Bab 5 – Nobody’s Perfect

1499 Kata
Hari mulai sore. Radit menyudahi pekerjaannya. Hari itu adalah hari Sabtu, tetapi Radit tetap mengerjakan pekerjaan kantornya di rumah untuk mempersiapkan persidangan kliennya minggu depan. Malam hari itu ia memiliki jadwal manggung di Yunita & Friends. Oleh karena itu, ia merebahkan tubuhnya sejenak di atas ranjang empuknya setelah menyelesaikan pekerjaan kantornya sebelum bersiap-siap berangkat memenuhi kewajibannya. Pukul 7 malam, Radit menyantap hidangan makan malamnya bersama teman-teman kuliahnya saat mengambil gelar Sarjana Hukum. Mereka memiliki janji temu kangen di restoran yang menyediakan menu western milik Sri Rahayu Djojodiningrat, ibu dari senior sekaligus tetangga kesayangannya, Prayoga Dimas Djojodiningrat. Malam itu Radit tertawa hampir sepanjang malam. Teman-temannya membicarakan bagaimana kehidupan mereka di usia yang sudah mencapai angka 35 tahun itu. Beberapa temannya ada yang sudah menjadi manajer dan direktur di perusahaan besar, beberapa lainnya sudah menjadi pengusaha sukses, dan beberapa dari mereka memiliki firma hukum sendiri. Tentunya Radit turut berbahagia karena teman-temannya yang sudah berhasil meraih cita-citanya dan sukses di bidang pekerjaannya masing-masing. Setelah menikmati hidangan makan malam, mereka mengikuti Radit ke Yunita & Friends. Sudah lama rasanya mereka tak lagi melihat Radit tampil di atas panggung dan memainkan lagu-lagu yang dapat membuat tubuh berdansa sepanjang malam. “Dit, gue pamit duluan, ya. Istri gak bolehin gue keluar sampai pagi,” ujar Steve sebelum mereka berpisah di restoran milik Sri itu. “Gue juga, Dit. Istri gue nungguin di rumah,” ujar Johnny. “Cieilah, pasukan suami takut istri,” timpal Hubert yang membuat teman-temannya tertawa. “Sorry, Dit. Soalnya gue kan ada new born,” ujar Johnny. “Anak gue juga lagi sakit. Gak enaklah ninggalin lama-lama,” timpal Steve. “It’s ok, guys. Thanks ya udah nyempetin dateng makan-makan,” balas Radit. “Yoi, Dit. Cepet nyusul kita, ye!” ujar Steve. Radit pun terkekeh dan menganggukkan kepalanya. Pukul 11 malam, Radit memulai aksinya. Semua temannya tampak ikut berdansa. Sama seperti biasanya, penampilan Radit jauh dari kata mengecewakan. Disk jockey yang juga berprofesi sebagai pengacara itu selalu memberikan penampilan terbaiknya hingga rasanya enggan meninggalkan lantai dansa kala pagi datang menghampiri. "DJ Radit Paling Ganteng!" seru teman-teman Radit seraya mengangkat gelas cocktailnya. *** Setelah satu setengah jam berada di atas panggung, Radit turun ke area lantai dansa. DJ lainnya pun mengambil alih musik malam itu. Ia juga mau berdansa bersama teman-teman semasa perjuangan menaklukkan S1 Hukum. Tanpa terasa hari sudah menjelang pagi. Karena terlalu banyak minum, Radit terpaksa meminta sopir untuk mengantarnya pulang ke rumah. Setibanya di rumah, semua keluarganya sudah tertidur lelap di kamar tidur masing-masing. Ya, waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Radit merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Sebelum memejamkan kedua matanya, ia melirik pigura foto di atas nakas di samping ranjangnya. Air matanya meluncur perlahan melihat gadis cantiknya dari balik kaca pigura hingga tertidur lelap. *** Saat usianya 25 tahun, Radit sudah mengantongi dua gelar pendidikan hukum. Strata satu dari Indonesia dan strata dua dari Amerika. Ia juga sudah memiliki pengalaman magang di firma hukum terbesar dunia dan dinyatakan lulus dari tes PERADI. Ia siap melenggang di dunia hukum sebagai pengacara sebagaimana yang selalu ia impikan sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Di hari ulang tahunnya yang ke 26 tahun, ia mendapatkan berita gembira. Kekasihnya akan segera pulang ke Indonesia dan menetap di tanah air setelah hampir delapan tahun menetap di Negeri Paman Sam untuk kuliah dan bekerja di sana. Ia sangat gembira hingga memesan makan malam romantis di sebuah restoran di hotel bintang lima untuk melamar kekasih pujaan hatinya itu. Masa depannya sungguh cerah. Sukses di perkuliahan, sukses di karir, dan sebentar lagi ia juga akan sukses memiliki rumah tangga bahagia bersama Erica, gadis yang sudah ia kagumi sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Sungguh, ia ingin menjemput kekasihnya di bandara saat kekasihnya itu tiba kembali di tanah air tercinta, tetapi apa daya, pekerjaannya di kantor sangat membutuhkannya. Lagipula, kala itu ia masih menyandang status sebagai Junior Associate yang membuatnya tidak berani membantah perintah atasannya. Apa jadinya jika ia meminta cuti hanya untuk menjemput kekasihnya di bandara? Ia masih belum memiliki keberanian untuk itu. Oleh karena itu, ia izinkan sopir kekasihnya itu yang menjemputnya di bandara. Namun, ia tak mau begitu saja melewatkan kesempatan emas itu. Setelah pulang dari kantornya, ia menyempatkan diri datang ke rumah kekasihnya yang berjarak hanya beberapa rumah dari rumahnya. Gadis itu tampak berlari menghampirinya dan memeluknya dengan erat. Rasa rindunya ia tumpahkan dalam pelukannya. Saat mereka sama-sama menjalankan pendidikan program master di Amerika, mereka selalu bersama, entah itu di kampus, di kantin, di perpustakaan atau di tempat lainnya. Semua orang meyakini bahwa mereka akan menjadi sepasang suami istri hingga maut memisahkan. Namun, siapa sangka, maut lebih dulu menjumpainya sebelum ia sempat menyandang status sebagai istri. Tiga hari setelah kekasihnya pulang ke Indonesia, Radit mengajaknya untuk makan malam di restoran salah satu hotel bintang lima yang telah dipesannya. Setelah menikmati hidangan pembuka dan hidangan utama seraya tertawa riang gembira membicarakan nostalgia hidup mereka, Radit bersiap untuk hidangan penutup dan melamar kekasihnya itu. “Oh ya, aku punya hadiah untuk kamu,” ujar Radit. “Apa itu?” tanya Erica dengan senyum semringahnya. Radit mengeluarkan sebuah kotak cincin dari dalam saku jaketnya dan membuka kotak itu di hadapan Erica. “Will you marry me?” Kedua mata Erica tampak berkaca-kaca. Sudah lama ia menantikan momen ini. Momen di mana ia dilamar oleh pria pujaan hatinya. Ia tak sanggup menjawab pertanyaan itu. Seharusnya ia merasa sangat bahagia, tetapi entah mengapa ia justru merasa sangat sedih. Mereka sudah menjadi sepasang kekasih sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, tetapi sebenarnya mereka sudah saling menyayangi sejak masih kanak-kanak. Namun, entah mengapa hatinya terasa sakit. Air matanya tak bisa berhenti mengalir. Ia sangat ingin menjadi istri dari pria yang ia cintai. “Sayang? A-are you ok?” tanya Radit. Ia khawatir karena Erica tampak sangat sedih, bukan terharu. “Y-yes, I will …,” jawab Erica terbata-bata. Radit tersenyum walau ia masih bingung apakah Erica benar-benar terharu atau sebenarnya kekasihnya itu merasa sedih karena terpaksa menerima dirinya sebagai calon suami. Radit pun memasangkan cincin berlian itu di jari manis tangan kiri Erica lalu memeluk kekasihnya itu. Itulah kali terakhir Radit berkencan dengan Erica. Sepulangnya dari acara makan malam romantis itu, Erica terus memandangi cincin berlian di jari manis tangan kirinya. Radit pun tak bisa menyembunyikan senyumannya. Ia sangat senang karena sesaat lagi ia dan Erica akan sah sebagai suami istri. Namun, cahaya lampu yang menyilaukan dari mobil yang menyeberang jalur membuatnya membanting setir, yang membuat mobil yang dikendarainya ditabrak oleh mobil lainnya yang tak sempat mengerem laju kendaraannya itu. Setelah laju mobilnya terhenti, Radit yang mengalami luka-luka mendapati tubuh Erica sudah bersimbah darah. “ERICAAA!!!” *** Keluarga Jeno tampak memasuki ruang keluarga setelah selesai menyantap hidangan sarapan mereka di area taman belakang rumah mewahnya. Rencananya, hari itu Arjuna bersama istri dan anak-anaknya akan pergi ke mall untuk bermain, sedangkan Indah bersama suami dan anaknya akan menghadiri resepsi pernikahan rekan bisnis Ezra. “ERICAAA!!!” “He? Suara siapa tuh?” ujar Ezra saat mendengar suara teriakan dari lantai dua rumah mewah itu. “Radit!” ujar Ira seraya berlari menuju kamar tidur Radit. “Mas Radit?” ujar Ezra dengan dahi berkerut. “Aduh, padahal udah lama gak kumat,” ujar Arjuna. “Kumat?” tanya Ezra lagi. “Sejak kecelakaan sama kak Erica, mas Radit jadi sering mimpi tentang kecelakaannya itu,” jawab Indah. “Aku mau lihat mas Radit dulu, ya.” “Ikut, Ndah,” ujar Ezra. “Mbak, tolong jaga Evan dulu, ya,” ujar Indah pada baby sitter anaknya. Mirna, istri Arjuna, bersama baby sitter dan para cucu keluarga Hadiputro pun menunggu di ruang keluarga sambil bermain. *** Ira membuka pintu kamar tidur Radit yang tidak dikunci karena tadi malam kepala Radit terlalu berat untuk sekadar mengunci pintu. Ia pun mendapati Radit menangis dan berteriak di atas ranjang. “Radit, udah, gapapa, Sayang. Erica udah tenang di sana,” ujar Ira seraya memeluk Radit dan menepuk-nepuk punggungnya. Radit pun memeluk ibunya dengan sangat erat dan menangis sesenggukkan di sana. Jeno duduk di samping Radit dan ikut menepuk-nepuk punggungnya. Setelah Radit tampak lebih tenang, Jeno bersama anak-anak dan menantunya kembali ke ruang keluarga, sementara itu Ira menemani Radit agar anaknya itu dapat kembali tertidur dengan tenang. “Mas Radit sampai jadi kayak gitu?!” ujar Ezra berbisik di telinga Indah. Ia benar-benar tak menyangka Radit yang dikenalnya sebagai pria yang sangat ceria, cerdas, dan pandai bergaul itu rupanya memiliki trauma mendalam. “Iya, dulu tuh Papa sering marah ke mas Radit karena mas Radit nangis terus dan gak mau kerja, gak mau makan, ya gak mau ngapa-ngapain. Ya mama marah dong ke papa karena mas Radit kan masih trauma, apalagi mas Radit lihat gimana kondisinya mbak Erica setelah tabrakan itu. Dibawalah mas Radit ke psikolog dan perlahan-lahan sembuh dari traumanya. Mungkin tadi mas Radit mimpi kecelakaan itu lagi,” balas Indah. “Ya ampun, gak nyangka banget mas Radit yang seceria itu, seusil itu, ternyata punya trauma separah itu.” “Nobody’s perfect, right?” “Yeah, you’re right.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN