Bab 2: Gadis Cantik Penghuni Lantai Lima

1082 Kata
*** Dia itu berbeda banget sama gue, jangankan buat mendekat, buat senyum sama dia aja gue minder-nya bukan main *** Tidak ada lagi Rindu di PT Maju Sukses sama dengan Bonar harus menikmati makan siangnya sendirian di kantin kantor. Anak divisi keuangan memang sangat baik namun mereka semua rata-rata sudah berkeluarga dan jarang sekali makan di kantin kantor, kebanyakan dari mereka lebih memilih membawa bekal. Teman Bonar di kantor memang bukan hanya Rindu saja namun Rindu adalah orang yang paling enak di ajak bercerita bersama walau nanti hanya Bonar yang akan banyak bicara dan gadis itu hanya akan menjadi pendengar saja, selain itu juga, Rindu adalah orang yang tidak pernah memandang fisik dan merendahkan Bonar seperti yang di lakukan orang-orang pada umumnya, lagi-lagi karena berat badan Bonar yang berlebihan padahal itu tidak merugikan siapapun. Bonar siang ini menikmati satu mangkuk soto, nasi dan juga es teh manis, sesungguhnya diet itu sampai hari ini masih niat belaka, Bonar belum melakukannya sama sekali. Seperti akan butuh waktu lama bagi Bonar agar benar-benar mendapatkan hidayah untuk diet walau sekarang dia lebih sering datang ke tempat Gym niatnya mau olahraga sampai berkeringat namun lebih seringnya baru angkat barbel dua kali kemudian langsung engap atau berjalan di treadmill tidak sampai lima menit tapi Bonar setelah itu sudah menikmati jus buah yang dia siapkan sebelumnya, sungguh realita tidak seindah ekspektasi. Sesekali dari tadi mata Bonar melihat ke arah lain meja kantin, di sana ada si cantik penghuni lantai lima. Sungguh bagi Bonar, Safira Pramesti itu adalah gambaran perempuan cantik sedunia, mungkin tidak hanya Bonar, setiap orang yang melihat Safira pasti akan mengatakan hal yang sama. “Bang, Rindu ke mana, kok gue nggak lihat dia dari kemarin di kantor?” Bonar tersentak kaget dari hayalan semunya yang sungguh indah, pria itu langsung menatap pria tiba-tiba duduk di hadapannya. Bonar sedang menikmati sotonya tiba-tiba terkecekat. Rasanya sulit sekali untuk sekedar menelan makanannya. Bonar meraih gelasnya lalu meneguk es teh miliknya dengan rakus. “Gimana? Gimana?” tanya Bonar. Dia duduk dengan tegap lalu menatap Bhanu dengan lekat. Dalam hati diam-diam Bonar ingin mengutuk orang tertinggi di PT Maju Sukses ini. Winata sudah berhasil merenggut hal paling berharga bagi putranya sendiri. Bhanu bahkan terlihat jauh berantakan di bandingkan Rindu. Rambut pria itu sedikit memanjang dan acak-acakan begitu juga dengan kantong mata yang terlihat semakin menghitam. “Rindu kenapa nggak ada di kantor? Gue udah coba menghubungi nomor dia tapi nggak aktif, gue cari ke rumahnya juga nggak ada orang,” ucap Bhanu. Bonar mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Bonar bingung harus menjawab pertanyaan Bhanu seperti apa. “Kalau dia nanti nyari gue, jangan pernah katakan yang sebenarnya, Nar. Gue nggak mau melihat dia semakin hancur. Gue nggak mau melihat hubungan dia dan pak Winata semakin berantakan. Mereka baru berbaikan.” Ucapan Rindu kemarin malam di telpon tiba-tiba memenuhi kepala Bonar. Pria itu buru-buru menggeleng kemudian menatap Bhanu dengan cengiran andalannya, cengiran penuh tipu muslihat yang bisa menghanyutkan siapa saja. “Rindu ada kerjaan ke luar kota, berangkat semalam. Mungkin karena terlalu sibuk makanya dia lupa balas pesan lo.” “Ndu, lo harus nanggung dosa gue karena udah bohongin berondong ganteng.” Bonar mengucapkan setiap katanya dengan santai namun serius. Bahu Bhanu terlihat merosot ke bawah. Rindu benar-benar berdosa sekali telah menyakiti hati orang ganteng seperti Bhanu. Pria itu terlihat sekali putus asa. “Nu, lo udah berapa lama nggak tidur?” tanya Bonar sambil mengamati wajah kusut Bhanu dengan tatapan yang terlihat sayu. Bhanu tampak memijat keningnya lalu tersenyum tipis pada Bonar, “tiga hari kayaknya, Bang. Kerjaan gue lagi banyak,” jawab Bhanu. “Banyak kerjaan atau karena yang lain?” tanya Bonar dengan tatapan jahil, namun sesekali dia masih menyempatkan diri untuk melirik ke meja yang di tempati oleh Safira. Bhanu terdengar menghela napas lalu menatap Bonar dengan serius. “Bang, kalau gue boleh tahu, Rindu pernah cerita sesuatu nggak sama lo?” tanya Bhanu. Bonar mengangkat sebelah alisnya. Tatapannya begitu geli melihat Bhanu. “Dia selalu cerita banyak hal sama gue. Lo mau tahu yang bagian mana?” tanya Bonar. “Rindu pernah cerita sama lo, apa alasan dia meminta hubungan kami berakhir?” tanya Bhanu. Bonar langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Kalau soal ini lebih baik lo nanya sama orangnya langsung. Gue nggak memiliki hak apapun,” ucap Bonar. Jawaban yang paling aman. “Lo sampai kapan mau ngelihatin doang, Bang? Dia nggak akan tahu maksud lo kalau lo nggak gerak duluan." Bonar tersentak mendengar ucapan Bhanu berikutnya. Mata Bonar mengerjab perlahan, dia sekarang sudah seperti maling yang tertangkap basah. “Lo tahu?” tanya Bonar gelagapan, sungguh, sekarang Bonar percaya dengan apa yang sering Rindu katakan bahwa Bhanu Winata adalah orang yang sangat peka sekali terhadap sekitarnya. “Dari tadi lo selalu mencuri pandang ke meja anak Arsi, Safira memang cantik kok, Bang, kalau suka jangan di lihatin doang, di deketin. Bahkan pas waktu perayaan kantor lo juga ngelihatin doang kan nggak jadi nyamperin?” tanya Bhanu dengan begitu santai. Bahu Bonar merosot ke bawah, “dia itu berbeda banget sama gue, jangankan buat mendekat, buat senyum sama dia aja gue minder-nya bukan main,” ucap Bonar. Bhanu terlihat tersenyum tipis, pria itu berdiri dari tempat duduknya, “kita nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hati seseorang ketika kita tidak berusaha menyentuhnya, Bang. Kalau suka perjuangkan, kita nggak pernah tahu garis takdir yang sudah tetapkan,” ucap Bhanu, pria itu menepuk bahu Bonar beberapa kali kemudian pamit meninggalkan kantin. Bonar terpaku, apa yang di katakan Bhanu memang benar tapi rasanya sulit sekali, Bonar sangat sadar diri, dia dan Safira sungguh bagaikan langit dan bumi. “Usaha Nar usaha, lo memiliki banyak waktu untuk berubah!” seru Bonar pada dirinya sendiri, matanya kemudian kembali terpaku pada Safira yang tertawa menikmati makan siang bersama teman-temannya. Sungguh Bonar sudah tertarik pada gadis itu sejak pertama kali dia melihatnya di lantai lima, saat Bonar berkeliling kantor. Saat itu Safira terlihat sangat serius dengan pekerjaanya, berdikusi dengan rekan-rekannya kemudian Bonar jadi lebih sering bertemu dengan Safira di beberapa sudut kantor, entah di kantin seperti sekarang, di parkiran jika gadis itu memarkir mobilnya berdekatan dengan parkiran motor atau tidak di lobi. Bonar terkadang tersenyum tipis saat berpas-pasan dengan Safira walau sungguh kaku sekali. Di waktu lain terkadang Bonar mencoba memberanikan diri memanggil nama gadis itu walau mereka belum berkenalan secara resmi. Sungguh Bonar tidak bisa menggambarkan tentang Safira, gadis itu adalah gambaran yang sangat sempurna, cantik wangi, cukup ramah dan sangat kompeten di bidangnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN