernah beristirahat. Engkau masih muda lagi, masa engkau masih panjang. Jadi belajarlah dengan pelan- pelan, itu akan lebih baik bagimu dan bagi kesehatanmu.” Hamid Yusuf tersenyum. “Tiada mengapa, Ibunda. Aku tak merasa letih sedikitpun dengan menghabiskan waktu belajar bersama Tuan Guru. Aku memang ingin sekali mempelajari banyak hal dalam waktu singkat, sebab meski aku masih mudapun, siapa yang tahu rahasia umur?” ujarnya sambil tertawa kecil. Permaisuri balas tertawa. “Engkau memang betul, Nak. Tapi aku juga mencemaskan dirimu sedikit- sedikit. Akan tetapi lihatlah luka- lukamu itu! Tubuhmu bisa makin habis bila terus dipakai untuk berlatih begitu, Yusuf. Belum sembuh yang sekarang, muncul pula luka yang lain.” Yusuf menggeleng. “Tidak masa’alah, Ibunda. Lebih baik aku banyak ditusuk dan disayat pedang sekarang tatkala dengan Tuan Guru, daripada nanti disayat oleh musuh. Lagipula luka- luka baru ini juga nantinya akan berbekas, dan dapatlah menjadi pengingat bagi diriku tentang kesalahan yang kuperbuat semasa latihan.”  “Baiklah kalau begitu. Tapi jangan lupa kau rawat juga luka- lukamu,” katanya, sementara mata permaisuri beralih pandangan ke arah leher, lengan dan jari- jemari Yusuf yang diperban. “Cukupkan makanmu agar semua lukamu cepat sembuh.” “Baik Ibunda. Petuah itu akan kuingat dan kuamalkan baik- baik. Nah, kalau begitu Ibunda Ratu, aku takkan mengganggu perjalanan Ibunda lagi dan takkan membuat Ibunda capai berdiri terlalu lama di sini. Aku permisi dulu, Ibunda.” “Baiklah, Nak.” Yusuf pun memberikan salam dengan sopan, lalu pergi dari tempat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN