Bab 3 Jurang Kompetisi

2219 Kata
Musim kompetisi tahun ini turut menghadirkan arena baru bagi Aiden dan Bima untuk mengadu kemampuan: kolam renang kampus yang menjadi tempat berlangsungnya Pekan Olahraga Daerah (POPDA) cabang renang. Meski bukan spesialis utama, keduanya tahu bahwa menjadi perwakilan daerah di tingkat nasional melalui cabang ini adalah peluang emas untuk mengukuhkan posisi mereka sebagai atlet serba bisa. Persiapan mereka dimulai sejak awal semester. Aiden yang memiliki metode disiplin tinggi menyusun jadwal latihan intensif bersama pelatih renang profesional kampus. Ia fokus memperbaiki teknik gaya bebas dan gaya kupu-kupu—dua nomor yang menjadi andalannya. Setiap pagi sebelum matahari terbit, ia sudah berada di kolam, mengulang pernapasan teratur dan pukulan tangan dengan presisi. Sementara itu, Bima menggunakan pendekatan yang lebih agresif dan berani. Selain rutin latihan di kampus, ia juga latihan tambahan di klub renang swasta, mempelajari teknik start blok dan putaran balik cepat. Bima percaya bahwa kekuatan fisik dan adrenalin yang tinggi bisa mengalahkan teknik sempurna, karena di lomba sesungguhnya, mental bertahan dan serangan tiba-tiba adalah kunci. Babak penyisihan diadakan di kolam renang utama kampus yang luas, dengan tribun penonton penuh oleh mahasiswa yang berharap melihat duel sengit keduanya. Aiden dan Bima masuk ke nomor 100 meter gaya bebas, nomor yang biasanya menentukan siapa yang paling cepat dan tangguh. Babak pertama berlangsung ketat. Aiden menunjukkan tenaga dan tekniknya yang presisi, menjaga ritme napasnya tetap stabil sehingga berjalan mulus dari start hingga finish. Bima melesat dengan awal yang agresif, mengandalkan kecepatan awal, tapi agak menurun di akhir karena strategi yang sedikit gegabah. Aiden finis terlebih dahulu, membukukan waktu yang sedikit unggul, namun dengan margin yang tipis. Babak semifinal mempertemukan mereka kembali dengan lawan-lawannya yang juga kuat. Tekanan mulai terasa. Aiden tetap tenang, mengatur nafas dan fokus pada teknik putaran balik yang selama ini menjadi kelemahannya. Bima memperbaiki startnya dan menunjukkan perbaikan signifikan, menyodok posisi kedua dengan waktu hampir menyamai Aiden. Malam sebelum final, keduanya terdiam sendiri-sendiri. Bima terdengar berlatih teknik napas di tepi kolam sementara Aiden memeriksa peralatan latihan dan memvisualisasikan rutenya. Tidak ada kata sepakat atau ucapan dukungan; hanya ketegangan yang menjalar tak terlihat. Pada hari final, suasana arena renang luar biasa mencekam. Di nomor 100 meter gaya bebas, dengan seluruh mata terfokus, Aiden dan Bima berdiri di balok start bersebelahan. Ketukan peluit wasit menandakan dimulainya lomba, dan keduanya melesat ke dalam air. Air beriak ketika tangan dan kaki mereka menyapu air, napas terengah dan kecepatan maksimal saling bersaing. Giliran putaran balik mendekati dua puluh lima meter, Aiden dengan teknik yang lebih halus berusaha melewati Bima yang mengandalkan kekuatan penuh. Sorak penonton bergemuruh saat keduanya jaraknya hampir setara di garis finish. Dalam detik-detik akhirnya, Aiden mampu menambah keunggulan sedikit demi sedikit dan melewati garis finish dengan selisih waktu yang sangat tipis: 0,15 detik lebih cepat dari Bima. Suara tepuk tangan dan sorak sorai memenuhi kolam. Meski kalah, Bima menatap Aiden dengan tatapan penuh tantangan—ini bukan pertandingan terakhir. Kemenangan Aiden yang melengkapi prestasi sebelumnya semakin mengejutkan banyak pihak sekaligus mengukuhkan posisinya sebagai calon juara multi cabang olahraga. Namun, benih benih persaingan yang semakin memanas terus mengikis sisa-sisa persahabatan mereka. *** Kemenangan Aiden di cabang renang POPDA membawa euforia tersendiri di kampus. Dia menjadi sorotan, tidak hanya sebagai mahasiswa biasa, tetapi sebagai bintang yang mulai mengukir namanya di berbagai kompetisi. Banyak teman sekelas dan senior yang mulai memandangnya dengan kekaguman dan harapan besar. Namun, di balik sorotan itu, Aiden merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Bima, meski dengan rasa kecewa, memilih untuk menenangkan diri dan memfokuskan energi untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan berikutnya. Pertarungan dengan Aiden terasa belum tuntas, dan kini tekanan mulai bertambah dari sisi lain yang tak kalah penting: program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang akan mereka jalani di daerah terpencil. Kehidupan kampus mulai berubah dengan cepat. Berbagai persiapan administratif dan pembekalan dilakukan hampir setiap hari. Para mahasiswa mulai disibukkan dengan pembagian wilayah KKN, pengenalan kondisi masyarakat setempat, dan pelatihan adaptasi dengan lingkungan baru yang relatif minim fasilitas. Aiden dan Bima harus menghadapi realita bahwa setelah berbagai persaingan keras di akademik dan olahraga, mereka akan diuji dalam situasi yang jauh berbeda—bekerja sama dan berkontribusi nyata di tengah masyarakat yang sederhana dan penuh tantangan. Keduanya merasakan ketegangan yang tidak hanya berasal dari lingkungan baru, tapi juga dari hubungan mereka yang mulai renggang. Kampus dipenuhi dengan diskusi serius dan persiapan kelompok KKN yang akan berlangsung selama beberapa bulan. Clara, yang ikut dalam kelompok Aiden, mencoba menjadi penyeimbang di antara perasaan dan persaingan yang kian memanas. Sementara itu, Bima memutuskan untuk mengambil lokasi yang berbeda, berharap jarak bisa meredam ketegangan dan memberikan waktu bagi dirinya untuk introspeksi. Saat mata kuliah mulai melambat dan waktu KKN semakin dekat, suasana hati mahasiswa terbagi antara antusiasme dan kecemasan. Banyak yang merasa ini kesempatan untuk berkontribusi, belajar, dan menjauh dari tekanan akademik, termasuk Aiden yang mulai bertanya-tanya apakah makna kemenangan dan persaingan yang telah ia jalani selama ini akan berubah ketika dihadapkan dengan kehidupan nyata yang jauh dari gemerlap kompetisi. Hari-hari kampus menjelang KKN menjadi masa refleksi dan ketidakpastian bagi mereka semua, terutama bagi dua rival yang sudah terlalu lelah dengan persaingan yang memaksa mereka kehilangan keseimbangan. *** Desa Ciputih, sebuah daerah terpencil di kaki pegunungan, menjadi latar baru bagi Aiden dan Bima menjalani KKN yang selama ini mereka persiapkan. Jauh dari hiruk-pikuk kampus dan megahnya kota, kehidupan di sini berjalan dengan ritme yang sederhana, penuh tantangan, dan penuh makna. Aiden tiba lebih dulu bersama kelompoknya. Ia merasakan kontras besar antara kenyamanan kota dan kerasnya realita desa. Tugas mereka bukan hanya mengajar di sekolah dasar, tapi juga membantu mengembangkan program pemberdayaan masyarakat yang selama ini kurang tersentuh teknologi dan sumber daya. Cuaca panas dan medan yang berat membuat segalanya menjadi ujian fisik dan mental. Bima yang ditempatkan di desa tetangga, menjalani aktivitas yang berbeda—membantu pembangunan infrastruktur sederhana dan membina kelompok tani. Kegiatan ini membuka matanya pada arti kerja keras dan kebersamaan yang sesungguhnya, jauh dari rivalitas dan ambisi yang menguras jiwa. Setiap pagi, Aiden dan kelompoknya membuka kelas dengan antusias, mencoba memotivasi anak-anak desa yang penuh rasa ingin tahu. Ia mengajarkan pelajaran matematika dan sains dengan cara yang lebih interaktif, sekaligus mengadakan pelatihan komputer sederhana. Namun, terkadang ia merasakan hampa; suara tawa dan senyum tulus anak-anak itu mengingatkannya pada persahabatan yang mulai retak. Bima, di sisi lain, mulai belajar bersabar dan mengelola ego. Ketika kelompoknya menghadapi konflik soal pembagian tugas, ia terpaksa mengalah dan mencari solusi bersama. Suasana yang jauh dari kompetisi membuatnya merenung, tentang arti kemenangan dan kekalahan yang sejati. Malam-malam mereka di desa diiringi obrolan sederhana di bawah langit gelap, duduk mengelilingi api unggun atau menatap bintang. Kedua sosok yang dulu bertarung habis-habisan kini merasakan beban dan kerinduan yang sama akan masa lalu, sekaligus kebingungan akan masa depan. Meski terpisah jarak, kabar tentang kegiatan dan perjuangan masing-masing kerap sampai ke telinga mereka lewat pesan singkat atau perantara teman. Seringkali, nada pesan itu penuh dengan sindiran tak langsung, yang perlahan kembali menyalakan bara persaingan. Kehidupan selama KKN menjadi ujian yang sesungguhnya—bukan untuk mempertahankan gengsi atau memperebutkan kemenangan, tapi untuk menyelaraskan kembali nilai diri yang hampir hilang. Namun, pertanyaan tetap menghantui: bisakah Aiden dan Bima melewati masa ini tanpa kehilangan diri mereka dalam pertempuran ambisi yang terus membara? *** Hari-hari di Ciputih yang awalnya penuh ketenangan dan rutinitas lambat berubah menjadi ladang konflik ketika tugas kelompok dalam program KKN mulai menuntut kolaborasi lebih intens antara Aiden dan Bima. Meski mereka ditempatkan di desa terpisah, suatu proyek pembangunan fasilitas umum di balik bukit mengharuskan kedua kelompok mengadakan pertemuan gabungan. Pertemuan itu diwarnai oleh ketegangan yang sulit disembunyikan. Aiden yang memimpin kelompoknya dengan sikap tegas namun diplomatis, dan Bima yang keras kepala serta penuh rasa curiga, sering kali berselisih pendapat soal cara kerja dan prioritas proyek. Kritik yang awalnya membangun berubah menjadi sindiran terselubung, dan lama kelamaan komunikasi yang tadinya efektif berubah menjadi perdebatan. Suatu malam, saat diskusi di balai desa memanas, Bima mengungkit kegagalan Aiden dalam salah satu pengerjaan sebelumnya, menyebut bahwa kepemimpinan Aiden terlalu menggebu tanpa memperhatikan kondisi lapangan. Aiden membalas dengan menyindir gaya kerja Bima yang sering menunda dan memecah perhatian tim hingga proyek terancam molor. Perdebatan itu pecah menjadi keributan kecil di depan warga desa yang datang sebagai saksi. Clara, yang kebetulan hadir sebagai bagian dari kelompok Aiden, mencoba meredakan suasana tapi justru menjadi sasaran ketegangan ganda karena dianggap memihak satu pihak. Konflik ini membuat suasana menjadi canggung dan memecah kepercayaan antar anggota serta warga setempat. Namun, titik balik terjadi ketika bencana kecil melanda desa—sebuah hujan deras menyebabkan tanah longsor yang merusak sebagian area proyek. Kerusakan ini menuntut kerja sama dan solidaritas yang sebenarnya, memaksa Aiden dan Bima untuk menyatukan kekuatan dan membuang ego demi menyelamatkan program KKN mereka. Ketegangan yang awalnya memecah justru menjadi momen refleksi. Dalam kerja keras bersama memperbaiki kerusakan, mereka mulai menyadari bahwa persaingan yang terus-menerus hanya membawa kehancuran, sementara kerja sama dapat membawa kemenangan yang lebih bermakna. Meski tidak langsung memperbaiki hubungan, titik balik ini membuka ruang dialog dan langkah menuju rekonsiliasi. Namun, bayang-bayang ambisi dan kesalahan masa lalu masih terus menghantui. Konflik dan tekanan yang muncul merupakan cerminan dari perang batin yang belum usai, memperingatkan bahwa jurang kehancuran bisa saja kembali terbuka kapan saja. *** Masa-masa akhir KKN di desa Ciputih menjadi waktu penuh refleksi bagi Aiden dan Bima. Mereka mulai merasakan betapa pengalaman di desa itu membuka mata tentang arti kebersamaan, pengorbanan, dan nilai-nilai yang selama ini mungkin terlupakan dalam kompetisi mereka. Meski belum sepenuhnya berdamai, kerja keras bersama memperbaiki proyek yang terkena longsor telah sedikit mengikis jarak di antara mereka. Kembali ke kampus, rutinitas berubah drastis karena keduanya sudah harus bersiap menghadapi kompetisi sepak bola U-19 yang sangat bergengsi. Aiden dan Bima, secara mengejutkan, terpilih sebagai bagian dari satu sekolah sepak bola yang sama—sekolah yang terkenal sebagai tempat pembibitan atlet sepak bola profesional. Bahkan, mereka mendapat posisi yang sama sebagai striker utama, posisi yang selama ini menjadi kebanggaan sekaligus sumber persaingan sengit. Latihan mulai intensif. Di lapangan hijau, keduanya bertemu lagi dalam atmosfer yang penuh ketegangan. Setiap sesi latihan bukan hanya tentang mengasah teknik dan fisik, tetapi juga adu strategi dan mental bertahan. Mereka tidak bisa menghindari saling mengamati; setiap gerakan diperhitungkan, setiap peluang dicari untuk mengungguli satu sama lain. Situasi ini membawa dinamika baru di dalam tim. Pelatih mulai memperhatikan bagaimana rivalitas antara Aiden dan Bima kadang memberikan energi tambahan, namun juga potensi konflik yang bisa merusak kekompakan tim. Di ruang ganti, suasana bisa berubah dari canda tawa menjadi ketegangan yang membuat semua rekan satu tim waspada. Di luar lapangan, keduanya berusaha menjaga jarak. Namun, persaingan yang lama terpendam selalu muncul dalam setiap pertemuan dan percakapan. Clara, yang kini menjadi teman satu kampus sekaligus pendukung diam-diam, merasakan bagaimana beban mental kedua pria itu semakin berat. Persiapan kompetisi ini adalah babak baru yang lebih menantang, karena taruhannya kini bukan hanya sekadar prestasi individu, tetapi kehormatan sekolah dan masa depan karier profesional mereka. Aiden dan Bima harus menentukan sejauh mana mereka mampu mengendalikan ambisi demi keberhasilan bersama, atau sebaliknya membiarkan hasrat mengalahkan lawan menghancurkan apa yang tersisa. *** Kompetisi sepak bola U-19 yang diikuti oleh Aiden dan Bima dimulai dengan atmosfer yang penuh ketegangan dan antisipasi. Sebagai striker utama di tim yang sama, keduanya harus menunjukkan kemampuan terbaiknya, baik dalam menyerang maupun bekerjasama agar tim bisa meraih kemenangan. Namun, persaingan pribadi mereka terus membara di bawah permukaan. Babak awal kompetisi menunjukkan kualitas keduanya yang luar biasa. Aiden mengandalkan teknik dribbling cepat dan insting mematikan di depan gawang lawan. Ia sering menggunakan gerakan feint—gerakan palsu yang membohongi bek atau kiper sebelum melepaskan tembakan. Selain itu, teknik finishing Aiden sangat presisi; ia piawai menempatkan bola di sudut-sudut yang sulit dijangkau kiper. Bima, sebaliknya, mengandalkan kecepatan sprint dan kekuatan fisik yang tangguh. Tekniknya tentang positioning alias penempatan diri sebagai striker membuatnya selalu berada di posisi emas untuk menyambut bola silang. Ia mahir bermain dengan gaya ‘poacher’—berjalan cepat memanfaatkan peluang sesaat untuk mencetak gol. Selain itu, Bima juga berani melakukan pressing ketat saat bertahan, memberi tekanan yang efektif kepada bek lawan. Namun, penampilan teknis itu diiringi oleh dinamika mental yang rumit. Pada beberapa pertandingan awal, ketidaksesuaian pola bermain antara Aiden dan Bima mulai terlihat. Keduanya saling berebut bola saat posisi seharusnya diaplikasikan kerja sama satu-dua (one-two pass). Ego dan keinginan untuk mencetak gol pertama membuat beberapa peluang hilang sia-sia. Pelatih pun mencoba melerai dengan memberikan arahan khusus: mereka harus membangun chemistry sebagai duet striker, menggunakan kombinasi umpan pendek dan gerakan membuka ruang (off-the-ball movement). Dengan progres yang sedikit, mereka mulai belajar saling mengisi, memancing bek lawan untuk membuka celah bagi temannya. Namun, di dalam tim dan ruang ganti, ketegangan tidak pernah benar-benar hilang. Sering terjadi perdebatan kecil mengenai siapa yang seharusnya mendapat kesempatan menembak duluan, atau siapa yang dianggap kurang memberikan assist. Ketika pertandingan memanas, keduanya terkadang saling menjauh atau malah menunjukkan sikap dingin yang membuat rekan setim bingung dan waspada. Pada babak semifinal, tekanan mencapai puncaknya. Tandingan yang sangat berat membuat fokus pertandingan bergantung pada efektivitas dua striker ini. Dalam situasi kritis, Aiden menunjukkan ketenangan luar biasa dengan mengeksekusi penalti dengan tenang, membawa tim unggul. Sementara itu, Bima berhasil mencetak gol penyeimbang lewat serangan balik cepat yang memanfaatkan ruang kosong dari lini pertahanan lawan. Kompetisi akhirnya menjadi cerminan persaingan batin mereka: teknik dan mental bertarung di lapangan, sementara hubungan mereka diuji di sisi emosional. Kemenangan bersama membawa kepuasan, tapi juga menimbulkan pertanyaan tentang apakah mereka mampu menjaga ikatan di luar lapangan jika ambisi terus memecah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN