Bab 2 : Erosi Moral

1935 Kata
Setelah kemenangan Aiden sebagai Ketua OSIS, dunia mereka tidak pernah kembali seperti semula. Persaingan yang awalnya sebatas pencalonan pejabat sekolah, segera merambat ke medan yang lebih luas dan berbahaya: perebutan beasiswa tunggal yang dapat membuka gerbang universitas ternama. Kampus mulai menjadi arena baru. Aiden dan Bima, yang kini bersekolah di universitas berbeda namun masih terjalin ketat persaingan, merasa bahwa sebuah beasiswa yang hanya tersedia untuk satu orang adalah tantangan terbesar. Mereka berdua tahu, ini bukan lagi soal siapa yang lebih pintar semata, tapi siapa yang mampu bermain cerdas—dan tak segan melanggar batas etika. Aiden mulai menghafal strategi demi strategi akademik. Ia menjadi sosok contoh di kelas, mengerjakan tugas dengan sempurna dan mengikuti berbagai lomba ilmiah. Namun, di balik prestasinya yang cemerlang, ada kegelisahan membara. Ia menyadari bahwa usaha keras sendiri tidak cukup untuk mendapat beasiswa itu. Bima, sementara itu, mencari celah lain. Ia mulai membangun relasi kuat dengan para dosen, memanfaatkan koneksi untuk mendapatkan informasi yang tak semua mahasiswa tahu. Meski memakai cara-cara yang abu-abu di mata etika, ia berdalih bahwa tujuannya mulia: untuk membuktikan diri dan meraih impian mereka. Paranoia mulai menggerogoti pikirannya; setiap keberhasilan Aiden dianggap hasil tipu muslihat, sementara dirinya harus melawan bisikan rasa curiga yang tak berhenti. Di tengah persaingan akademik yang keras, Clara kembali hadir, kini sebagai mahasiswi jurusan psikologi. Hubungannya dengan Aiden dan Bima semakin kompleks. Keduanya berlomba mencari perhatiannya, tapi Clara sendiri merasakan ketegangan yang mengusik. Ia mulai menyadari bahwa ambisi yang membara telah mengikis sisi kemanusiaan mereka, menjauhkan mereka dari nilai-nilai yang pernah mereka junjung. Sementara itu, persaingan tak hanya tentang angka dan skor. Sabotase kecil mulai terjadi: tugas yang hilang, informasi yang disebarakan secara salah, hingga bisik-bisik yang membangun rumor. Konflik yang dahulu tersembunyi di balik senyuman kini mulai terbuka. Keduanya semakin sulit percaya satu sama lain dan mulai mempertanyakan batas antara etika dan kemenangan. Di kampus yang seharusnya menjadi tempat belajar dan tumbuh, Aiden dan Bima malah terdorong ke jurang keterasingan dan keraguan. Persahabatan yang dulu hangat kini terkoyak menjadi kepingan-kepingan tajam yang berbahaya. *** Persaingan untuk merebut beasiswa bergengsi itu bagaikan medan perang yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Dua puluh mahasiswa paling berbakat dan ambisius dari berbagai jurusan berkumpul untuk bersaing, namun Aiden dan Bima merasa bahwa pertarungan mereka lebih dari sekadar mencoba mengalahkan seseorang—ini adalah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan yang akan membuka jalan untuk masa depan. Aiden mengawalinya dengan menyusun strategi akademik yang matang. Ia rajin mengikuti seminar, aktif di berbagai organisasi kampus, serta tidak melewatkan satupun tugas dan ujian. Ketekunannya membuat dosen-dosen utama mulai memperhatikan. Namun, jurus utama Aiden adalah kemampuannya menjaga citra positif di mata semua orang—tokoh yang dapat diandalkan, calon pemimpin masa depan. Sebaliknya, Bima mengadopsi pendekatan yang lebih pragmatis dan licik. Ia mulai menggali informasi tentang prosedur seleksi, bahkan menyusup ke dalam lingkaran dosen untuk mengetahui rahasia-rahasia kecil yang bisa dimanfaatkan. Dia tidak segan menyebarkan kabar samar tentang kelemahan kandidat lain, termasuk Aiden, untuk meruntuhkan reputasi lawan. Bagi Bima, tujuan membenarkan cara; apa pun yang membuatnya keluar sebagai pemenang adalah sah. Aspek terberat dari persaingan ini bukan hanya soal nilai atau portofolio, tapi permainan psikologis yang secara perlahan mengikis moral keduanya. Mereka mulai menyusun skenario untuk menjegal satu sama lain. Bima yang pernah menjadi teman berlatih sepak bola Aiden, kini diam-diam menjatuhkan catatan risetnya ke lantai hingga berantakan. Aiden, di lain waktu, menyebarkan rumor halus bahwa Bima pernah mencontek dalam ujian penting. Ketegangan antara keduanya membuncah dalam sebuah malam ketika deadline pengumpulan proposal beasiswa tiba. Proposal Bima tak sengaja hilang dari komputer kampus—sebuah kejadian yang membuatnya hampir putus asa. Rasa cinta akan kejujuran mulai terasa teriris, tapi tekadnya untuk menang terlalu kuat untuk mundur. Aiden yang baru saja mendapat informasi rahasia dari sumber tak diungkap, mempertimbangkan apakah harus menggunakan kesempatan ini demi keuntungan sendiri. Dalam pusaran persaingan yang semakin kotor itu, Clara juga berperan sebagai mediator sekaligus saksi. Ia seringkali berusaha menengahi dan menekankan pentingnya kejujuran dan integritas, namun suaranya terdengar sayup di antara reruntuhan rasa percaya yang telah retak. Puncak persaingan muncul saat pengumuman seleksi beasiswa. Nilai akademik Aiden unggul, namun ada kekurangan pada aspek integritas karena desas-desus yang mulai berhembus. Bima, dengan dukungan beberapa dosen yang terpengaruh strateginya, mendapatkan nilai keterlibatan dan inovasi tinggi, tetapi diselimuti keraguan terselubung. Ketika hasil diumumkan, bukan hanya tentang siapa yang lolos dan siapa yang gagal, tetapi tentang siapa yang mampu bertahan dari perang psikologis dan moral yang dalam. Kemenangan mereka terasa pahit, sementara kekalahan menjadi beban mental yang mengerikan. Di tengah semua itu, hubungan mereka perlahan berubah menjadi perang dingin yang penuh dengan paranoia — setiap langkah diperhitungkan, setiap orang di sekitar dilihat sebagai ancaman atau mata-mata. *** Hari pengumuman beasiswa bergengsi yang mereka perjuangkan tiba juga. Suasana di aula universitas penuh dengan ketegangan yang tidak bisa diabaikan, seolah setiap detik menit membawa beban yang lebih besar daripada ukuran fisik ruang itu sendiri. Aiden dan Bima duduk terpisah, keduanya merasakan beratnya harapan dan kekecewaan yang tertahan. Namun, sebelum keputusan akhir diumumkan, persaingan mereka belum benar-benar usai. Sebuah ajang baru muncul: Pekan Olahraga Daerah (Popda) yang akan diadakan di kota tetangga dan diselenggarakan oleh universitas setempat. Perlombaan ini memuat berbagai cabang olahraga, termasuk karate, cabang yang sama-sama dikuasai oleh Aiden dan Bima. Popda bukan hanya tentang olahraga semata, tetapi menjadi arena pembuktian rivalitas yang mulai menjalar ke setiap aspek kehidupan mereka. Bagi keduanya, kemenangan di Popda akan menjadi perpanjangan dari pertarungan beasiswa dan sekaligus membuka kesempatan untuk mendapat undangan ke klub olahraga bergengsi. Persiapan dimulai dengan ketat dan penuh strategi. Aiden berlatih dengan disiplin tinggi, mengasah teknik karate yang sudah lama ia pelajari, dipadukan dengan latihan kekuatan dan konsentrasi. Bima, dengan gaya yang lebih agresif dan penuh permainan psikologis, berlatih hingga batas lelah, sambil mencoba mengganggu fokus Aiden lewat bisikan-bisikan rumor dan intimidasi diam-diam. Hari perlombaan datang, dan sorak-sorai penonton memenuhi arena. Kedua sosok itu saling menatap, siap untuk memperlihatkan siapa yang lebih unggul—bukan hanya secara fisik, namun juga mental dan strategi. Pertandingan karate antara Aiden dan Bima menjadi puncak perhatian. Tangan mereka bergerak lincah, tendangan dan pukulan yang terukur namun kuat menjadi saksi dari bertahun-tahun latihan dan ambisi yang tak pernah padam. Namun, di balik gerakan itu, ada ketegangan yang tak bisa dihilangkan: rasa takut kehilangan, paranoia akan pengkhianatan, dan dorongan untuk menang dengan cara apapun. Ketika pertandingan berakhir dengan kemenangan tipis untuk Aiden, Bima merasakan ledakan amarah dan kecewa yang sulit dikendalikan. Kekalahan kali ini bukan hanya menggores hati, tapi juga membakar ambisinya menjadi api yang sulit dipadamkan. Kemenangan Aiden di Popda ini membuatnya naik ke posisi yang semakin kuat dalam perebutan beasiswa, sementara Bima harus menelan pahitnya kekalahan yang menambah beban psikologisnya. Namun, keduanya sadar bahwa persaingan ini baru permulaan dari perjalanan yang akan terus menekan batas moral dan persahabatan mereka. Dengan demikian, babak baru persaingan dan dinamika hubungan mereka akan segera dimulai. *** Akhir pekan itu, arena Pekan Olahraga Daerah (POPDA) bergetar oleh sorak sorai ribuan penonton. Lantai tatami berwarna merah dan biru menjadi medan terakhir bagi dua rival yang sudah lama berseteru: Aiden dan Bima. Ini adalah laga final karate dengan sistem kumite (pertarungan bebas), yang menguji teknik, kecepatan, dan strategi di bawah tekanan tinggi. Wasit memberikan aba-aba dimulainya pertandingan. Detik pertama, Aiden dan Bima langsung melakukan posisi fighting stance yang seimbang, mengawasi gerak lawan dengan tajam. Aiden mengawali dengan teknik mawashi-geri (tendangan melingkar) ke arah sisi Bima, yang dengan sigap menangkis menggunakan gedan-barai (sapu bawah) sebelum melancarkan gyaku-zuki (pukulan balik) ke arah perut Aiden. Pada menit kedua, intensitas serangan meningkat. Aiden memakai serangan kombinasi: oizuki (pukulan maju) diikuti harai-uchi (sapuan tangan) untuk mengacaukan keseimbangan Bima. Sebaliknya, Bima mengandalkan kecepatan dan refleks, melakukan teknik ushiro-geri (tendangan belakang) saat Aiden bergerak maju. Kedua atlet saling mencuri poin dengan teknik yang terukur, setiap kontak bersih diberikan poin 1 sampai 3 berdasar tingkat sulit dan area sasaran. Namun, pertandingan mulai berubah ketika Aiden memasuki fase tekanan tinggi. Ia menampilkan teknik hiza-geri (knee strike) yang jarang diaplikasikan, berhasil menjatuhkan Bima satu kali. Skor perlahan condong ke Aiden: 5-3 dengan waktu tersisa dua menit. Di sisi lain, Bima menunjukkan ketahanan mental luar biasa. Ia membalas dengan teknik mawashi-geri tinggi yang menyasar kepala Aiden, menuai poin 3 sekaligus menggores kewaspadaan lawan. Memasuki menit akhir, kedua pejuang mulai menggunakan gerakan taktis, mengeksploitasi celah lawan. Aiden mencoba kombinasi tsuki-uchi (pukulan beruntun) diikuti uraken-uchi (pukulan balik tangan), berusaha membuka ruang untuk tendangan puncak. Bima membalas dengan dengan teknik kakato-geri (tendangan tumit) cepat, hampir mengenai d**a Aiden. Tepat di detik-detik terakhir, dalam sebuah serangan berani, Aiden meluncurkan ippon-seoi-nage—a teknik lemparan judo yang sudah diasah di latihannya. Bima terjatuh, kehilangan keseimbangan, dan itu memberi Aiden poin tambahan yang menyegel kemenangan 8-6. Wasit mengangkat tangan Aiden, menandakan juara baru. Namun keraguan muncul dari beberapa penonton dan pelatih Bima karena ada gerakan tajam dan sedikit kontak berlebih saat lemparan yang hampir melanggar peraturan. Hal ini menimbulkan kegaduhan kecil yang ikut mengisi atmosfer pertandingan. Setelah pesta kemenangan di lapangan usai, pengumuman hasil beasiswa bergengsi menambah ketegangan. Auditorium kampus dipenuhi oleh calon penerima beserta keluarga dan dosen. Saat dewan juri membacakan keputusan, suasana menjadi hening. “Penerima beasiswa tahun ini adalah... Aiden Prasetya,” ujar ketua dewan juri dengan suara lantang. Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan, namun sorot mata Bima yang tak pernah lepas dari Aiden kini berubah menjadi dingin, penuh keraguan dan beban kerasnya persaingan yang telah mereka lewati. Kemenangan Aiden di dua arena berbeda—karate dan akademik—menjadi momen puncak sekaligus titik terendah bagi persahabatan yang mulai retak. Bima tersedu pelan di sudut aula, sadar bahwa meskipun kalah, pertempuran mereka belum berakhir. *** Masuk di masa semester lima di kampus itu membawa dinamika baru dalam persaingan Aiden dan Bima—bukan hanya dalam hal akademik atau olahraga, tapi kini juga dalam perebutan hati Clara. Clara, yang selama ini menjadi saksi dari pertarungan mereka, kini menjadi pusat yang menggerakkan emosi dan keraguan dalam diri keduanya. Di antara kesibukan kuliah dan persiapan KKN yang belum mereka jalani, Aiden mulai menunjukkan sisi kelembutannya kepada Clara. Ia sering mengajak Clara berdiskusi tentang masa depan, mendukungnya dalam tugas kuliah, dan menghadiri seminar bersama. Aiden tampil sebagai sosok yang protektif dan perhatian, tapi tetap menjaga jarak agar tak terkesan memaksa. Bima yang tak ingin kalah, memilih pendekatan yang lebih intens. Ia lebih terbuka mengungkapkan perasaannya lewat pesan-pesan singkat, kejutan kecil, dan waktu khusus bersama Clara di luar kegiatan kampus. Bagi Bima, kejujuran dalam menyatakan cinta adalah senjata utama untuk merebut hati yang kini terasa seperti medan pertempuran baru. Namun Clara sendiri berada di tengah kebingungan. Ia menghargai kedekatan dan perhatian dari keduanya, tapi juga merasa tekanan yang datang dari pertarungan mereka hampir membuatnya kehilangan kendali atas pilihannya sendiri. Clara sadar bahwa ambisi yang membara telah merusak persahabatan di antara Aiden dan Bima, dan ia takut langkahnya akan semakin memperparah situasi. Di sela-sela kuliah, kelas seminar, dan kerja kelompok yang menumpuk, Clara mencoba menjaga jarak agar tidak membuat keputusan terburu-buru. Ia gemetar saat melihat perdebatan kecil mereka berubah menjadi canggung, saat diskusi hangat yang dulu penuh tawa berubah menjadi persaingan yang penuh ketegangan. Dalam suatu sore di taman kampus, Clara duduk sendiri memandangi buku catatan yang terbuka di pangkuannya. Suara langkah kaki mendekat, dan tanpa digugurkan oleh pilihan, ia terdiam saat Aiden dan Bima berjalan lewat secara bersamaan, tanpa saling menyapa. Ada jarak yang terasa begitu dalam, dan Clara mulai bertanya-tanya: apakah ambisi dan persaingan yang mereka bawa terlalu berat untuk ditanggung oleh hati yang sederhana seperti dirinya? Clara yang menulis sebuah surat tanpa pernah memberikannya kepada siapa pun. Dalam surat itu, ia menuliskan kegelisahannya, harapannya, dan ketakutannya akan kehilangan kedua sosok penting itu—baik sebagai sahabat maupun calon pendamping. Surat itu menjadi simbol kebingungan dan ketidakpastian yang melingkupi pilihannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN