12. Pertengkaran

2291 Kata
Adam POV Aku mengusap tengkukku sambil melakukan peregangan pada leherku yang terasa lelah setelah setengah harian ini dengan jadwal yang cukup padat. Oh, andaikan saja aku bisa memilih kapan aku bisa melakukan aktivitas lebih banyak dan lebih sedikit, pasti saat ini aku akan memilih melakukan sedikit aktivitas agar aku bisa segera menemui Anaya yang sudah menungguku setengah jam lalu di dalam ruanganku. “Dokter mau makan siang dimana? Apakah perlu saya belikan di kantin atau diluar?” tanya Andin, suster yang baru saja menjadi pendamping ku untuk memeriksakan pasien. “Tidak perlu suster Andin, kebetulan saya sudah ditunggu makan siang oleh calon istri saya” ujarku sambil menganggukkan kepala sebagai bukti kesopanan atas tawarannya yang baik hati. Ia tersenyum kecil lalu menganggukkan kepala “Kalau begitu, saya permisi dokter” pamitnya dan segera kuangguki hingga kami berjalan kearah yang berbeda. Dengan langkah tergesa, aku segera menghampiri ruanganku dan masuk tanpa mengetuknya meski pintu itu tertutup. Aku menghembuskan nafas lega saat ku lihat disana ada Naya yang duduk di kursi kerjaku sambil memainkan ponselnya “Hai” sapaku segera mendekatinya. “Mas” sapanya “Kamu udah makan?” “Belum, ini baru mau makan bekal yang kamu bawa” “Lama banget sih Mas makannya, nanti sakit baru tahu. Kamu kan dokter, harusnya lebih memperioritaskan kesehatan sendiri sebelum kesehatan orang lain” omelnya yang membuatku justru gemas dan menyukai tingkahnya itu. Aku mengambil posisi duduk didepannya. “Iya sayang, tapi tadi ada operasi darurat sebelum jam makan siang sampai jam setengah tiga, jadi aku terusin aja kerjaannya sambil nungguin kamu dan baru selesai sekarang” jelasku agar ia menghentikan omelannya “Kamu sendiri udah makan?” “Udah” ia menunjukkan cengirannya yang membuatku terkekeh geli “Naya kana da sakit maag, mana berani makan terlambat begini” “Yaudah, kalo gitu Mas makan dulu ya” “Iya, biar aku bukain rantangnya” tawarnya lalu membuka rantangan yang berisi beberapa makanan yang membuatku tersenyum. “Aku masakin spesial buat Mas, supaya Mas semangat kerjanya” bangganya sambil memamerkan senyumnya. “Kalau begini sih bukannya bikin Mas semangat kerja, malah bikin ngantuk” ujarku melihat ada gorengan bakwan, pergedel, nasi dan ikan yan porsinya cukup banyak untuk ku habiskan sendiri. “Ya mau gimana lagi dong Mas, aku kan udah bekerja keras buat ini semua, jadi kamu harus makan sampai habis” Aku segera meraih makanan yang telah ia siapkan lalu menyantapnya. Ku lihat Naya mengambil minum dari dispenser yang ada di dekat mejaku, lalu meletakknya diatas meja, tepat dihadapanku. “Makasih sayang” “Sama-sama Mas” angguknya. Dalam hening, aku merasakan Naya yang mencuri pandang untuk melirikku ketika aku melihat kearah makanan, namun ia langsung membuang pandangan begitu aku melihatnya hingga tingkahnya yang seperti itu membuatku tertawa “Kamu kenapa sih? Kaya lagi ketahuan nyuri ikan asin gitu, sampe main kucing-kucingan buat natap aku” “Ngga apa-apa Mas” “Beneran? Mas ragu sama jawaban kamu. Ada yang mau kamu bilang?” tanyaku penasaran. Sesungguhnya aku merasa bahwa Naya seperti ingin mengatakan sesuatu namun ragu untuk menyampaikannya padaku. “Nanti aja deh Mas, tunggu siap makan aja” usulnya yang kuangguki. Aku meneguk minum dalam gelas penuh itu hingga isinya tandas, seusai aku makan hingga kenyang dan tiba-tiba membuat niat berbaring muncul dalam kepalaku. Aku pasti sampai sekenyang itu hingga langsung ingin bertemu dengan ranjang yang nyaman. Tapi aku mengurung niatku itu begit mengingat bahwa Naya ingin menyampaikan sesuatu kepadaku yang sejak tadi membuatku cukup penasaran karena gerak-geriknya yang gelisah. “Mas, udah siap makan. Kamu mau ngomongin apa tadi?” “Mas” serunya hingga aku fokus hanya padanya saja “Aku mau tanya sesuatu yang mungkin akan bikin kamu sedikit marah nantinya” “Nanya apa?” tanyaku heran hingga ia bisa menebak aku akan marah padanya. Aku dapat melihat keraguan yang jelas terpancar dari wajah Naya, apalagi melihat bibirnya yang ia lipat ke dalam serta tatapannya yang meragu. Dengan lembut, kuraih tangannya dan meremasnya kecil “Bilang aja” pancingku. “Mas yakin mau ngelanjutin hubungan ini sama aku? Kalau Mas mau mundur, aku akan terima walau hatiku ngerasa sakit” Aku cukup terkejut dengan pertanyaan sekaligus pernyataan Naya yang tidak ada dalam benakku sam aseklai. Mengapa dia tiba-tiba menanyakan hal itu padaku setelah kami membahasnya di Bandung waktu itu? Apakah aku memiliki kesalahan hingga ia tiba-tiba membahas hal ini lagi? Atau, apakah dia melakukan kesalahan hingga merelakan aku mundur? “Kamu kenapa?” tanyaku berusaha menenangkan diri. Aku tidak ingin mengambil resiko dengan kemarah yang tidak jelas hanya karena aku tidak menyukai pertanyaannya. “Mas, keperawanan itu penting” ujarnya. Aku menghembuskan nafas kasar dan tetap berusaha meredam kemarahanku “Kamu kenapa sih Nay? Kenapa tiba-tiba membahas hal itu lagi? Aku udah bilang kan kalau aku yakin sama kamu dengan kebaikan ataupun keburukan yang kamu punya. Tolong jangan mempertanyakan ini lagi” “Kalau gitu, jawab pertanyaan ku dengan jujur. Apa yang Mas lakuin begitu mendengar pengakuanku tentang keperawanan itu?” Aku tercenung mendengar pertanyaannya dan segera mengingat apa yang ku lakukan saat itu. Ah, aku mengingatnya dengan jelas “Aku mabuk-mabukan” jawabku jujur. Lagi pula memang itu yang ku lakukan dan aku tidak perlu menutupinya dari Naya. Ia tersenyum lirih dan ku lihat matanya yang berkaca-kaca “Jelas, Mas. Mas juga kepikiran mengenai buruknya Naya setelah mengaku seperti itu. Mas nggak perlu mengelak lagi” “Nay, maksud kamu apa?” tanyaku masih tak mengerti apa yang jelas. “Mas, aku rasa Mas cuma kasihan sama diri Mas karena udah mengejar aku selama itu dan setelah mengetahui bahwa aku udah nggak perawan, Mas kecewa, tapi sudah terlambat untuk berpaling karena umur atau bahkan alasan lainnya” “Nay, kamu ngomong apa?” “Mas ngerti apa yang aku omongin” ujar Naya memejamkan matanya dengan erat. Ada air mata yang ia coba tahan agar tak keluar saat ini juga. “Mas nggak ngerti” “Mas nggak siap sama kenyataan yang bilang kalau aku udah ngga perawan. Mas bahkan sampai mabuk-mabukan karena nggak menduga hal itu, jelas itu membuktikan kalau Mas sangat kecewa” jelasnya sambil menggigit bibirnya. Aku mengusap wajhaku kasar dan menarik napas panjang dengan mata memejam sebelum akhirnya kembali menatap Naya dengan frustasi. Aku mengangguk “Iya, Mas nggak siap sama kenyataan yang bilang kalau kamu udah melakukan hal itu. Mas nggak siap sama kekecewaan karena Mas mengetahui itu setelah mengejar kamu sejak umur Mas 18 tahun. Mas memang kecewa karena ngga menduga kalau hubungan kamu sama pacar kamu sampai sejauh itu. Mas kecewa” aku-ku jujur. Aku menjambak rambutku dengan kasar, berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan semuanya, namun akhirnya aku malah terpancing dengan ucapan Naya. Aku tidak ingin berbohong, hatiku benar-benar kecewa dengan kenyataan bahwa wanita yang ku cintai sudah tak lagi virgin. Aku tak siap dengan kenyataan bahwa selama ini aku mengharapkannya dan ia menghempasku begitu saja dengan kalimat yang mengatakan bahwa ia sudah tak virgin. Keperawanan bukanlah hal utama yang kuharapkan dari Naya, tapi mengetahui fakta itu sungguh membuat goresan kecil dalam diriku untuk mempercayakannya sebagai wanita baik hilang. Sebagai pria yang selama ini menjaga diri dari pergaulan seperti itu, jelas saja aku juga menginginkan orang yang menjaga dirinya dengan baik pula. Lalu, apakah aku salah jika saat ini aku kecewa? Apa aku salah jika aku sempat memikirkannya hingga mabuk-mabukkan? Aku hanya tak tahu melampiasakannya pada siapa? Aku bahkan tak bisa menceritakkannya pada orang terdekatku karena menurutku, itu adalah aib yang harus ditutup rapat-rapat. Harusnya Naya tidak memberitahukan hal itu kepadaku supaya aku tidak perlu memikirkannya. Harusnya dia membiarkan aku mengetahui sendiri saat menyentuhnya setelah kami menikah. “Makasih Mas, atas jawabannya” “Nay” seruku menahan kepergiannya. Tanganku menggenggam erat tangannya yang sangat dingin dan bahkan bergetar. Tok tok tok Naya menghapus air matanya lalu membukakan pintu ruangan ku untuk orang yang baru saja mengetuk. Disana muncul wajah Andin yang kebingungan, entah karena mendapati Naya menangis atau melihatku yang tampak frsutasi. “Ada apa, Ndin?” tanyaku. “Jadwal periksa pasien rawat inap kamar Santa 503, Dok” ujarnya. “Beri saya waktu lima menit lagi” pintaku yang langsung dianggukinya dan ia segera berlalu dari ruanganku. “Aku pulang dulu, Mas” pamit Naya dan langsung pergi begitu saja, tanpa menunggu jawabanku. *** Aku menghempaskan tubuhku ke kursi Bar dan membiarkan kepalaku bertumpu di paha Ardit yang dalam dua detik sudah bangkit dan langsung menyumpahiku “Sialan lo, Dam. Menjijikkan banget sih” gerutunya. Rasanya kepalaku pusing sekali, tapi biasa saja saat mendengar dentuman musik yang sangat kuat dan bau alkohol yang begitu menyengat. Suara berisik yang ditimbulkan oleh orang-orang yang saling berteriak atau besorak bahkan tak memunculkan niatku untuk meninggalkan tempat ini. Aku menikmati semuanya yang bersatu dengan masalahku dan mendengungkan telingaku, dalam pejaman mata. “Kalau lo kesini cuma ngajak gue buat tidur, gue ngga minat, mendingan tidur di apartemen” dengus Ardit yang membuatku menyumpahinya dalam hati. “Kalau keberadaan gue disini cuma buat diabaikan aja, gue juga nggak minat. Mendingan di rumah bokap gue, disana ada lebih banyak orang yang bisa mengabaikan kehadiran gue” lagi-lagi suara Ardit menggangguku, namun aku hanya diam dan tetap mengabaikannya. “Woi, sialan. Lo yang gagal nikah sama bu guru, gue jangan jadi kacang dong” desisnya dan kali ini berhasil membuatku membuka mata. “Lo nyumpahin gue” dengusku kesal. Ardit tersenyum picik dan ada ejekan dalam matanya “Kayanya bukan gue yang nyumpahin, tapi emang udah kejadian duluan” “Sialan” umpatku lalu mengambil sebotol alkohol dan langsung meneguknya dari bibir botol. “Woi, gila lo, itu punya gue, beli sendiri sana” teriaknya sambil menarik botol alkohol yang masih berisi setengah itu “Adam b**o, please deh, lo jangan buat ulah sekarang. Gue lagi kere” “Tolong, untuk kali ini aja, lo jadi teman yang berempati sama gue” pintaku pada Ardit. “Sialan banget nih orang, memanfaatkan situasi dia yang lagi miris. Ini dimana lagi si Dimas k*****t, temannya susah bukannya dibantuin” dengkusnya sambil menuju meja bartender. Aku meneguk alkoholku lagi dan menikmati rasa pahit yang berpadu dengan manis dan asam yang tak menentu, setelah itu meletakkan kembali botol itu saat diriku mulai pusing dan merasa melayang. Aku bergidik saat melihat orang-orang seperti semakin banyak dan bahkan beberapa benda terasa melayang “Hah, apa ini? Aku udah di surga?” tanyaku pada diriku sendiri. “Kenapa nih anak?” aku mendongak untuk melihat suara yang ku kenali dan ternyata itu adalah milik Dimas. Disampingnya ada Ardit yang sedang berkacak pinggang. “Dimas, Ardit, kalian kok ada empat?” “Udah gila nih anak. Kayanya lagi patah hati dibikin bu guru itu” sahut Ardit. Aku menatapnya terkejut sambil menunjuk dirinya “Hah? Kok lo tau?” tanyaku. “Tidur deh” Dimas mendekatiku lalu mendorong kepalaku dengan telunjuknya hingga aku kembali berbaring di sofa yang cukup lembut itu “Beli air putih gih, Dit” titah Dimas. “Nyusahin banget sih” Ardit kelihatan tidak ikhlas, namun tetap melangkan kearah bartender. Aku kembali duduk saat merasakan diriku sudah lebih terkendali “Kepala gue sakit banget” “Iyalah b**o, lo langsung minum setengah botol gitu” Ardit menyerahkan sebotol air putih pada Dimas lalu diteguknya sebelum diberikan kepadaku. Aku meraihnya dan langsung meneguknya hingga merasa lebih pulih. “Lo lagi ada masalah? Bukannya udah mantep nih hubungan buat ke jenjang pernikahan?” Dimas menatapku dengan tajam. Aku meringis “Udah mau nikah, bukan berarti ngga ada masalah” dengkusku “Masalah gue pelik banget dan kepala gue nggak sanggup mengolahnya” ujarku. Dimas tertawa geli “Otak lo yang pinter itu kayanya udah nggak bermanfaat lagi” ejeknya. “Lo bakalan rasain kalau nanti lo udah punya orang spesial dan kalian menghadapi masalah” gerutuku. “Gue udah pernah rasain itu sebelum lo. Lo lupa kalau gue udah lebih dulu punya pacar?” “Eh iya, maaf senior” ledekku sambil mencebikkan bibir. Dia tidak tahu saja kalau masalahku sama dengan kandasnya hubungan dia dengan kekasihnya, meski beda jalan cerita, tapi aku harap kalau hubunganku dengan Anaya tidak kandas begitu saja. Ku harap Anaya mempertimbangkan lebih jauh untuk memutus rencana pernikahan kami, meski orang tuaku belum melamarnya secara langsung. “Nih, minum lagi” Ardit menawarkan cawan kecil berisi whisky itu kepadaku. Dimas menatapnya tajam dan ia hanya terkekeh sambil membela diri “Biar dia lupa sama masalahnya sejenak” Aku menerima usulannya itu karena memang itu yang saat ini ku butuhkan. Aku meneguknya hingga tandas dan mengarahkan cawan yang sudah kosong padanya. Ia langsung mengisi cawanku sambil melirik Dimas yang hanya memperhatikan kami. Aku cukup salut pada Dimas yang tahu diri bahwa dia adalah seorang dokter dan harus menghargai kesehatan diri sendiri sebelum meminta orang lain untuk menghargai kesehatannya. Diantara kami bertiga, Dimas adalah yang paling bisa mengontrol diri untuk tidak tergoda menyesap jenis alkohol. Ya, meski terkadang ia juga bisa menjadi orang yang kehilangan kendali disaat menghadapi masalah tertentu atau saat minum bersama dengan teman kuliah kami dulu. Aku rasa itu masih wajar karena setidaknya ia tidak seliar aku dan Ardit dalam alkohol. “Dit, lo lagi nggak ada masalah, jadi jangan cari masalah dengan membiarkan gue mengurus lo berdua nantinya” keluh Dimas sambil memperhatikan arloji yang melingkar ditangan kirinya. “Gue masih sadar” aku Ardit ditengah kelinglungannya. “Gue yang bakalan sial banget ini” Dimas menyandarkan tubuhnya di kursi dan memperhatikan langit-langit atap klub sembari menunggu ku dan Ardit. Aku terkekeh melihatnya yang tenang menunggui kami. “Oh, hpku” aku meraba kantongku yang bergetar lalu megeluarkan ponselku dari sana dan ku lihat nama Viona sebagai penelpon. “Halo” sapaku. “Kak, lo mabuk?” aku terkekeh mendengar pertanyaan Viona. “Vio, gue sayang sama lo, muach muach” ucapku sambil mencium-cium ponselku. “Lo menjijikkan kak” dengkusnya. Aku tertawa renyah dan Dimas menatapku dengan heran. “Lo mau ngomong sama adek gue? Siapa tahu lo bisa jadi adik ipar gue” tawarku kepada Dimas sambil mengaktifkan mode speaker di ponselku. Dimas merebut ponselku dengan cepat dan langsung mendekatkan ke telinganya. Aku menopang siku tanganku di paha lalu menopang daguku dengan telapak tangan sambil menatap Dimas dengan senyum merekah karena ia bersedia bertelponan dengan adikku dan mungkin saja sehabis ini hubungan mereka terjalin. “Halo Vi, ini Dimas” “Kak, kakak masih sadar nggak?” tanya Viona yang masih dapat ku dengar walaupun cukup pelan. “Masih, ini lagi nemenin Ardit sama Adam yang mabuk” “Kak, ke alamat Naya sekarang. Tadi aku nelpon kak Adam buat meriksain Naya, tapi ternyata kak Adam malah mabuk-mabukkan nggak jelas” “Naya siapa?” tanyaku pada Dimas. Aku meringis kesal karena otakku berusaha mengingat nama Anaya yang agak familiar. “Naya kenapa?” tanya Dimas. “Demam, aku rasa dia demam. Kakak cepat-cepat kesini. Aku kirim alamatnya” “Naya siapa?” tanyaku lagi pada Dimas. Dimas tetap mengabaikanku. “Sialan” dengus Dimas sebelum akhirnya membuatku tersenyum geli dengan tangan yang merangkul lehernya saat ia berusaha membopong tubuhku. “Gue ikut” aku melihat Ardit yang dalam linglung menahan tangan Dimas. Setelah itu, semua yang ada di sekitarku jadi menggelap dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku hanya merasakan tubuhku ditatih hingga di lemparkan ke dalam mobil dengan kesadaran seadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN