Bab 1
Pemuda yang berdiri di bawah jendela itu adalah Rado. Ia sedang menunggu kekasihnya merias diri.
"Cepat sedikit!" ucap Rado.
"Sabar!" Delia menjawab. Ia meratakan lipstik di bibirnya, berdiri di depan kaca sambil menyisir rambutnya pakai jari. Kemudian, ia berjalan ke jendela kamar.
"Cepat! Banyak nyamuk," gerutu Rado yang sudah menunggu hampir setengah jam di depan jendela kamar gadis itu.
"Iya, ini sudah selesai." Delia menarik kursi kayu dari meja belajarnya ke arah jendela. "Bantuin!" Pintanya.
Rado mengangkat kedua tangan, menangkap pinggang Delia, memeluk gadis itu dan menurunkannya berdiri di tanah.
"Ayo!" Rado sudah tidak sabar. la menarik tangan Delia, melewati kebun kopi di sebelah kiri rumah, berjalan menunduk supaya tidak ada yang melihat.
Setelah menyeberangi jalan, mereka berdua berlari-lari memasuki hamparan perkebunan jagung.
Sinar bulan bersinar redup malam ini. Delia dan Rado mencuri waktu, berlari ke tengah tengah perkebunan jagung untuk melepas rindu. Besok, Delia akan pergi ke kota Bandong untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi.
"Apakah kau akan melupakan aku setelah di Bandong?" Rado membelai rambut Delia yang tidur di pahanya.
"Mulai deh. Lebay ah," Delia meringkuk. Wajahnya menyamping ke perut Rado. Pipinya tepat di atas s**********n Rado. Gadis itu berkali-kali menarik nafas. Ia menyukai aroma pria yang muncul dari balik celana pacarnya itu.
"Aku mencintaimu Delia. Jangan lupakan aku!" Hati Rado sesak. Ia terbayang betapa hidupnya akan sepi setelah Delia pergi nanti.
Delia tidak sedikitpun memberikan perhatian kepada kegundahan hati kekasihnya itu. Ia penasaran dengan senjata pria yang sekarang tepat berada di bawah kepalanya. Ia tidak mau pergi ke Bandong sebelum merasakan kejantanan Rado. Sudah lama, Delia menginginkan itu. Tapi Rado tidak pernah sekalipun melangkah lebih jauh, bahkan Rado hanya berani mencium keningnya saja.
Delia tidak mau malam ini berakhir tanpa bercinta. Tangan dan bibirnya sudah gatal. Ia sudah bertekad dan penasaran setengah mati dengan bentuk senjata Rado.
Gerak tubuh Delia mulai manja. Ia memutar wajahnya. Hidungnya bersentuhan dengan senjata Rado yang masih tertutup celana. Nafas gadis itu mulai memburu karena cemas dan bernafsu.
"Tidak usah khawatir, kamu akan baik-baik saja di sana!" ucap Rado. Ia pikir, Delia gelisah memikirkan mengenai keberangkatannya besok.
Delia semakin kesal karena Rado sama sekali tidak paham. Delia mengambil inisiatif, ia menekan wajahnya lebih kuat dan menggerakkannya di atas s**********n Rado.
Rado kaget, gerakan wajah Delia seolah disengaja untuk membangunkan kejantanannya. Rado tidak pernah berpikir kalau Delia akan seberani itu. Jantung Rado tiba-tiba berdetak lebih cepat, gerakan wajah Delia semakin liar di atas selangkangannya.
Rado keenakan. Tak sadar, ia menekan kepala Delia menindih batangnya, hingga senjatanya bergesekan lebih kuat dengan pipi dan hidung Delia.
Delia tahu kalau Rado sudah tegang. Kaki Rado yang awalnya lesu, kini terbujur kaku ke depan, gemetar karena sensasi panas yang mengalir di darahnya.
Delia semakin berani, tangan kirinya bergerak dari betis Rado, mengelus hingga ke paha atas orang itu.
"Ah." Rado mendesah.
Delia mengangkat wajahnya sedikit ke atas, menolak tangan Rado dari kepalanya. Kemudian,ia menjulurkan lidah, membasahi benjolan yang muncul di celana pendek kekasihnya itu.
"Oh, Delia," Rado tidak kuasa.
Delia menjilat lembut celana pendek Rado, membuat celana bola itu basah.
Penis Rado berontak, bergetar seolah kejang, menginginkan sesuatu yang lebih berani.
"Bang Rado!" Ciko berteriak.
Rado kaget setengah mati. Ia mendorong keras kepala Delia dari selangkangannya. Delia berguling dan duduk salah tingkah di atas tanah.
"Bang Rado, lagi ngapain?" Ciko, adik Rado, tiba-tiba muncul dari balik pohon jagung.
"Ciko?" Delia heran, menatap kecewa wajah Rado. "Bang Rado, kenapa Ciko ada di sini?" Tanya Delia. Ia masih berusaha merapikan bajunya yang kusut.
"Aduh, maafkan Abang, Dek. Abang tadi mengajak Ciko. Sebelum abang ke rumahmu, Ciko sudah bersembunyi di sana. Tadi, abang takut sendirian!" ucap Rado, malu dan kesal. Ia menyesal telah membawa serta adiknya itu ke sana.
"Astaga, aku mau pulang. Aku tidak percaya ini!" Delia berlari kesal. Ia bahkan tidak melirik lagi ke belakang.
"Delia, Deliaaa!" Rado berusaha mengejar.
"Bang, tunggu! Ciko takut," Ciko merengek,
mengejar mereka dari belakang.
Rado tidak sampai hati meninggalkan adik kecilnya itu berjalan terburu-buru di tengah tengah perkebunan jagung. Ia berhenti dan menunggu Ciko.
"Kenapa kamu bersuara? Abang kan sudah bilang supaya kamu diam!" Gertak Rado pelan setelah Ciko sampai di dekatnya.
"Ciko takut Bang."
"Takut kenapa?"
"Ciko pikir Kak Delia itu wanita siluman ular, Bang!"Kok begitu?"
"Soalnya, waktu Ciko mengintip, Ciko lihat lidahnya begini, Bang. Seperti mau menggigit bang Rado," ucap Ciko, ia menjulurkan lidahnya seperti lidah ular.
Mata Rado mengecil, dahinya berkerut. Ia pusing dan tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengantar adiknya itu pulang ke rumah.
Sepanjang malam, Delia tidak bisa tidur. Ia sengaja membiarkan jendela kamarnya tidak terkunci. Ia berharap Rado kembali. Ia berharap cemas, telinganya fokus mendengar suara sekecil apapun di luar rumah.
Rado memutuskan untuk tidak menemui Delia lagi. Ia merasa bersalah. Ia telah mengecewakan Delia di hari terakhirnya di kampung Bado.
Rado yakin Delia akan semakin mudah melupakannya. Ia sudah mendengar banyak cerita dari teman-temannya.
Setelah gadis dari kampung pergi kuliah, mereka pulang sudah berubah. Jauh lebih cantik, tetapi tidak akan peduli lagi dengan pemuda kampung seperti Rado. Jangankan untuk bersamaan di kebun jagung, untuk berduaan di teras rumah saja mereka tidak mau.
Hati Rado tersayat-sayat. Ia menyalahkan kemiskinannya. Ia ingin kuliah seperti Delia. Tapi, adik-adiknya masih banyak yang sekolah. Rado tidak mau egois. Rado menyesal telah terlahir sebagai anak pertama yang harus selalu mengalah demi adik-adiknya.
Jam 7 pagi di hari Sabtu, Delia duduk di bus yang berhenti di depan rumahnya. Matanya sibuk memandang keluar, mencari sosok Rado.
Tetapi, sampai bus itu bergerak, mata Delia tidak juga menemukan sosok Rado. Delia tidak bisa menghubunginya karena Rado tidak punya handphone.
Rado bangun tidur pukul 10 pagi. la bangun kesiangan karena tidak bisa tidur. Buru-buru, ia berlari ke rumah Delia yang hanya berjarak 500 meter dari rumahnya. Tetapi, gadis itu sudah pergi.
Rado tidak bisa melakukan apapun. Ia memandangi sekeliling rumah Delia, membuat hatinya semakin pilu. Sejak kecil, ia sudah menghabiskan banyak kenangan bersama Delia di sekitar rumah itu.